Selasa, 25 Mei 2010

Prospek Kemandirian Koperasi Dalam Menyongsong Era Globalisasi Oleh : M. Iksan AW, SE - FKIP UNSA Sumbawa Besar



Abstrak
Awal perkembangannya sebagai badan usaha Koperasi mengalami pasang surut sesuai dengan situasi politik yang ada. Pada era pemerintahan Orde Baru, Koperasi sering menjadi alat kekuatan politik untuk mencapai tujuan regim pemerintah dengan dalih stabilitas pembangunan. Koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa (KUD), sering sebagai kepanjangan tangan pemerintah melalui penyalurkan dana, atau alat dan bahan pertanian kepada petani. Koperasi sering diberikan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan usaha, sehingga menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang manja, karena hanya bisa berkembang dengan bantuan pemerintah. Atau dengan kata lain koperasi lebih sebagai alat pemerintah, ketimbang sebagai kebijakan pemerintah.
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal, yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena banyak koperasi yang bisa menjalankan usahanya tanpa bantuan pemerintah.
Tantangan koperasi ke depan sebagai badan usaha adalah harus mampu bersaing secara sehat sesuai etika dan norma bisnis yang berlaku. Pertanyaan yang muncul adalah mampukah koperasi yang selama ini dimanjakan pemerintah bersaing dengan badan usaha lain? Antisipasi dan strategi apa yang harus disiapkan oleh koperasi? Tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan konsep kemandirian koperasi sebagai badan usaha dalam menyongsong era globalisasi dan krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Kata kunci : koperasi, badan usaha,kemandirian, pengelolaan, era globalisasi.

1. Pendahuluan
Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan proses liberalisasi perdagangan dan investasi ekonomi pasar bebas, mengharuskan setiap elemen ekonomi untuk melakukan perubahan. Disadari atau tidak kenyataan akan datangnya era tersebut mengharuskan setiap negara untuk mengubah arah kebijakan ekonominya. Era globalisasi dalam skema perdagangan bebas cepat atau lambat mengakibatkan perubahan ekonomi dunia. Dampak lebih lanjut adalah memaksa perubahan yang dilakukan oleh setiap negara untuk mengarah pada usaha untuk mengurangi distorsi perekonomian dan harus meningkatkan efisiensi usaha. Kenichi Ohmae (1999) dalam bukunya: Bordeless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy, menekankan bahwa dalam era globalisasi akan tercipta suatu dunia yang tanpa batas antar negara (bordeless world), kondisi ini tidak memungkinkan suatu negara „kokoh“ pada nation statenya. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia/global. Hal ini menyebabkan fenomena ketergantungan antar komunitas negara menjadi tidak terelakkan.
Lebih lanjut, era globalisasi sendiri bertumpu pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitas bisnis dan kerja sama dalam bidang tehnik. Kalau ditelusuri lebih dalam, proses globalisasi ekonomi memperoleh dorongan yang kuat dari dua faktor yaitu teknologi (komunikasi, transportasi dan komputer dan sebagainya) dan liberalisasi. Teknologi membuat usaha menjadi lebih efisien dan menekan biaya dalam peredaran barang dan uang, sedangkan liberalisasi melalui negoisasi multilateral (WTO) dan bilateral dapat memaksa rintangan (tarif dan non tarif) menjadi turun bagi perdagangan luar negeri dan investasi (Soejono, 2000).Globaliasi ekonomi mengarah pada semakin mudahnya perusahaan multi nasional untuk keluar masuk suatu negara. Dengan dukungan teknologi dan investasi global, kompetisi di era ini akan semakin tajam. Akibat yang diterima oleh negara sedang berkembang adalah ketidakstabilan ekonomi dalam negeri, karena keharusan melakukan perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dunia tidak dapat terelakkan.
Jelas bahwa fenomena globalisasi dan pasar bebas membawa konsekuensi semakin tinggi persaingan dan rentannya perekonomian atas faktor eksternal. Tentunya kenyataan ini berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi suatu negara. Penguatan daya dukung perekonomian suatu negara terletak pada efektivitas perilaku pelaku ekonomi negara yang bersangkutan. Semakin efisien pelaku ekonomi bekerja, semakin besar daya dukungnya terhadap perekonomian negara yang bersangkutan. Pelaku ekonomi utama yang sering menjadi perdebatan dalam konteks era perdagangan bebas adalah Koperasi.
Sungguhpun koperasi bukan badan usaha asli Indonesia, namun demikian banyak kesamaan dengan badan usaha asli Indonesia minimal dalam unsur-unsur yang dimiliki (lihat Suwandi, 1986). Dilema yang terjadi adalah, bahwa mengingat koperasi selalu diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, peranan pemerintah akan selalu besar dalam pengembangan koperasi. Tetapi mengingat bahwa koperasi merupakan kumpulan orang-orang yang mana prinsip kekuasaan tertinggi berada pada anggota, serta pengelolaan yang demokratis, maka campur tangan dari pihak luar termasuk pemerintah yang terlalu dalam, akan dapat mengurangi kebebasan dan kedaulatan koperasi (Iqbal, M, 1986)
Sementara itu, gerakan koperasi di banyak negara telah mempunyai atau sedang dalam proses restrukturisasi dan menyesuaikan pada kondisi dimana tingkat kompetisi begitu meninggi dipermukaan, pemerintah tidak mempunyai banyak dana untuk mendukung gerakan koperasi (Kandem, E, 2000). Perkembangan gerakan koperasi Indonesia sendiri mengalami pasang surut. Berangkat dari lembaga sosial masyarakat koperasi berinteraksi dengan banyak lembaga yang ada di masyarakat Indonesia. Kondisi ini membawa konsekuensi bahwa beberapa aspek internal dan eksternal saling berkaitan dan saling mempengaruhi, seperti misalnya sistem perekonomian yang dianut, kebijakan pemerintah yang diambil pada periode yang bersangkutan, kondisi sumber daya ekonomi dan sumber daya alam serta sumber daya manusia, budaya dan nilai-nilai sosial setempat.
Berhubunganan dengan konsep pembangunan ekonomi, koperasi masih dipandang sebagai salah satu elemen ekonomi yang penting dan strategis. Namun demikian, keberadaan dan tumbuh kembangnya koperasi sendiri masih menjadi perdebatan yang cukup tajam dalam era globalisasi. Mengacu pada ‘Theory of Dualitic Economy’ dari Boeke yang didasarkan pada kasus Jawa dimasa pemeritahan kolonial Belanda, dihipotesiskan bahwa kesulitan pokok dalam membangun masyarakat dunia ketiga terletak pada fakta bahwa perekonomian wilayah ini bersifat dualistik, yang ditandai oleh adanya dua kutub perekonomian secara bersamaan, yaitu sektor modern dan sektor tradisional, yang masing-masing kekuatan yang sangat berbeda. Sektor modern tunduk pada kekuatan pasar (governed by market forces), sektor tradisional tunduk pada kekuatan nonpasar, yaitu sosial budaya (governed by social-cultural forces) (Hutagaol, 1996). Masih dalam taraf berdebatan yang rumit, koperasi Indonesia diakui atau tidak lebih difokuskan untuk pembangunan pada sektor marginal, seperti sektor pertanian dan sektor informal yang masih bergerak dengan fasilitas yang sangat miskin teknologi dan informasi. Koperasi dianggap alat yang paling tepat untuk memberikan kesempatan kepada sektor tradisional ini untuk berintegrasi dengan masyarakat modern. Karena pada hakekatnya koperasi adalah gerakan masyarakat, maka terdapat anggapan umum bahwa inisiatif tidak akan timbul jika tidak ada program khusus dari pemerintah. Karenanya, dikebanyakan negara sedang berkembang peranan pemerintah tampak menonjol, yang mengakibatkan ketergantungan dan kegagalan koperasi untuk mandiri (Soetrisno, Noer, 1992). Kenyataan ini telah lama tampak jika memperhatikan gerakan koperasi dan pembangunan sendiri merupakan tema klasik di negara dunia ketiga, apalagi dalam dunia koperasi internasional (Develtere, P, 1994).
Sebagai bagian dari sistem ekonomi Koperasi memerlukan kesempatan untuk bekerja sebagai suatu sistem dalam rangka memberikan gerakan untuk mandiri (otonom) (Scholz and Walsh, 1992). Prinsip otonomi sebagai pengejawantahan dari sikap mandiri suatu koperasi, merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk perkembangan koperasi di kemudian hari. Karena secara tidak langsung otonomi merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk menegakkan prinsip-prinsip koperasi, demokrasi dalam koperasi dan kemandirian dalam koperasi berikut implikasinya (Nasution, 1992).
Krisis ekonomi yang berkepanjangan, secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi struktur dan roda perputaran ekonomi nasional. Dapat dipastikan hampir semua sektor yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi terkena dampaknya, sehingga wajar kalau banyak pengusaha yang menutup usahanya. Namun sebaliknya, bagi usaha kecil dan menengah (UKM) dan koperasi terbukti mampu untuk bertahan ditengah krisis ekonomi yang terjadi. Tesis sementara yang mungkin dapat dimunculkan daya tahan badan usaha ini ternyata tidak serentan badan usaha lainnya yang lebih modern dan besar. Namun demikian, tantangan-tantangan bagi koperasi saat ini adalah menjamin untuk menciptakan lingkungan yang memperbolehkan masyarakat dalam menyumbangkan kemampuan dan menciptakan pemecahan-pemecahan yang inovatif terhadap masalah-masalah lokal. Hal ini memerlukan koperasi yang terbuka dan fleksibel untuk membangun model-model baru koperasi (Scholz and Walsh, 1992). Jelas bahwa, lingkungan dunia usaha yang berubah dengan cepat saat ini menuntut untuk selalu fleksibel dan inovativ. Keberlangsungan hidup koperasi mempunyai dimensi ekonomi maupun kelembagaan. Keberlangsungan hidup secara ekonomi tergantung pada apakah organisasi koperasi itu mandiri secara ekonomis dan inovatif. Keberlangsungan hidup kelembagaan tergantung pada apakah koperasi benar-benar menerima asas-asas perkoperasian, khususnya kontrol terhadap demokratis, keanggotaan yang terbuka dan sukarela.(McCarrel, 1992).
2 Masalah dan Tujuan Penulisan
Menghadapi persaingan bebas di era globalisasi ekonomi dinilai sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk mempertanyakan kembali keberadaan koperasi ditengah dua situasi ekonomi ektrem yang terjadi, yaitu era perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi dan krisis ekonomi Indonesia yang berkepanjangan. Koperasi dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut mau tidak mau dihadapkan pada permasalah ini. Hal ini telah menjadi perdebatan klasik pakar koperasi (lihat: Jeon, J, 2000). Prospek masa depan koperasi sebagai badan usaha yang diharapkan menjadi soko guru perekonomian seperti amanat konstitusi negara (UUD 45) sangat ditentukan oleh mampu tidaknya kemandirian (otonomi) dilaksanakan untuk menjawab tantangan dan ancaman.
Secara spesifik tulisan ini menelaah masalah sejauh mana kesiapan koperasi dalam menghadapi tuntutan yang berkembang di era globalisasi ekonomi tersebut? Bagaimana antisipasi dan strategi yang tepat untuk badan usaha Koperasi dalam menjawab tantangan era globalisasi ini?
Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan diatas terbatas hanya merupakan pemikirankonsepsional. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan koperasi, berupa tingkat kemandirian koperasi menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan menjelang era perdagangan bebas tersebut. Disamping itu juga bertujuan untuk mengetahui antisipasi dan strategi yang juga akan dirumuskan secara konseptual untuk mengembangkan kemandirian koperasi.
3. Kemandirian Koperasi menyongsong Era Perdangan Bebas
Secara historis, gerakan koperasi telah merupakan satu strategi pembangunan yang penting dari pemerintah negara-negara yang sedang berkembang, setelah negara-negara itu memperoleh kemerdekaan politik mereka masing-masing. Bagi para pengelola pembangunan dari negara-negara itu, koperasi merupakan salah satu sarana ekonomi untuk yang diharapkan dapat memecahkan program sosial ekonomi yang diwariskan oleh kolonialisme kepada pemerintah negara-negara tersebut (Sutrisno, Lukman, 1984). Namun demikian disadari, koperasi sebagai organisasi mengalami beberapa fase perkembangan. Koperasi mempunyai sejarah yang begitu lama untuk berkembang, tidak saja di Eropa tetapi juga pada beberapa negara sedang berkembang, meskipun imigran, misionaris dan perorangan atau organisasi privat telah bekerja sebagai inisiator, pekerja pemerintah maupun lembaga parastatal telah mempunyai peranan penting dalam mensponsori berkembangnya koperasi modern di banyak negara sedang berkembang (Hanel, A, 1992).
Sementara itu, L Valko, mengemukakan tingkat-tingkat perkembangan koperasi dalam 3 tingkatan, yaitu tingkat yang masih dalam pertumbuhan, tingkat dalam tarafpembangunan dan dalam tingkatan yang telah matang.Untuk itu, ditandai dengan keikutsertaan pemerintah dalam pembangunan koperasi.Pada tingkatan yang telah matang pemerintah sudah tidak terlalu ikut lagi. Tetapi pada tahap pembangunan pemerintah masih layak ikut serta. (Suwandi, Ima, 1984). Dalam pandangan Thornley (1981) bahwa koperasi hendaknya mampu untuk bertahan hidup dengan keharusan untuk tidak saja dapat bertahan dalam kendala pasar, tetapi koperasi harus dapat merepresentasi tantangan akan kekurangan modal. Khususnya dalam koperasi pekerja, hal ini merupakan perdebabat yang sangat unik. Disamping itu penekanan pada analisis pentingnya koperasi membangun kekuatan aliasi politik dan dapat menjadi organisasi yang dapat menjembati luasnya kekuatan pasar (Conforth, et. al, 1988).
Tantangan koperasi dimasa depan adalah mampu bertahan di era globalisasi. Untuk mampu bertahan tentunya koperasi harus instropeksi atas kondisi yang ada pada dirinya. Tidak saja melihat situasi yang berkembang diluar, namun yang lebih penting adalah mampu untuk melihat kenyataan yang ada pada dirinya. Jati dirikoperasi menjadi tantangan besar dalam era globalisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya dengan mengenal jati diri koperasi secara benar maka kemungkinan bersaing dengan badan usaha lain akan terbuka. Jelas bahwa ditinjau dari sudut bentuk organisasinya, maka organisasi koperasi adalahSHO (self-help organisasi).Intinya koperasi adalah badan usaha yang otonom. Problemnya adalah otonomi koperasi sejauh ini menjadi tanda tanya besar. Karena bantuan pemerintah yang begitu besar menjadikan otonomi koperasi sulit terwujud. Dalam dataran konsepsional otonomi Koperasijuga mengandung implikasi bahwa badan usaha koperasi seharusnya lepas dari lembaga pemerintah, artinya organisasi koperasi bukan merupakan lembaga yang dilihat dari fungsinyaadalah alat administrasi langsung dari pemerintah, yang mewujudkan tujuan-tujuan yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh pemerintah (Rozi dan Hendri, 1997).
Dinegara berkembang termasuk Indonesia otonomi ini merupakan masalah konroversial, karenaterjebak dalam isu tentang hak pemerintah dan hak masyarakat dalam menentukan batas yang seimbang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Masalahnya berkisarpada demokrasi dan hak asasi manusia (Soejono, 1992). Lebih lanjut, Soejono menyimpulakan bahwa ketidakpastian batas-batas otonomi tercermin pula dalam kehidupan perkoperasian di Indonesia. Otonomi sebagai kemandirian, kemerdekaan dan kebebaskan tidak pernah mempunyai arti mutlak karena dalam pelaksanaanya selalu dibatasi oleh interaksi lingkungan dengan lingkungannya sendiri terutama sikap pemerintah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan koperasi. Contoh ikut sertanya pemerintah yang begitu besar dalam gerakan koperasi Indonesia dapat dilihat dari gerakan Koperasi Unit Desa selama ini.
Permasalahan penting dalam otonomi adalahmenjamin bahwa otonomi tersebut melibatkan seluruh aspek gerakan, tidak hanya pada koperasi primer. Dan juga harus diperhatikan dalam proses menuju kemandirian (otonomi) memerlukan waktu. Namun demikian haruslah direncanakan secara matang dan strategis. Untuk itu dukungan elemen masyarakat juga sangat dibutuhkan, misalnya peran LSM. Contoh sukses LSM dalam membina koperasi dapat diwakili oleh The Sadguru and Developing Foundation di Gujarat (India), dimana telah membina lebih 200 koperasi primer dan mampu mengenerate pekerjaan dan pendapatan. Begitu pula halnya dengan SEWA (juga satu LSM di India), juga telah mampu untuk membantu kelompok perempuan miskin untuk mampu mengorganisasi sebuah koperasi dalam memberi pinjaman mikro untuk modal usaha (ILO, 2000).Berkaca pada kenyataan diatas, maka sedikit jelas bahwa koperasi Indonesia masih menyimpan pekerjaan rumah yang sangat berat, jika dikaitkan sebagai badan usaha otonom untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat konstitusi.
4. Badan Usaha Koperasi: Strategi dan Pengembangannya
Persaingan yang semakin tajam dalam dunia usaha membuat koperasi yang tidak mandiri dihadapkan padasituasi sulit untuk berkembang. Kecenderungan dunia usaha saat ini mengarah pada kecenderungan untuk saling berkerja sama satu sama lain. Merujuk pada rekomendasi dari Engels ( 2001), kerjasama tersebut belum tentu berbentuk badan usaha Koperasi. Karena dalam manejemen organisasi kita mengenal berbagai bentuk kerjasama misalnya: franchising, netzwerk, joint venture dan lain-lain. Namun demikian koperasi memiliki peluang untuk berkembangnya lebih baik daripada bentuk organisasi kerjasama lain. Disamping itu juga timbul tantangan, bahkan ancaman karena dengan beraagamnya bentuk organisasi kerjasama usaha ini maka koperasi harus mampu membuktikan dirinya sebagai badan usah yang tetap dapat di andalkan.
Jika melihat perkembangan yang ada, koperasi tidak akan dapat bertahan jika bentuk pengelolaannya masih tradisional dan terkesan apa adanya. Karena apa pun bentuk perusahaan jika dikelola dengan baik sesuai dengan etika bisnis yang ada maka prospek kesuksesan itu akan terbuka lebar. Kesuksesan dan kegagalan suatu usaha memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebagai suatu badan usaha atau sebagai soko guru pembangunan suatu bangsa, koperasi mempunyai peranan yang cukup besar jika di kelola dengan sungguh-sungguh. Sejenak melihat statistik perkoperasian dunia, menurut ILO dalam Report V(1): Promotion of Cooperatives (2001) dewasa ini koperasi diyakini memberikan sumbangan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) mengestimasian bahwa 3 milyar orang bermata pencaharian atau separuh populasi dunia dari bangun usaha Koperasi. Paling tidak 800 juta individu menjadi anggota koperasi saat ini, jika dibandingkan dengan tahun 1960 yang hanya 184 juta. Dalam tataran makro ekonomi, koperasi secara signifikanmemberikan market share yang memadai. Misalnya di Burkina Faso, Koperasi Produk Pertanian merupakan penghasil terbanyak untuk pasok buah-buahan dan sayuran dipasaran nasional dan di Cote d’Ivory, koperasi bertanggung jawab terhadap 77 persen produksi Cotton. Di Uruguay koperasi memproduksi 90 persen produk national susu dan mengekspor 70 persen surplus produksi terigunya. Bahkan di Amerika Serikat pada tahun 1998, Koperasi Listrik Pedesaan memberikan kontribusi lebih dari setenggah pasok aliran listrik dan menyediakan kekuatan listrik untuk 25 juta orang di 46 negara bagian. Di Denmark, koperasi memberikan kontribusi 94 persen produk susu untuk pasaran nasional. Folksam, sebuah koperasi asuransi di Swedia telah menggelola 48,9 persen pasar asuransi perumahan dan 50 persen untuk asuransi jiwa dan kecelakaan. Suatu angka yang tidak bisa dibilang remeh untuk ukuran Koperasi yang kelihatan sepele. Negara tetangga kita, Philipina bahkan mengakui 16 persen dari GDP –nya merupakan sumbangan koperasi.
Manajemen adalah seni bagaimana sebuah organisasi dapat mencapai tujuan. Jika tujuan suatu oraganisasi itu sederhana dan organisasinya kecil maka pengelolaanya akan lebih mudah dibanding dengan organisasi yang lebih besar.Banyak perusahaan kecil, perusahaan perorangan maupun koperasi dapat secara cepat berkembang. Namun setelah perusahaan itu membesar seiring dengan perubahan waktu, dan tujuan yang ingin dicapai lebih banyak maka diperlukan pengelolaan yang lebih cermat. Disinilah letak pentingnya diterapkannya ilmu manajemen,karena dengan manajemen yang baik sebuah organisasi akan mampu bertahan. (Maurice, 1988).
Sampai saat ini memang belum ada bentuk baku manajemen koperasi, walaupun badan usaha koperasi sudah sangat lama diperkenalkan oleh pendiri koperasi dunia, misalnya Robert Owen, Wilhelm Raiffeisen, Hermann Schulze Delitzs dan lain-lain. Namun demikian kecendrungan yang terjadi adalah bentuk usaha koperasi terpinggirkan dalam persaingan usaha. Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi (inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh. Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju dalam memberi manfaat dibanding pesaing karena hanyadengan itu anggota atau calon anggota tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan transaksi ekonominya (Rully; Dasar-dasar koperasi: Implementasi Dalam Manajemen).
Lebih lanjut dikatakan bahwa, untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi, pada umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar koperasi tetap menjadi alternatif yang menguntungkan, dalam arti lain manajemen koperasi harus mampu mempertahankan manfaatkoperasi lebih besar dari manfaat yang disediakan oleh non-koperasi. Atau koperasi harus selalu mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam sistem manajemen yang dikembangkannya.
Pengelola perlu memiliki berbagai kompetensi dan sikap tertentu untuk menjalankan fungsinya. Diantaranya adalah sikap terbuka terhadap hal-hal atau penemuan-penemuan baru (inovasi) yang mendukung jalannya tugas keorganisasian dan usaha. Malahan lebih dari pada itu harus terangsang untuk mencari terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan oleh pesaing. Sikap yang terlalu toleran terhadap cara-cara lama sampai batas tertentu akan sangat membahayakan terhadap eksistensi dan daya hidup koperasi. Hal yang harus disadari oleh pengelola hasrat anggota maupun konsumen bukan anggota selalu dalam keadaan dinamis, walau arah dinamika itu tidak selalu berjalan ke muka, tetapi mungkin akan kembali ke semula. Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari teknologi lama. Sikap lain yang harus dimiliki pengelola hubungannya dengan usaha adalah kemampuan dalam menghimpun modal. Menarik modal, baik dari dalam maupun luar, bukanlah pekerjaan ringan mengingat hal itu sangat berhubungan dengan kepercayaan pihak anggota maupun pihak non-anggota terhadap koperasi. Memposisikan usaha yang dijalankan sebagai sarana investasi rasional merupakan tanggungjawab pengelola.
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengelola. Data empiris menyatakan sikap ini masih tergolong rendah di kalangan pengelola terutama KUD. Tanpa sikap ini, pengelola tidak lebih dari karyawan biasa yang menggantungkan hidup dari koperasi. Terakhir adalah kemampuan manajerial yang berhubungan dengan kebersediaan dan ketersedian pengelola untuk melaksanakan fungsi manajemen secara proporsional dan profesional sehingga apa yang dikerjakan merupakan hasil kerja yang terurut dan terukur.
Efektivitas koperasi masih menjadi perbebatan yang hingga kini belum meneukan tik temu antara para pakar ilmu koperasi.. Blümle dalam Dulfer dan Hamm (1985) yakni:
“Finally let us see what co-operative science has to say, for it has been widely debating the problem of success. In current discussion about the promotional task this problem is linked up with the co-operative system of objectives and member participation. But there will be disappointment in the results of this research for anybody who approaches with hopes and analysis of the diverse attempts to make the promotional maxims operational, and to measurement co-operative success.”
Sehingga dapat dipahami bahwa proses pengukuran efektivitas tidaklah sesederhana mengukur efektivitas organisasi atau badan usaha lain, melihat prinsip koperasi yang tidak saja bersifat badan usaha ekonomis, yang melainkan juga sebagai badan usaha sosial.. Bagaimanapun juga sebagai abadan usaha, koperasi tetap memelukan ukuran kinerja keberhasilan.
Keunggulan merupakan syarat utama untuk terlibat dalam persaingan itu. Keunggulan yang harus dimiliki senantiasa memuat dimensi koperasi sebagai unit usaha maupun gerakan swadaya. Ketangguhan dalam dimensi gerakan swadaya sangat ditentukan oleh tingkat keperdu-liaan anggota dalam fungsinya sebagai pemilik untuk turut dalam proses pengembangan Koperasi. Partisipasi anggota merupakan indikator dalam konteks. Sementara dilihat dari fungsi “badan usaha” ketangguhan koperasi diukur oleh kemampuannya dalam mengembangkan dan menguasai pasar. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan koperasi dalam meraih lebih besar potensi yang dimiliki pasar ketimbang para pesaing. Koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Rumusan sederhana mengenai penjelasan di atas adalah, “Koperasi berhasil bila mampu mengembangkan usaha yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, dengan mengoptimalkan keterlibatan potensi anggota di dalam proses dan hasil usaha”.(Rully: Dasar-dasar Koperasi: Implementasi dalam Manajemen ). Berangkat dari urgenitas tersebut Ropke (1992) bahkan merekomendasikan adanya pengujian yang meliputi uji partisipasi (Participation-test) dan uji pasar (Market-test) untuk mengukur keberhasilan koperasi.
Sementara itu untuk menyiapkan koperasi menjadi mandiri, tidak saja diperlukan aspek ekonomi-sosial, namun lebih jauh dan dalam harus mengarah pada sisi operasional koperasi itu sendiri. Dengan begitu jelas bahwa perubahan mendasar dari sisi manejemen, khususnya antisipasi terhadap perubahan ekonomi global menuntut juga perubahan pada manajemen koperasi. Perlu diingat bahwa sebenarnya prinsip manajemen umum dapat diterapkan pada koperasi dengan memperhatikan prinsip yang dianut oleh koperasi. Karena bagaimanapun koperasi sedikit memiliki perbedaan mendasar dengan badan usaha lain. TesisDavis (1999) mengembangkan tujuh prinsip manajemen yang selaras dengan prinsip manejeman koperasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tujuh Prinsip Manajemen Koperasi

Manajemen Umum
Manajemen Koperasi
Pluralism,
Manajemen bertumpu semata-mata pada kepentingan stakeholder.
Anggota akan menemukan keinginannya untuk mengenali stakeholder yang lain.
Mutuality,
Membutuhan keuntungan dari saham.
Karena pengembalian modal bukan tujuan utama dalam keanggotaan koperasi, kerjasama mutual antara pihak yang berkepentingan lebih ditonjolkan.
Individual autonomy,
Mengakui kebebasan individu dan tanggung jawab.
Sama dengan organisasi lain tetapi koperasi tergantung pada kekuatan dari luar dan hak anggota.
Distributive justice,
Pembagian sumberdaya yang tidak berlebihan.
Sama dengan organisasi lain,tetapi dalam koperasi akan lebih mudah pengelolaannya karenaanggota langsung sebagaipemilik dalam struktur badan usaha.
Natural justice,
Mengarah pendekatan secara prosedur dan mengaplikasikan prinsip kejujuran dan berkelanjutan
Struktur kepemilikan koperasi dan kultur pertanggungjawaban dalam koperasi lebih mudah untuk dicapai.
People – centeredness
Kosumen adalah subjek bukan sebagai objek
Prinsip ini diterapkan dengan basis keanggotaan
Mutiple role of work and labour
Pekerjaan mempengaruhi status sosial, pola konsumsi dan hubungan struktural secara keseluruhan. Dalam jangka panjangkekuatan individu bertumpu pada tanggung jawab sosial perusahaan.
Koperasi mengadopsi prinsip ini dengan mengkombinasikan antara kebutuhan sosial dan bisnis.




Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah efisiensi dalam pengelolaan Koperasi. Hal ini mengingat koperasi berperan tidak saja sebagai badan usaha dan untuk kepentingan anggotanya. Namun lebih jauh koperasi harus diarahkan kepada sinkoronisasi atas efisiensi pembangunan nasional. Berkenaan dengan masalah tersebut. Hanel (1988) membedakan tiga jenis efisiensi dalam koperasi yang meliputi: Efisiensi Pengelolaan Usaha. Hal ini lebih pada efisiensi operasional pengelolaan usaha Koperasi. Variabel yang diperhatikan adalah pada sejauh mana tujuan-tujuan koperasi dapat tercapai sebagai badan usaha. Efisiensi yang berorientasi Pada Kepentingan Anggota, yaitusuatu tingkat dimana melalui berbagai kegiatan pelayanan yang bersifat menunjang dari perusahaan koperasi itu, kepentingan dan tujuan para anggota tercapai dan Efisiensi Yang Berkaitan Dengan Pembangunan, yaitu berkaitan dengan penilaian atas dampak-dampak yang secara langsung atau tidak langsung yang ditimbulkan oleh koperasi sebagai kontribusi koperasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan pembangunan pemerintah.
Lebih lanjut perlu dikemukakan mengenai urgensi konsep persaingan untuk memberikan juga diterapkan pada Koperasi sebagai badan usaha yang bersaing dengan badan usaha non koperasi. Dalamkonsep persaingan mempunyai tiga elemen pokok, yaitu badan usaha itu sendiri, pelanggan (dalam koperasi termasuk juga anggota koperasi) dan pesaing. Kesuksesan sebuah badan usaha harus dapat menselaraskan elemen pokok tersebut. Dalam pemasaran tradisional bertumpu hanya pada kepuasan pelanggan, namun sekarang pelanggan menuntut pelayan dan kualitas yang lebih. Kesuksesan juga tergantung pada pesaing, karena itu badan usaha koperasi memerlukan keunggulan tersendiri dibanding pesaing. Strategi keunggulan bersaing (Competitive Advantage), dapat dikembangakan dengan memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1. mengkonsentrasikan ukuran kinerja atas pelanggan. 2. keuntungan harus dapat dipersepsikan oleh pelanggan, 3. strategi dikembangkan secara berkelanjutan. Dengan menggunakan strategi ini maka badan usaha koperasi akan dengan sendirinya mampu bersaing dengan badan usaha non koperasi dan koperasi lainnya (Simon, Herman, 2001).
5. Rekomendasi Menuju Kemandirian Koperasi dalam Era Globalisasi
Suatu badan usaha mempunyai peluang untuk berkembang atau mengalami kegagalan. Hal ini hanya tergantung pada kondisi dan sistem pengelolaan badan usaha tersebut. Berangkat dari pernyataan-peryataan diatas, dalam hal ini koperasi memerlukan perhatian yang serius dalam menyongsong era globalisasi. Untuk dapat bertahan dalam persaingan usaha dengan memperhatikan beberapa rekomendasi yang sifatnya dari dalam maupun dari luar, sebagaimana berikut:
1.Pemerintah turut bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi usaha yang kondusif melalui instrumen yang diberlakukan, misalnya undang-undang persaingan dan etika usaha yang dimasyarakatkan secara intensif dan berkesinambungan. Harapan lebih lanjut adalah bagaimana instrumen tersebut mampu ditaati oleh semua pelaku usaha Tentunya hal ini secara tidak langsung juga perlu mengubah pendekatan yang selama ini terkesan dari atas ke bawah (top down) menjadi pendekatan yang lebih bersifat interaktif, dialogis dan hadap masalah. Dengan begitu apa yang diharapkan dari koperasi sebagai badan usaha yang memiliki kontribusi dalam pembangunan ekonomi dapat tercipta.
2.Kemandirian Koperasi menjadi tantangan terbesar menyonsong era globalisasi. Untuk itu perlu dipertegas lagi peranan pemerintah dan jajarannya. Pemerintah haruslah hanya menjadi fasilitator dalam tumbuh kembangnya koperasi Indonesia. Konsekuensi lain adalah koperasi harus mampu untukmandiri yang responsif pada perubahan yang terjadi. Tentunya untuk mempercepat menuju kemandirian koperasi ini, kemitraan dengan organisasi lain semisal LSM dan organisasi internasional lain perlu juga diperhatikan dengan serius.
3.Pengelolaan yang lebih efisien dan efektif akan membuat koperasi sebagai badan usaha mampu bersaing dengan badan usaha lainnya. Sehingga anggapan koperasi sebagai usaha milik rakyat marginal akan sedikit demi sedikit hilang. Tentunya hal ini dapat dipercepat dengan jalan secara radikal menyegarkan kembali kepada para koperasiawan dan masyarakat koperasi tentang hakekat koperasi dan perubahan yang terjadi di era globalisasi. Tanpa gerakan radikal yang bersifat massal dan berkelanjutan, mustahil koperasi mampu untuk menjadi penopang ekonomi anggotanya, yang secara tidak langsung juga jauh dari harapan sebagai soko guru perekonomian nasional.
4.Untuk memperbaiki citra, koperasi harus kembali pada jati dirinya dan membangun organisasi profesional. Citra yang baik sebenarnya sudah tersirat pada nilai-nilai yang dianut pada koperasi, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab sosial dan menolong diri sendiri. Seiring dengan perubahan waktu, nilai-nilai yang berada dimasyarakat juga mengalami perubahan. Kondisi ini langsung atau tidak langsung mempengaruhi persepsi anggota koperasi dan juga masyarakat koperasi mengenai perlu tidaknya koperasi dipertahankan, apalagi citra koperasi yang jauh dari yang diharapkan. Konsumerisme merupakan tantangan terbesar bagi robohnya prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dikandung dalam koperasi itu sendiri.
5.Koperasi sebagai badan usaha mempunyai peluang yang sama untuk berkembang, jika diberikan peluang dan kesempatan. Lepas dari konsep ekonomis sosial yang ada, koperasi dihadapkan pada persoalan nyata sebagai badan usaha yang harus berkompetisi dengan badan usaha lain. Tentunya dengan mencermati paradigma yang ada denga menerapakan Strategi Keunggulan Bersaing diharapkan koperasi mampu menjadi lebih prospektiv menghadapi era globalisasi.
6. Penutup
Era globalisasi menjadikan setiap elemen mengalami perubahan mendasar. Koperasi sebagai badan usaha tidak dapat menghindari perubahan lingkungan yang terjadi. Hal ini memerlukan perubahan pemikiran dengan mengadopsi konsep ekonomi dan manajemen, dabi dari sisi praktis maupun teoritis yang ada, supaya dapat bersaing dengan badan usaha lain secara wajar. Tentunya diperlukan juga penyegaran kembali konsep Koperasi dan meluruskan salah pendapat yang selama ini berkembang mengenai koperasi, supaya dapat diterima oleh masyarakat sebagai salah satu alternativ badan usaha.
Pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan ekonomi, secara konsisten harus mengembangkan iklim kondusif bagi pertumbuhan koperasi. Keberpihakan pemerintah pada kekuatan ekonomi rakyat melalui gerakan koperasi, akan berkembang dan menjadi kenyataan jika didukung oleh konsistensi dan sistem yang berlaku.
Daftar Pustaka
Blümle, 1985, Methods of Measuring Succsess and Effect in A Co-operative, in Co-oparative in The Clach Between Member Participation, Organisational Development and Bureaucratic Tendencies by Dülfer, E and Walter, H, Quiller Press Ltd., London.
Chukwu.S.C,1992, Ekonomi Perusahaan Perniagaan Koperasi, edisi Bahasa Melayu, Marburg Consult.
Cornforth, Chris, Alan Thomas, Jenny Lewis and Roger Spear, 1988, Developing Successful Worker Co-operatives, Sage Publication, London.
Davis, Peter, 1999, Managing the Cooperative Difference: A Survey of the application of modern management practices in the cooperative context, Cooperative Branch, International Labour Office, Geneva, Swiss.
Develtere, Patrick, 1994, Co-operative and Development, Acco, Leuven, Belgium.
Engel, A, 2001, Kooperationeffekte, Efizientvorteile und Erfolgspotentiale von Kooperationen und Kollektivem strategischem Handeln aus unternehmenstheoritischer und genossenscahftswissenschaftlicher Sicht, inNutzer-orientierte versus investor-orientierte Unternehmen, Marburger Fachgespräch am 22-23 Juni 2001, Marburg Germany.
Hanel, Alfred, 1992, Basic Aspects of Cooperative Organizations and Cooperative Self-Help Promotion in Developing Countries, Marburg Consult, Marburg, Germany.
Hanel, Alfred, 1989, Organisasi Koperasi: Pokok-pokok Pikiran Mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangannya di Negara-negara Berkembang, Universias Padjajaran, Bandung, Indonesia.
Hutagaol, M.P, 1996, Suatu Refleksi Krisis Mengenai Kesenjangan Ekonomi Nasional, Mimbar Sosek, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, Indonesia.
Indrawan, Rully , Dasar-dasarKoperasi: Implementasi Dalam Manajemen. http://rully-indrawan.tripod.com/
Iqbal, Mochmammad, 1984, Tantangan-tantangan Baru Dalam Perkembangan Koperasi di Indonesia, dalam dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengemabgan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.
International Labour Organisation, 2001, Report V (1): Promotion of Cooperative, Geneva, Swiss
Kandem, E, 2000,Cooperative Toward he 21st Century The Changing Enviroment of Cooperative in Developing Countries, in New Changes for Cooperativ Self-help in the Contexr of Liberalization and Globalization Practical Experiences and The Theoritical Reorientation, Seminar for Graduates of Co-operative Economics from 24th to 29th January 2000, ICDC, Philipps University of Marburg, Germany.
Jeon, J, 2000, Die Zukunft des Genossenschaftlichen Prinzips Ansatzpunkte zu Seiner Innovatorischen Fortentwicklung, in in New Changes for Cooperativ Self-help in the Contexr of Liberalization and Globalization practical experiences and the theoritical reorientation, Seminar for graduates of Co-operative Economics from 24th to 29th January 2000, ICDC, Philipps University of Marburg, Germany.
McCarrell, 1992, Tantangan dan Perubahan: Penyiapan Perdangangan Bagi Koperasi, Seri Forum Kuliah Dan Monografi Tentang Manajemen Koperasi dan Pengembangannya, Southeast Asia Forum for Development Anternatives.
Maurice-Adoum, 1988, Co-operative Management and Administration, International Labour Office, Geneva, Swiss
Nasution, Muslimin, 1992, Experience of TheCooperative Autonomy: Observation and Recommendation, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Roepke, Jochen, 1992, Genossenschaften und Wirschaftssytem, in Genossenschaftliche Selbhilfe und Struktureller Wandel, Marburg Consult, Marburg, Germany.
Rozi dan Hendri, 1997, Kapan dan Bilamana Berkoperasi, Unri Press, Riau, Indonesia.
Scholz A.N and Walsh. T.A, 1992, Relevance of Micro and Macro Levelsin The Autonomy of The Cooperative Movement, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Simon, Herman, 2001,Strategische Wettbewerbsvorteile, Frankfurter Allgemeine Zeitung, Samstag, 23 Juni, 2001, Nr. 143. Seite 68, Frankfurt, Germany.
Soejono, Ibnoe, 2000, Jatidiri Koperasi dalam Era Globalisasi, Makalah Ceramah di Universitas Jember, 27 Januari 2000, Jember, Indonesia.
Soejono, Ibnoe, 1992, Experiences of The Co-operative Autonomy: Review and Recomendation,, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Sutrisno, Lukman, 1984, Perspektif Perkembangan Koperasi dalam Struktur Masyarakat Indonesia Dewasa Ini, dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengemabgan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.

Suwandi, Ima, 1984, Memasyarakatkan Koperasi Melalui Pendidikan, dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengembagan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.

Suwandi, Ima, 1986, Koperasi: organisasi ekonomi yang berwatak sosial, Bhratara Karya Aksara, Indonesia

1 komentar: