Rabu, 26 Mei 2010

KONSTRIBUSI PAJAK HOTEL DAN RESTAURANT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SUMBAWA Oleh : M. Iksan AW, SE




1. JUDUL PENELITIAN
KONSTRIBUSI PAJAK HOTEL DAN RESTAURANT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SUMBAWA.

2. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti daripada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, telah membawa perubahan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah daerah propinsi/kota /kabupaten. Otonomi daerah yang sedang dilaksanakan dewasa ini merupakan salah satu bentuk fenomena politik yang sangat menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformas daripada penyelenggaraan pemerintahan daerah propinsi/kota/kabupaten yang dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai jawaban terhadap tuntutan masyarakat dan mahasiswa. Reformasi ini pada hakekat ini bertujuan untuk memberdayakan pemerintah daerah proopinsi/kota/kabupaten dalam mengurus dan menyelenggarakan unsur-unsur rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah berusaha mengembengkan dan meningkatkan perannya dalam bidang ekonomi keuagan. Dalam rangka meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah baik melalui administrator pemerintah, pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat sekaligu sebagai upaya peningkatan stabilitas politik dan kesatuan bangsa, maka pemberian otonomi daerah kepada kabupaten/kota yang nyata dan bertanggung jawab merupakan angin segar yang harus kita sambut dengan positif.
Dengan dikeluarkannya Undang-Uundang Nnomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,maka sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintah khususnya bagi daerah akan mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Otonomi bagi daerah akan benar-benar diterapkan secara nyata dan bertanggung jawab dan tidak lagi hanya semacam slogan saja.
Dalam mengurus dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah propinsi/kota/kabupaten yang meliputi tugas pemerintah umum, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan pemerintah daerah propinsi/kota/kabupaten. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 79 memiliki sumber-sumber pemiayaan yag terdiri atas :
1. pendapatan Asli Daerah :
a. Hasil Pajak Daerah
b. Hasil Retribusi Daerah
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah, hasil pengelolaan daeah yang dipisahkan
2. Dana Penimbangan
3. Pinjaman Daerah
Pajak daerah sebagai salah satu komponen pendapatan asli daerah memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Oleh sebab itu pajak daerah khususnya dikelola secara profesional dan transparan dalam rangka optimalisasi dan usaha meningkatkan konstribusinya terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui intensifikasi pemungutan dan ektensifikasi subyek dan obyek pajak daerah. Konstribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah masih sangat kecil.
Adapun jenis pajak kabupaten/kota menurut Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000, tentang perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah pasal 2 ayat (2) terdiri dari :
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C
7. Pajak Parkir
Sebagai konsekuensi menjalankan otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001, maka masing-masing daerah dituntut untuk berupaya menigkatkan sumber pendapat asli daerah agar mampu membiayai penyalenggaraan pemerintah dan lebih meningkatkan pelayanan masyarakat.
Upaya peningkatan pendapatan asli daerah dapat dilakukan dengan intensifikasi yang salah satunya adalah dengan meningkatkan efisiensi sumber daya dan sarana yang terbatas serta meningkatkan efektivitas pemungutan yaitu dengan mengoptimalkan potensi yang ada serta terus diupayakan menggali sumber-sumber pendapatan baru yang potensinya memungkinkan sehingga dapat dipungut pajak atau retribusinya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah Kota Mataram mengelola 8 (delapan) jenis pajak daerah. Salah satunya pajak daerah tersebut menjadi topik bahasan dalam penulisan ini adalah Pajak Hotel dan Restoran (PHR). Untuk mendpatkan gambar mengenai pajak hotel dan restoran dan keberadaannya dibandingkan dengan jenis pajak daerah lainnya secara total penerimaan PAD Kabupaten Sumbawa secara keseluruhan, dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 1.1.
Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sumbawa Tahun 2004 – 2008
No
Uraian Jenis Pajak
2004
2005
2006
2007
2008
1.
P.H.T
711.581.633.00
882.773.764.00
930.88.709.00
1.153.658.659.002.
1.329.332.240.00
2.
P. Restoran
1.683.944.192.00
1.788.707.521.00
1.921.088.944.00
2.204.804.235.00
2.716.142.584.00
3.
P. Hiburan
97.190.700.00
134.663.067.00
114.630.000.00
200.788.425.00
177.384.000.00
4.
P. Reklame
360.478.470.00
400.106.477.00
432.958.195.00
519.473.832.00
566.331.488.00
5.
P. P. Jalan
3.013.271.830.00
4.242.507.719.00
4.864.926.975.00
5.420.572.477.00
6.192.216.916.00
6.
P.G. Gol. C
186.842.677.92
190.443.495.79
277.981.213.00
246.831.869.00
260.253.962.00
7.
P. Atas Pengiri man Bar. Antar Pulau
571.414.736.60
500.000.000.00
360.827.963.00
36.119.800.00
0.00
8.
P. Usaha Pemondokan
0.00
0.00
0.00
0.00
58.743.300.00
Total Pajak
6.624.724.239.52
8.139.202.043.79
8.853.298.899.00
9.782.249.297.00
11.290.396.490.00
Total PAD
14.079.684.376.15
18.086.493.277.61
17.277.296.855.51
21.340.066.401.85
25.889.052.143.27
Sumber : Dispenda Kabupaten Sumbawa

Dari data tersebut diatas dapat diperoleh gambaran mengenai perkembangan pajak daerah khususnya pajak hotel dan restoran serta perkembangan pendapatan asli daerah di kabupaten sumbawa selama 5 (lima) tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. realisasi penerimaan pajak hotel dan restoran kelihatan mengalami peningatan. Apabila dibandingkan dengan penerimaan pajak secara keseluruhan, kelihatan bahwa pajak daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Dengan melihat masalah tersebut diatas, maka dalam penulisan ini akan dibahas dan di analisis mengenai pengelolaan pendapatan asli daerah di Kabupaten Sumbawa khususnya mengenai mengenai pengelolaan pemungutan pajak hotel dan restoran dari sudut pandang konstribusi.





3. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan uraian latar belakang diatas, maka permasalahannya adalah :
“Apakah pengelolaan PAD di Kabupaten Sumbawa khususnya mengenai pajak hotel dan restoran sudah baik dari sudut pandang konstribusi”.

4. BATASAN MASALAH
Suatu masalah yang akan dibahas atau di analisis apabila tidak diberi batas ruang lingkup pembahasannya tentu akan menjadi panjang lebar dan tidak terarah, yang akhirnya akan mempengaruhi ketidakberhasilan sasaran yang akan diinginkan. Untuk itu, sesuai dengan permasalahan yang diberikan dalam penulisan ini, maka analisis yang akan dilakukan akan dibatasi menyangkut pemungutan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Sumbawa tahun 2004 – 2008 yang difokuskan mengenai masalah-masalah : “Seberapa besar Konstribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Peningkatan PAD Kabupaten Sumbawa”.

5. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini yaitu :
Untuk mengetahui keadaan dan perkembangan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Sumbawa dalam 5 (lima) tahun terakhir, seperti laju pertumbuhannya pertahun dan konstribusinya terhadap pajak daerah serta Pendapatan Asli Daerah.
Untuk mengetahui tingkat pengelolaan pemungutan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Sumbawa.



6. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
Secara akademis untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai kebulatan studi Strata 1 (S1) pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Samawa (UNSA) Sumbawa Besar.
Secara teoritis ilmiah dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan bidang ilmu pengetahuan serta menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah.
Bagi Pemerintah Kabupaten Sumbawa dan masyarakat diharapkan nantinya dengan adanya kinerja keuangan yang baik, akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian keuangan daerah.

7. ASUMSI PENELITIAN
Asumsi adalah anggapan dasar yang menjadi tumpuan segala pendapatan dan kegiatan terhadap masalah yang dihadapi (Prof. Winarno. S, 1980 : 19). Pendapatan lain menyatakan bahwa asumsi merupakan anggapan tentang situasi dan kondisi yang diakui benar atau tidak perlu diuji kebenarannya (Drs. Sanapiah Faesal, 1981 : 24).
Berdasarkan kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa asumsi adalah anggapan dasar tentang suatu kebenaran yang tidak perlu diuji kebenarannya. Untuk menghindari kesimpangsiuran dan salah penafsiran yang dapat mengaburkan pemikiran dan langkah – langkah pemecahan masalah yang dihadapi, maka perlu diadakan asumsi, sebagai berikut :
7.1. Data tentang jumlah konstribusi Pajak Hotel dan Restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sumbawa adalah dianggap sudah benar.
7.2. Faktor – faktor lain diluar penelitian ini yang turut mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah dianggap sama.
8. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
“Diduga pajak hotel dan restoran dalam peningkatan PAD di Kabupaten Sumbawa dilihat dari konstribusi selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 sudah menunjukkan hasil yang baik”.

9. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif yaitu penelitian yang meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis antara fenomena yang diselidiki (Natsir, 1999 : 63).
Penelitian ini akan berusaha untuk menggambarkan pengelolaan pajak hotel dan restoran di lihat dari efesiensi dan efektivitas selama 5 (lima) tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.

10. METODE PENELITIAN
Metode penelitian meliputi : Definisi Operasional, Subyek Penelitian, Identifikasi dan Klasifikasi Variabel, Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data serta Teknik Analisa Data.
Definisi Operasional
Untuk menghindari akan terjadinya kekeliruan dalam menafsirkan arti dan makna dari isitilah – istilah didalam penelitian yang berjudul : KONSTRIBUSI PAJAK HOTEL DAN RESTAURANT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SUMBAWA, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa istilah sebagai berikut :
a. Konstribusi
Kontibusi merupakan sumbangan dari berbagai komponen yang dinilai, baik berupa barang maupun jasa. (Winardi, 1987 : 64). Menurut WJS. Poerwadarminta, 1982 : 67, yang dimaksud dengan kontribusi dalah hasil manfaat dari suatu pekerjaan baik berupa uang maupun jasa yang dapat dihitung berdasarkan suatu nilai.
Jadi, yang dimaksud dengan konstribusi dalam penelitian ini adalah sumbangan yang didapat dari Pajak Hotel dan Restoran dalam rangka menunjang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumbawa Tahun 2004 - 2008.
b. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh daerah yang bersumber dari : (1) Hasil Pajak Daerah, (2) Hasil Retribusi Daerah, (3) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, (4) Lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. (UU No. 25 Tahun 1999, Pasal 4).
Berdasarkan pendapat diatas, maka yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah dalam penelitian ini adalah merupakan seluruh pendapatan yang diterima oleh daerah yang bersumber dari hasil pajak hotel dan restoran.

Subyek Penelitian
Adapun subyek dari penelitian adalah pajak hotel dan restoran dalam meningkatkan PAD di Kabupaten Sumbawa.

Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
Setelah terumusnya masalah penelitian, selanjutnya menentukan variabel penelitian. Variabel penelitian merupakan unsur penelitian yang mempunyai variasi nilai, sehingga dipandang perlu untuk mengetengahkan atau mempertegas pentingnya identifikasi variabel. Hal ini merupakan yang terpokok dalam meneliti atau menjawab serta menguji hipotesis, seperti yang dikemukan oleh Rony Hamitojo Soemitro yang menyatakan sebagai berikut :
“ Penelitian sekaligus perlu mengidentifikasikan variabel yang relevan dengan masalah pokok penelitiannya. Dalam metodologi untuk menguji hipotesis penelitian, peneliti sekali lagi harus memastikan variabel – variabel apa saja nanti yang dilibatkan dalam penelitiannya, variabel – variabel itu kemudian diidentifikasikan dan terakhir ditentukan cara dan instrumen penelitiannya “. (Rony Hamitojo Soemitro, 1983 : 39).

Berdasarkan kutipan diatas, dalam penelitian ini penulis berusaha mengkaji variabel – variabel atau memusatkan perhatian pada besarnya tingkat Konstribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumbawa Tahun 2004 – 2008. Dari penelitian tersebut nantinya dapat dilihat seberapa besar tingkat Konstribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumbawa Tahun 2004 – 2008.

Jenis dan Sumber Data
Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data kuantitatif yaitu data penelitian yang berupa angka-angka yang dapat diukur besarnya dan dapat dihitung dengan pasti. Seperti laporan target dan realiasi APBD Kabupaten Sumbawa.

Sumber Data
Dalam suatu penelitian dibutuhkan data – data informasi yang digunakan untuk menguji dari penelitian tersebut, sehingga penelitian tersebut mempunyai bobot yang memadai serta memberikan kesimpulan yang tidak meragukan.
Sumber data yan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dinas-dinas atau instansi-instansi terkait yang berbentuk angka-angka yang berupa daftar penerimaan pajak daerah dan pendapatan asli daerah.

Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode sampel survey. Metode sampel survey yaitu metode yang hanya mengambil sebagian saja dari populasi yang ada dengan menentukan sampel, yang diharapklan dapat mewakili populasi secara menyeluruh guna memperoleh data yang cukup representatif. Metode ini digunakan karena jumlah populasi relatif banyak.

10.5.1. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah mengadakan tanya jawab secara langsung dengan pimpinan atau staf yang ditunjuk mengenai hal-hal yang berkitab dengan masalah yang diteliti serta memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan.

10.5.2. Dokumentasi
Dokumentai adalah cara pengumpulan data dengan menyalin atau mencatat data-data yang terdapat di Dispenda yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Tehnik Analisis
10.6.1. Laju Pertumbuhan Pajak Hotel dan Restoran
Untuk menghitung laju pertumbuhan dari penerimaan pajak hotel dan restoran digunakan rumus sebagai berikut :
1. Perhitungan Laju Pertumbuhan Pajak Hotel dan Restoran di Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2006.
Gx =
Xt – X(t-1)
=
x 100 %
X(t-1)

Keterangan :
Gx : Laju Pertumbuhan PHR pertahun
Xt : Realisasi Penerimaan PHR
pada tahun tertentu
X(t-1) : Realisasi Penerimaan PHR
pada tahun sebelumnya

2. Konstribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pajak Daerah dan PAD.
Untuk menghitung konstribusi penerimaan pajak hotel dan restoran terhadap pajak daerah dan pendapatan asli daerah digunakan rumus sebagai berikut :
X
x 100 %
dan
X
x 100%
Y
Z

Keterangan :
X : Realisasi Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran
Y : Realisasi Penerimaan Pajak
Z : Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
















11. SISTEMATIKA SKRIPSI
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah dan Batasan Masalah
Tujuan
Manfaat
Asumsi
Hipotesis

II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Tentang ............
Tinjauan Tentang ............
Tinjauan Tentang ............
Tinjauan Tentang ............

III. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Definisi Operasional
Populasi dan Sampel atau Subyek Penelitian
Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis
Diagram Alur Penelitian

IV. HASIL PENELITIAN
Gambaran Lokasi Penelitian
Data Yang Diperoleh
Analisa Data
Pembahasan
V. PENUTUP
Kesimpulan
Saran

VI. DAFTAR PUSTAKA


12. RENCANA KEGIATAN PENELITIAN


13. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suahrsimi, 1992, “Prosedur Penelitian” Reneka Cipta – Jakarta.
Depdiknas, 2002. “Kamus Besar Bahasa Indonesia” Edisi Ketiga, Balai Pustaka – Jakarta.
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, 1991. Himpunan Penyusunan Perundang-Undangan Pajak Daerah Tingkat.
Deddy K. 2002. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi Daerah. Tinjauan Tentang Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah. Jakarta – Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.
Faesal Sanapiah, 1982. “Metodologi Penelitian Pendidikan” Usaha Nasional – Surabaya.
Halim Abdul, 2004. Bunga Rampai. Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi. UPP AMP YKPN.
Hasan, M. Iqbal, 2002. “Pokok – Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif)”, PT. Bumi Aksara – Jakarta.
Jones R. Dan Pendlebury M. 1996. Public Sector Accounting. Pitman Publishing – London.
Konsuelo G. Sevilla (Alimuddin Tuwu), Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia ; 1993.
Nogroho, A.R.H. 1996. Efesiensi dan Efektivitas Penarikan Pajak Hotel dan Restoran Dalam Upaya Peningkatan PAD.
Poerwadarminta, WJS. 1999 “Kamus Umum Bahasa Indonesia” Balai Pustaka – Jakarta.



Selasa, 25 Mei 2010

KEBIJAKSANAAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI : M. IKSAN AW, SE



POKOK BAHASAN :

I. RUANG LINGKUP DAN KARAKTERISTIK PEREKONOIMAN INDONESIA

1.1. SATUAN ACARA PERKULIAHAN

a. Tujuan Umum:
Agar mahasiswa mengenal dan memahami tentang tahap dan permasalahan pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memperhatikan ciri khusus (karakteristik) Indonesia sebagai negara kepulauan (nusantara). Pembahasan menyangkut masalah akumulasi, alokasi, demografi dan distribusi lalu dilanjutkan dengan masalah strategi, peran serta kebijakan dalam dan luar negeri.

b. Tujuan Khusus :
- Agar mahasiswa mengetahui masalah-masalah yang menyertai proses pembangunan ekonomi di Indonesia
- Agar mahasiswa mengetahui pilihan straegis pembangunan ekonomi yang sesuai dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan (nusantara)
- Agar mahasiswa memahami peran dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersiffat makro, meso dan mirko dalam lingkup kebijakan dalam negeri maupun kebijakan luar negeri.

c. Materi Pembahasan :
- Masalah yang menyertai pembangunan ekonomi
(1) Masalah akumulasi sumber daya produksi (sdp)
(2) Masalah alokasi sumber daya produksi (sdp)
(3) Masalah distgribusi pendapatan nasional
(4) Masalah kelembagaan/ pelaku-pelaku ekonomi
- Yang mempengaruhi karakteristik Perekonomian Indonesia :
(1) Faktor geografi
(2) Faktor demografi
(3) Faktor sosial, budaya dan politik.
- Pilihan strategi pembangunan ekonomi
(1) Strategi pertumbuhan ekonomi (economic grawth)
(2) Strategi perkembangan ekonomi (econoic development)
(3) Strategi pembangunan berwawasan nusantara
- Peran dan kebijakan pemerintah
(1) Peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi
(2) Kebijakan ekonomi mikro, meso, makro, kebijakan ekonomi dalam negeri dan hubungan ekonomi luar negeri.






1.2. PEMBAHASAN MATERI

A. MASALAH YANG MENYERTAI PEMBANGUNAN EKONOMI
Tujuan pembangunan bukan hanya menginginkan adanya perubahan dalam arti peningkatan PDB tapi juga adanya perubahan struktural. Perubahann struktur ekonomi berkisar pada segi akuvmulasi (pengembangan sdp secara kuantitatif dan kualitatif), segi alokasi (pola penggunaan sdp), segi institusional (kelembagaan ekonomi dalam kehidupan masyarakat), segi distribusi (pola pembagian pendapatan nasional) (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).

B. KARAKTERISTIK PEREKONOMIAN INDONESIA

- Indonesia sebagai negara keupulauan (nusantara) memiliki ciri-ciri khusus, yang berbeda dengan negara tetangga ASEAN, bahkan berbeda dengan negara-negara lain di dunia sehingga perekonomiannya memiliki karakteristik sendiri.
- Yang mempengaruhi karakteristik perekonomian Indonesia :
1. Faktor geografi
· Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 13.677 pulau besar – kecil (baru 6.044 pulau memiliki nama, diantaranya 990 pulau yang dihuni manusia); terbentang dari 60LU sampai 110LS sepanjang 61.146 km., memiliki potensi ekonomi yang berbeda-beda karena perbedaan SDA, SDm, kesuburan tanah, curah hujan (Sutjipto, 1975).
· Wilayah Indonesia seluas 5.193.250 km2, 70 persennya (± 3,635,000 km2) terdiri dari lautan (menjadi negara bahari) letaknya strategis karena : memiliki posisi silang (antara Benua Asia dan Benua Australia), menjadi jalur lalulintas dunia (antara Laut Atlantik dan Laut Pasifik) dan menjadi paru-paru dunia (memiliki hutan tropis terbesar).
· Menghadapi kesulitan komunikasi dann transportasi antar pulau (daerah) baik untuk angkutan barang maupun penumpang; arus barang tidak lancar; perbedaan harga barang yang tajam; perbedaan kesempatan pendidikan dan kesempatan (lapangan) kerja; kesemuanya itu merupakan potensi kesenjangan.

2. Faktor Demografi
· Indonesia negara nomor 4 di dunia karena berpenduduk lebih dari 310 juta orang. Penyebaran penduduk tidak merata (dua per tiga tinggal di P. Jawa), sebagian besar hidup di pedesaan (pertanian), bermata pencairan sebagai petani kecil dan burah tani dengan upah sangat rendah.
· Mutu SDM rendah : ± 80% angkatan kerja berpendidikan SD. Produktivitas rendah karena taraf hidup yang rendah: konsumsi rata-rata penduduk Indonesia RP 82.226 per bulan (1993), namun 82% penduduk berpendapatan di bawah RP 60.000 per bulan per kapita (Sjahrir, 1996).
· Indonesia yang berpenduduk lebih dari 210 juta orang membutuhkan berbagai barang, jasa dan fasilitas hidup dalam ukuran serba besar (pangan, sandang, perumahan dan lain-lain). Namun dilain pihak kemampuan kita untuk berproduksi (produktivitasnya) rendah. Hal ini akan menciptakan kondisi munculnya rawan kemiskinan.

3. Faktor sosial, budaya dan politik
· Sosial : Bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku (heterogin) dengan beraagam budaya, adat istiadat, tata nilai, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Karena perbedaan latar belakang, pengetahuan dan kemampuan yang tidak sama, maka visi, persepsi, interpretasi dan reaksi (aksi) mereka terhadap isu-isu yang sama bisa berbeda-beda, yang sering kali menimbulkan konflik sosial (SARA).
· Budaya : Bangsa Indonesia memiliki banyak budaya daerah, tapi sebenarnya kita belum memiliki budaya nasional (kecuali bahasa Indonesia). Namun sebagai salah satu bangsa “Timur” (bangsa yang merdeka dan membangun ekonomi sejak akhir Perang Dunia II), mayoritas bangsa Indonesia sampai sekarang masih terpengaruh (menganut) “budaya” Timur, budaya status orientation. Budaya status orientation bercirikan: semangat hidupunya mengejar pangkat, kedudukan, status (dengan simbol-simbol sosial); etos kerjanya lemah; senang bersantai-santai; tingkat disiplinnya rendah, kurang menghargai waktu (jam karet). Lawannya “budaya” barat, budaya achievement orientation dengan ciri-ciri sebaliknya.
· Budaya status orientationn tidak produktif, konsumtif, suka pamer dan mudah memicu kecemburuan sosial.
· Politik : sebelum kolonialis Belanda datang, bangsa Indonesia hidup di bawah kekuasaan raja-raja. Ratusan tahun bangsa Indonesia hidup di bawah pengaruh feodalisme dan kolonialisme. Ciri utama feodalisme antara lain adalah kultus individu (raja selalu diagungkan). Ciri utama kolonialisme antara lain adalah otoriter (laksana tuan terhadap budak).
· Sisa-sisa pengaruh feodalisme (kultus individu) dan pengaruh kolonialisme (otiriter) sampai sekarang belum terkikis habis. Hal ini sangat terasa pada percaturan dan pergolakan politik di Indonesia. Perilaku yang kurang demokratis dari para elit politik dan perilaku kurang menghargai HAM dari para penguasa, menghambat kelancaran proses demokratisasi politik di Indonesia. Pada gilirannya hal ini menghambat terciptanya demokrasi ekonomi.
· Dari uraian pengaruh faktor-faktor di atas dapat disimulkan bahwa perekonomian Indonesia mengandung tiga potensi kerawanan.
· Tiga potensi kerawanan yang menjadi karakteristik perekonomian Indonesia adalah:
1) Potensi rawann kesenjangan, terutama kesenjangan antara daerah (pulau). Hal ini terutama sebagai akibat pengaruh faktor geografi.
2) Potensi rawan kemiskinan, terutama kemiskinan di darah pedesaan. Hal ini terutama sebagai akibat pengaruh faktor demografi dan faktor budaya.
3) Potensi rawan perpecahan, terutama perpecahan antar suku, antar golongan (elit) politik. Hal ini terutama sebagai akibat pengaruh faktor sosial-politik..

C. PILIHAN STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI
- Strategi pembangunan dengan pertumbuhan terbukti gagal menyelesaikan persoalan-persoalan dasar pembangunan. Dalam kiprahnya strategi itu justru menciptakan persoalan-persoalan seperti kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan antar pelaku ekonomi (Budi Santoso, 1997).
- Konsep pertumbuhan ekonomi menurut Boediono adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Sedangkan teori pertumbuhan ekonomi bisa kita definisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1982).
- Joseph Schumpeter membedakan dua latihan yaitu pertumbuhan ekonomi (growth) dan perkembangan ekonoim (development). Kedua-duanya adalah sumber dari peningkatan output masyarakat, tetapi masing-masing mempunyai sifat yang berbeda (Boedino, 1982).
1. Strategi Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth)
· Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan ouptut masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan cara-cara atau “teknologi” produksi itu sendiri.
· Indonesia menganut strategi pertumbuhan ekonomi dan dalam melaksanakan pembangunan memakai Model Harrod Domar. Menurut kedua ekonomi ini, setiap penambahan stock kapital masyarakat (K) meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output (Qp). di sini Qp menunjukkan output yang potensial bisa dihasilkan dengan stock kapital (kapasitas produksi) yang ada.
· Hubungan K dan Qp : Qp = hK atau 1/h = K/Qp
1/h = Capital output ratio (COR)
koefisien ini menunjukkan untuk menghasilkan setiap unit output diperlukan berapa unit kapital.
Karena hubungan antara K dan Qp adalah proposional, maka :

DQp : Qp = hDK atau 1/h = DK/DQp
1/h = Incremeental capital output ratio (ICOR)
koefisien ini menunjukkann untuk menghasilkan tambahan setiap unit output diperlukan berapa unit tambahan kapital (investasi)
· Konsekuensi strategi pertumbuhan adalah bahwa besar kecilnya laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada naik turunnya tingkat investasi. Contoh : petro dollar (kelebihan harga minyak) pertumbuhan ekonomi melonjak drastis dari 2,5% (sebelum dimulai Pelita) menjadi 7,0% (selama Pelita I, II dan Pertengahan Pelita III). Tapi mulai pasca Oil Boom maka pertumbuhan ekonom merosot sampai 2,5% (bersamaan resesi dunia tahun 1982) dan baru pulih kembali pada awal Pelita V mencapai 7,1% (1990).
· Sejak krisis moneter pertengahan tahun 1997 dimana terjadi capital flight besar-besaran, pertumbuhan ekonomi merosot dengan cepat, masingmasing 8,5%, 6,8%, 2,5% dan 1,4% (untuk triwulan I, II, III, dan IV tahun 1997). Tahun 1998 pertumbuhan menjadi negatif.

2. Strategi Perkembangan Ekonomi (Economic Development)
- Perkembangan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh entreprener (wiraswastaan). Inovasi menyangkut perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi itu sendiri, yang bersumber dari kreativitas para wiraswastawan.
- Syarat-syarat terjadinya inovasi (perkembangan ekonomi)
(1) Harus tersedia cukup calon-calon pelaku inovasi (entreprenur) di masyarakat
(2) Harus ada lingkungan sosial, politik dan teknologi yang bisa menjadi tempat subur bagi semangat inovasi
(3) Harus ada cadangan atau supplai ide-ide baru secara cukup.
(4) Harus ada sistem prekreditan yang bisa menyediakann dana bagi para entrepreuner.
- Ada lima kegiatan yang termasuk inovasi, yaitu :
(1) Diperkenalkannya produk baru yang sebelumnya tidak ada.
(2) Diperkenalkannya cara produksi baru, mesin baru
(3) Penemuan sumber-sumber bahan mentah baru.
(4) Pembukaan daerah-daerah pasar baru
(5) Perubahan organisasi industri sehingga meningkatkan efisiensi.
- Disini ada perubahan sistem ekonomi sehingga dari waktu ke waktu kegiatan-kegiatan ekonomi berjalan maini efisien, yang mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada tingkat investasi.

Strategi Pembangunan Berwawasan Nusantara
- Wawasan adalah pandangan hidup suatu bangsa yang dibentuk oleh kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan hidup bangsa Indonesia adalah pulau atau kepulauan yang terletak di antara samudera pasifik dan atlantik, di antara benua Asutralia dan Asia (Nusantara).
- Pembangunan berwawasan nusantara sebenarnya tidak lain adalah pembangunan yang berwawasan ruang. Pembangunan berwawasan ruang (ekonomi regonal) tersirat dalam argumentasi Myrdall dan Hirschman, yang mengemukakan sebab-sebab daerah miskin kurang mampu berkembang secepat seperti yang terjadi di daerah yang lebih kaya (Suroso, 1994).
- Dilihat dari dimensi ekonomi-regional, Indonesia menghadapi dilema dualisme teknologis, yakni perbedaan dan ketimpangann mengenai pola dan laju pertumbuhan di antara berbagai kawasan dalam batas wilayah satu negara. Dilema teknologis menonjol karena adanya asimetri (ketidakserasian) antara lokasi penduduk dan lokasi sumber alam (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
- Menurut Laoede M. Kamaludin, penataan ruang di masa datang sebaiknya tidak hanya mengacu pada daratan, namun juga harus berorientasi pada penataan ruang kemaritiman. Sedikitnya terdapat tiga pendekatan yang dapat dikembangkan :
§ Pembangunan ekonomi berbasis teknologi tinggi, pusat pendidikan, jasa dan pariwisata. Ini tepat diterapkan di P. Jawa, Bali dan Batam.
§ Pembangunan ekonomi yang berbasis potensi kelautan. Ini lebih tepat dikembangkan di kawasan timur Indonesia dan kepulauan kecil di Sumatera.
§ Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya mineral dan tanaman industri dapat dikembangkan di pulau Sumatera (Kompas, 25-5-1999)
- Mengapa pembangunan berwawasan nusantara penting. Seiring dengan makin berkembangnya dan makin membesarnya jumlah penduduk maka kita perlu memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk menggali persediaan bahan mentah dan sumber-sumber energi yang masih tersimpan banyak dalam flora dan fauna di lautan. Dalam waktu mendatang laut akan merupakan ladang utama dalam manusia mencari bahan makanan dan keperluan hidup (Sutjipto, 1995).
Dua pertiga wilayah Indonesia berupa lautan. Sumber daya hayati Indonesia memiliki potensi lestari 4 juta ton dalam airlaut, 1,5 ton dalam air budidaya, 0,8 juta ton dalam air tawar (Kartili, J, A., 1983).

D. PERAN DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
1. Peran Pemerintah
- Peran atau campur tangan pemerintah dalam perekonomian ada yang bersifat kuat (negara sosialis), ada yang lemah (negara kapitalis). Indonesia menganut sistem ekonomi campuran dengan mengutamakan berlangsungnya mekanisme pasar sepanjang tidak merugikan kepentingan rakyat banyak.
- Campur tangan pemerintah dapat dibenarkan secara konstitusional :
(1) Dari isi pembukaan UUD 1945 dengan Pancasilanya, dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah haruslah diarahkan untuk :
(a) Memajukan kesejahteraan umum
(b) Memajukan kecerdasan kehidupan bangsa
(c) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
(2) Pasal 33 UUD 1945 bersama dengan pasal 34 dan pasal 27 ayat 2 mengandung amanat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial seluruh rakyat melalui :
(a) Penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
(b) Penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya.
(c) Pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar
(d) Penyediaan lapangan kerja
2. Kebijaksanaan Pemerintah
- Tujuan utama atau akhir kebijakan ekonomi adalah untuk meningkatkan taraf hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat. Diukur secara ekonomi, kesejahteraan masyarakat tercapai bila tingkat pendapatan riil rata-rata per kapita tinggi dengan distribusi pendapatan yang retif merata. Tujuan ini tidak bisa tercapai hanya dengan kebijakan ekonomi saja. Diperlukan juga kebijakan non kebijakan ekonomi saja. Diperlukan juga kebijakan non ekonomi, seperti kebijakan sosial yang menyangkut masalah pendidikan dan kesehatan. Kebijakan ekonomi dan kebijakan non ekonom harus saling mendukung.

Lihat gambar (tulus Tambunan, 1996
Klasifikasi kebijakan ekonomi menurut tingkat agregasi atau ruang lingkup pengaruh/ ssaran

KEBIJAKAN MAKRO
Sasaran : Perusahaan
Sasaran : Sektoral/Regional
KEBIJAKAN MIKRO
Sasaran : Nasional
KEBIJAKAN MESO










- Selain itu kebijakan ekonomi mempunyai intermediate target sebelum mencapai tujuan akhir. Sasaran perantara tersebut mencakup lima hal utama :
(1) Pertumbuhan ekonomi (misalnya PDB atau pendapatan nasional)
(2) Distribusi pendapatan yang merata
(3) Kesempatan kerja sepenuhnya
(4) Stablitas harga dan nilai tukar
(5) Keseimbangan neraca pembayaran
Lima sasaran ini erat kaitannya dengan masalah stabilitas ekonomi.

- Tiga macam kebijakan Ekonomi (menurut agregasinya) :
(1) Kebijakan ekonomi mikro
- Kebijakan pemerintah yang ditujukan pada semua perusahaan tanpa melihat jenis kegiatan yang dilakukan oleh atau disektor mana dan diwilayah mana perusahaan yang bersangkutan beroperasi.
- Contohnya :
(a) Peraturan pemerintah yang mempengaruhi pola hubungan kerja (manajer dengan para pekerja), kondisi kerja dalam perusahaan.
(b) Kebijakan kemitraan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil di semua sektor ekonoim
(c) Kebijakan kredit bagi perusahaan kecil di semua sektor dan lain-lain.

(2) Kebijakan Ekonomi Meso
- Kebijakan ekonomi sektoral atau kebijakan ekonomi regional. Kebijakan sektoral adalah kebijakan ekonomi yang khusus ditujukan pada sektor-sektor tertentu.s etiap departemen mengeluarkan kebijakan sendiri untuk sektornya, seperti keuangan, distribusi, produksi, tata niaga, ketenaga kerjaan dan sebagainya.
- Kebijakan meso dalam arti regional adalah kebijakan ekonomi yang ditujukan pada wilayah tertentu. Misalnya kebijakan pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia (KTI), yang mencakup kebijakan industri regonal, kebijakan investasi regional dan sebagainya. Kebijakan ini bisa dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

(3) Kebijakan Ekonomi Makro
- Kebijakan ini mencakup semua aspek ekonomi pada tingkat nasional, misalnya kebijakan uang ketat (kebijakan moneter). Kebijakan makro ini bisa mempengaruhi kebijakan meso (sektoral atua regional), kebijakan mikro menjadi lebih atau kurang efektif.
- Instrumen yang digunakan untuk kebijakan ekonomi makro adalah tarif pajak, jumlah pengeluaran pemerintah melalui APBN, ketetapan pemerintah dan intervensi langsung di pasar valuta untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang rupiah terhadap valas. (Tulus Tambunan, 1996).
- Kebijakan ekonomi juga bisa dibedakan antara kebijakan ekonomi dalam negeri dan kebijakan ekonomi luar negeri.
a. Kebijakan Ekonomi dalam Negeri
(1) Kebijakan sektor ekonomi, seperti pertanian, industri dan jasa-jasa
(2) Kebijakan keuangan negara, seperti perpajakann, bea cukai, anggaran pemerintah (APBN).
(3) Kebijakan moneter perbankan, seperti jumlah uang beredar, suku bunga, inflasi, perkreditan, pembinaan dan pengawasan bank.
(4) Kebijakan ketenagakerjaan, seperti penetapan upah minimum, hubungan kerja, jaminan sosial
(5) Kebijakan kelembagaan ekonomi, seperti BUMN, koperasi, perusahaan swasta, pemberdayaan golongan ekonomi lemah (UKM), dan lain-lain kebijakan.
b. Kebijakan hubungan ekonomi luar negeri
(1) Kebijakan neraca pembayaran, seperti pengamanan cadangan devisa negara.
(2) Kebijakan perdagangan LN, seperti tata-niaga (ekspor dan impor), perjanjian dagang antar negara.
(3) Kebijakan penanaman modal asing, seperti perizinan investasi langsung, investasi tidak langsung, usaha-usaha patungan.
(4) Kebijakan hutang LN, menyangkut hutang pemerintah, hutang swasta, perundingan/ perjanjian dengan para kreditor, dan lain-lain kebijakan.


1.3. DAFTAR BACAAN
1. Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 1982.
2. Suroso, P.C., Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1994.
3. Djojohdikusumo, Soemitro, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1993.
4. Sjahrir, “Kemiskinan, Keadilan dan Kebersamaan”, Makalah pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Ke-13, Medan, 1996.
5. Sutjipto, E. “Suatu Ikhtisar Lembar Pengajaran Wawasan Nusantara”, dalam Bunga Rampai Wawasan Nusantara I, LEMHANAS, 1981.
6. Santoso, Budi, “Dinamika dan Pertumbuhan Ekonomi rakyat dalam Perspektif Strategi Pembangunan”, dalam Daya Saing Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas, Diterbitkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti ke-31, Media Ekonomi Publising (MEP),…..
7. Tambunan, Tulus T.H., Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, 1996.
8. Kartili, J.A., Prof. Dr., Sumber Daya Alam, untuk pembangunan nasional, Ghalia Indonesia, Jakarta 1983.

Globalisasi, Kompetisi, dan Kooperativisme Oleh : M. Iksan AW, SE




Sejak awal lahirnya ilmu ekonomi, telah diakui bahwa ilmu ekonomi adalah
suatu moral-science. Adam Smith sebelum menerbitkan bukunya Wealth of Nations
yang sangat terkenal itu (1776) ia menerbitkan lebih dahulu bukunya The Theory of
Moral Sentiments (1759).
Sebagai suatu moral science ilmu ekonomi secara epistemologis disusun dan
dikembangkan oleh berbagai school of thought nya masing-masing untuk peduli tidak
saja dengan masalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sekaligus dengan masalah
pemerataan ekonomi, lapangan kerja dan keadilan, khususnya keadilan-sosial.
Itulah sebabnya, pada awal berkembang kapitalisme, diakuinya perilaku manusia
sebagai homo-economicus (economic animal) banyak yang menentangnya. Manusia
juga harus dilihat sebagai homo-socious, bahkan juga sebagai homo-religious (homoimago-
Dei).
Ilmu ekonomi terpecah-pecah menjadi berbagai ideologi dan doktrin ekonomi.
Yang paling menonjol adalah dua ideologi yang tidak mudah dirukunkan, yaitu yang
berorientasi pada pengutamaan kepentingan individu, yang kita kenal sebagai
“individualisme”, dan yang lain berorientasi kepada kepentingan bersama, yang kita
kenal dengan “kolektivisme”.
Secara garis besarnya, individualisme dengan berbagai variasinya berkembang
menjadi sukma kapitalisme (the right). Sedangkan kolektivisme berkembang menjadi
sukma aneka ragam sosialisme (the left).
Meskipun lingkungan ekonomi telah didominasi oleh mekanisme pasar
kapitalistik, namun gerakan koperasi tetap lebih dekat dengan kolektivisme dan
sosialisme, yaitu mengutamakan kepentingan masyarakat (publik), dengan tetap
menghormati identitas dan inisiatif individu.
Banyak yang menganggap bahwa dalam globalisasi ekonomi saat ini
mempertentangkan kapitalisme dan sosialisme telah dianggap kuno, meskipun pembelapembela
dari masing-masing kubu masih terus gigih mempertahankan keyakinan
mereka masing-masing secara filsafati. Bagaimanapun juga, menurut pendapat saya,
kita perlu mengamati perkembangan keduanya sehingga gerakan koperasi dapat mampu
menempatkan dirinya dengan tepat, bahkan dapat ikut berperan membentuk
kecenderungan-kecenderungan baru dan sekaligus mengarahkan proses globalisasi
* Prof. Dr. Sri-Edi Swasono adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pokok-pokok
pikiran dalam tulisan ini aslinya di dalam bahasa Inggris, disampaikan pada “International
Cooperative Alliance (ICA), First Asia Pacific Cooperative Forum” di Singapura pada tanggal 27 Juni
2000 dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri telah berkenan memberi keynote-address pada
forum internasional ini-red
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 2
ekonomi dalam mencapai ujud finalnya. Ujud final itu diharapkan dapat menjanjikan
suatu kemakmuran dan keadilan global.
Ada yang berpendapat bahwa pertentangan antara kubu sosialisme dan
kapitalisme tidak ada yang menang ataupun kalah. Di satu pihak sosialisme boleh
dianggap telah memenangkan pertarungan global itu karena sosialisme telah menular ke
segala penjuru kehidupan manusia. Bahkan ide-ide sosialisme telah diserap oleh negaranegara
industri yang dikenal sebagai menganut kapitalisme. Komunisme sebagai bentuk
sosialisme ekstrim memang telah gagal total, tetapi ide-ide sosialisme moderat tetap
bertahan dengan kukuh dan berkembang di dalam negara-negara kapitalis. Di pihak lain
kapitalisme pun boleh dikatakan telah menang pula dalam pertarungan besar ini, berkat
kemampuannya melakukan self-koreksi dari dalam, cukup fleksibel dalam menghadapi
perubahan, serta mampu menjadi sosialistik (Berten, 2000) dan menghormati
kepentingan publik. Namun, bagaimanapun juga hendaknya kita tidak lengah terhadap
naluri dasar (basic instinct) kapitalisme (Swasono, 1998) yang selalu cenderung
membentuk “a winner-take-all society”, yang dari pendekatan sedikit berbeda, Thurow
(1980) menyebutnya sebagai “a zero-sum society”.
Terjadinya gerak konvergensi antara dua isme besar ini telah lama diamati oleh
pemikir-pemikir Barat, antara lain oleh Aron (1967). Sejak tiga dekade yang lalu pun
kita telah mengenal ungkapan yang mengatakan bahwa “suatu ketika anak-cucu dari
Kennedy akan menjadi sosialis dan anak-cucu Breshnev akan menjadi kapitalis”.
Tentu tidak salah apabila banyak yang tetap terkesan bahwa kapitalismelah yang
sebenarnya keluar sebagai pemenang, mengingat globalisasi ekonomi saat ini
digerakkan oleh pasar-bebas, yang dikenal sebagai pasarnya kaum kapitalis global (the
free-market is basically the market of the global capitalists). Namun kita perlu melihat
pula kenyataan lain, seperti dikemukakan oleh The Economist dengan jeli sekali, yaitu
bahwa partai-partai sosial-demokrasi yang kiri, atau tepatnya left-centrist, justru
berkuasa di 13 dari 15 negara Eropa Barat. Demikian pula di Amerika Serikat di dalam
pemerintahannya mulai nampak warna sosial-demokrasi pula (Rahardjo, 2000).
Dari proses konvergensi antara dua pola itu, Kapitalisme vs Sosialisme, lahirlah
pemikiran “the third way” (“jalan ketiga”), suatu pemikiran untuk merekonsiliasi
dikotomi “kiri-kanan”. Namun kalau kita baca dengan teliti apa yang dikemukakan oleh
Giddens, penulis buku The Third Way, The Renewal of Social-Democracy (1998), apa
yang dimaksud dengan “the third way” itu bukanlah “the middle way” (“jalan tengah”),
tetapi lebih sebagai “the left-centrist way” (“jalan kiri-tengah”), yang intinya
menghendaki “keadilan sosial” dalam sistem pasar global.
Giddens dipandang sebagai intelektuil unggulan Prime Minister Tonny Blair.
Dengan ide-ide Giddens tentang bangkitnya sosial-demokrasi, sebetulnya sosialisme
tidak bisa dikatakan telah mati, meskipun benar “komunisme” sebagai “sosialismeekstrim”
harus diakui telah kehilangan akarnya untuk mampu bertahan hidup di masa
depan (Swasono, 1999).
Globalisasi dan Pasar-Bebas kedua-duanya adalah kekuatan lama yang telah
berubah (rejuvenating themselves and growing anew), dari latent seabad yang lalu,
menjadi riil dan penuh vitalitas saat ini. Pasar-bebas dengan segala ketidaksempurnaannya
mampu menggulung dan menggusur apa saja yang merintanginya.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 3
Tentu pasar-bebas, tidak diragukan, tetap menjadi tempat persembunyian bagi basicinstinct
kapitalisme kuno. Pasar-bebas telah digunakan oleh kaum kapitalis global
sebagai pembenaran untuk dapat tercapainya efisiensi ekonomi dunia demi
kesejahteraan ekonomi dunia. Memang rasionalitas pasar-bebas, ceteris paribus, akan
menghasilkan efisiensi yang optimal dalam perekonomian dunia. Tetapi yang sangat
penting untuk dipertanyakan adalah mengapa untuk memperoleh efisiensi dunia itu
negara-negara berkembang harus membiayainya lebih banyak, artinya harus berkorban
terlalu banyak?
Pasar-bebas yang diberlakukan di negara-negra berkembang tidak sedikit yang
menghasilkan pelumpuhan (disempowerment) bahkan pemiskinan (impoverishment)
terhadap rakyat kecil (Swasono, 1994). Banyak bukti-bukti empiris yang menunjukkan
bahwa pasar tidak selalu omniscient dan omnipotent (serba-tahu dan serba-mampu).
Sangatlah berbahaya menganggap pasar sebagai “can do no wrong”. Pasar harus
dikelola (managed) ataupun diintervensi oleh pemerintah yang bersih dalam lingkup
masyarakat madani. Kita mengenal berlakunya “pasar-sosial” (“social-market”) yang
makin menjadi tuntutan global pula (Jung, 1990; Lampert, 1992).
Namun dalam praktek sebagaimana kita lihat, pasar-bebas adalah pasarnya para
penguasa pasar, yaitu mereka yang menguasai dana-dana sangat besar, yang akhirnya
secara langsung atau tidak langsung mengontrol bekerjanya mekanisme-pasar.
Mekanisme pasar tak lain adalah suatu mekanisme lelangan atau auction-mechanism
(Thurow, 1987). Dengan demikian itu pemilik dana besarlah yang akan menang dalam
auction. Sementara yang miskin akan hanya menjadi penonton transaksi ekonomi,
menerima nasib sebagai price-taker, atau bahkan akan bisa tergusur peran ekonominya
(Swasono, 1994). Di sini yang berlaku hanya persaingan dan daya saing. Yang besar
dan kuat secara ekonomi akan keluar sebagai pemenang. Mungkin inilah yang
dimaksudkan oleh Thomas Friedman (1999) sebagai “the winner-take-all market”
sebagaimana ia telah mensitir ekonom-ekonom yang mencemaskan globalisasi ekonomi
sebagai penyebar ketidak-adilan global (global inequality).
Dalam globalisasi yang tidak terbebas dari proses terjadinya global inequality
itu, Utara makin kaya, dan Selatan makin miskin. Tidak ada tanda-tanda yang jelas
selama ini bahwa pasar-bebas dapat mengatasi kemiskinan di Selatan. “The spread
between the haves and the have-nots will continue to grow” (MacPherson, 2000).
Apalagi dalam kenyataannya hak paten, copyrights, intellectual property rights, sebagai
kekuatan-ekonomi tangguh, dikuasai dan terkonsentrasi di Utara. Perekonomian Selatan
sekedar merupakan kepanjangan tangan dari perekonomian Utara. Kita menyaksikan
telah terjadinya dominasi ekonomi oleh Utara terhadap Selatan.
Itulah sebabnya banyak yang berpendapat bahwa pasar-bebas yang tulen
(genuine) sebenarnya tidak pernah ada. Pasar selalu penuh distorsi, a.l. distorsi
ketimpangan (unequalness), distorsi kepentingan, distorsi persaingan, bahkan juga
distorsi kepentingan geo-politik. Pasar-bebas yang genuine mustahil akan ada selama
ada embargo-embargo ekonomi dan sanksi-sanksi ekonomi yang berlatar-belakang
politik, yang dapat diperkirakan terus berkelanjutan. Pasar-bebas bahkan bisa
“membeli” birokrasi pemerintahan. Dengan demikian fair competition hanyalah suatu
mimpi, yang sulit ditemukan dalam kenyataan, manakala kepentingan politik dalam
segala tingkatannya (lokal, regional, mondial) masuk ke dalam pasar. Dengan kata lain,
kita harus tetap waspada, bahwa globalisasi dengan pasar-bebasnya para penguasa pasar
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 4
semacam ini, malahan akan mengakibatkan terjadinya disempowerment dan
impoverishment terhadap yang lemah ekonominya.
Sejak awal lahirnya lebih seratus tahun yang lalu, gerakan koperasi bercita-cita
mulia untuk memberdayakan (empower) yang tertinggal dan menghindarkan mereka
dari disempowerment dan impoverishment.
Globalisasi ekonomi dan resiko berat yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang haruslah menjadi momentum bagi gerakan koperasi di seluruh dunia, untuk
menawarkan pendekatan pembangunan berdasar “kerjasama” dan semangat cooperativism.
“Persaingan” memang harus diakui merupakan salah satu kekuatan ekonomi
dunia untuk mencapai kemajuan. Namun perlu dicatat bahwa dunia pernah berhenti
bergerak karena free-fight-liberalism berkecamuk mencapai puncaknya. Perang Dunia
ke II adalah contohnya. Dunia bergerak kembali melalui kerjasama antar bangsa, yang
dengan sadar membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wadah kerjasama
dunia. Dengan kata lain “persaingan” dan “kerjasama” keduanya adalah “kekuatan
kembar tak terpisahkan”, inseparable twin forces, yang menggerakkan dunia. Kita harus
menggabungkan keduanya menjadi “co-opetition”, yaitu kerjasama untuk mengatur
persaingan secara kooperatif.
Basic-instinct dari gerakan koperasi kita adalah menolong diri sendiri (self-help)
dan kerjasama (co-operation). Kita bekerjasama untuk merangkum kekuatan-kekuatan
ekonomi menjadi suatu kekuatan sinergi yang dahsyat, berdasar kebersamaan
(mutuality) dan kekeluargaan (brotherhood), baik dalam dimensi mikro, makro, lokal,
regional maupun mondial.
Indonesia beruntung sekali, bahwa sejak awal kemerdekaannya 55 tahun yang
lalu, telah bertekad menegaskan co-operativism dalam konstitusinya, bahwa
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
Usaha bersama adalah “mutual endeavor” dan asas kekeluargaan adalah “brotherhood”.
Beginilah kita merumuskan Demokrasi Ekonomi, yaitu suatu ideologi ekonomi yang
berpedoman pada adagium “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Mutuality dan brotherhood seperti tertera dalam konstitusi ini, tentu bukan saja
hanya untuk memberi sukma pada gerakan koperasi Indonesia agar memegang teguh
nilai-nilai sosial mulia, yaitu menolong diri sendiri secara bersama-sama (mutual selfhelp)
dan kesetiakawanan (solidarity), tetapi juga, menurut pendapat saya, untuk
mengingatkan kepada kita agar koperasi tidak saja berupaya mengejar peningkatan
“nilai-tambah ekonomi” bagi rakyat, tetapi juga sekaligus “nilai-tambah sosio-kultural”.
Dalam dimensi pembangunan nasional, hal ini berarti pula bahwa kita harus
mengadopsi tidak saja pendekatan “partisipatif” tetapi juga pendekatan “emansipatif”
(Swasono, 1986).
Sekaligus untuk memperingati Hari Koperasi Dunia (PBB) dan Hari Koperasi
Indonesia yang keduanya jatuh pada setiap bulan Juli, hendaknya gerakan koperasi
dunia menyadari, bahwa kita saat ini berada dalam proses globalisasi ekonomi yang
belum rampung dan belum jelas ujud akhirnya. Kita harus ikut mendesain ujud akhir
globalisasi itu dengan menawarkan co-operativism yang menolak akhlak homoNaskah
No. 20, Juni-Juli 2000 5
economicus semata-mata, tetapi menjanjikan kemakmuran bersama, kemartabatan
emansipatif, solidaritas ko-eksistensi dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Saat
inilah momentum yang tepat untuk menegaskan posisi strategis kita.
Di negara-negara maju telah terbentuk koperasi-koperasi yang besar-besar dan
kuat, yang tentu menjadi kebanggaan kita semua. Kerjasama antara koperasi-koperasi
anggota Aliansi Koperasi Internasional (ICA) perlu ditingkatkan untuk melindungi
anggota-anggotanya yang kecil-kecil. Kita harus saling tolong-menolong. Koperasikoperasi
besar di negara-negara maju harus pula mampu “go global”, berkembang dan
bergerak masuk ke negara-negara berkembang, memberi bantuan perkembangan yang
diperlukan, melakukan kerjasama bisnis dengan membentuk berbagai strategic
alliances, mentransfer pengalaman dan business technologynya kepada saudarasaudaranya
yang masih kecil dan lemah di Dunia Selatan, dst.
Beberapa waktu yang lalu telah saya ajukan prinsip “Triple-Co”, yaitu “coownership”
(pemilikan bersama), “co-responsibility” (tanggung-jawab bersama) dan
“co-determination” (menentukan bersama), yang harus disebarluaskan oleh badan usaha
koperasi ke dalam badan usaha non-koperasi, sebagai gerakan partisipasi dan
emansipasi pembangunan. Prinsip “Triple-Co” ini menghindari apa yang disebut
akuisisi kanibal atau wild take-over. Dengan demikian semangat koperasi akan
menyebar lebih luas ke berbagai badan usaha.
Marilah kita bersama-sama menegaskan bagaimana mempraktekkan co-opetition
dan sekaligus melembagakannya. Dengan demikian gerakan koperasi bisa bersamasama
pula masuk ke dalam the global economic main stream, lalu ikut memberi muatan
ideologis dan mengemudikannya. Gerakan koperasi tidak boleh lagi berada di
pinggiran. Andaikata hal ini di atas berbau retorika, retorika semacam ini diperlukan
sekali, karena retorika adalah sukma dari realita􀂄

Memilih Bentuk Kepemilikan Oleh M. Iksan AW, SE




SASARAN PEMBELAJARAN :
 Menjelaskan bagaimana pemilik bisnis memilih bentuk kepemilikan usaha.
 Menjelaskan metode-metode kepemilikan usaha.
 Menjelaskan bagaimana pemilik bisnis dapat mengukur Capaian bisnisnya.



P E N D A H U L U A N
Pemilihan bentuk kepemilikan perusahaan merupakan hal penting. Bagaimana mungkin perusahaan
bisa berjalan dengan efektif dan efisien ketika, modal yang dihimpun kurang, kelewat besarnya
kewajiban yang harus ditanggung pemilik, ketidakleluasaan pengendalian manajemen perusahaan dan
masih banyak lagi hal penting yang perlu dicermati pemilik badan usaha.
Dalam bahasan ini ada tiga pilihan, yaitu perseorangan (Sole Proprietorship), persekutuan
(Partnership), dan Korporasi (Corporation).
Masing-masing bentuk memiliki Keuntungan dan Kerugian.

BAB 2
D A M P A K K E P E M I L I K A N B I S N I S T E R T E N T U
T I G A B E N T U K K E P E M I L I K A N B I S N I S ( T H R E E F O R M S O F B U S I N E S SO W N E R S H I P )



ð Perseorangan (Sole Proprietorship)
ð Persekutuan (Partnership)
ð Perseroan (Corporation)



K E P E M I L I K A N P E R S E O R A N G A N ( S O L E P R O P R I E T O R S H I P )
ð Perusahaan yang dimiliki seorang pemilik. Ada 4 (empat) sifat yang harus diperhatikan :
Pemilik tunggal (Single owner).
Menanggung seluruh tanggung jawab.
70% dari firma di USA
Menghasilkan kurang 10 % dari seluruh penghasilan perusahaan.

Form of Business
Ownership Decisions
Business
Access
to Funding
Control of Business
Taxes Paid
by Business
Value of Firm
ð Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan K e r u g i a n
Mendapatkan semua profit. Menanggung semua kerugian
Kemudahan formasi. Kewajiban tidak terbatas.
Kontrol penuh. Keterbatasan keuangan.
Pajak lebih rendah. Keterbatasan skill



K E P E M I L I K A N P E R S E K U T U A N ( P A R T N E R S H I P )
ð Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan K e r u g i a n
Pendanaan Kontrol dibagi
Kerugian dibagi Hutang tidak terbatas.
Spesialisasi Keuntungan dibagi.
ð Jenis-jenis persekutuan (Type Partnership)
Sekutu Umum (General Partnership)
a. Sekutu kerja menjalankan bisnis sehari-hari.
b. Sekutu kerja mempunyai tanggungjawab tanpa batas.
Sekutu Komandite (Limited Partnership)
a. Sekutu komanditer hanya menanam modal dalam bisnis.
b. Sekutu komanditer adalah hanya dapat dikenakan kewajiban sampai kepada jumlah
yang mereka menginvestasikan



K E P E M I L I K A N P E R S E R O A N ( C O R P O R A T I O N )
ð Kharakteristik perseroan (Characteristic of corporation)
Piagam Perseroan (Corporate charter.)
Penetapan anggaran rumah tangga (Establishment of bylaws).
Pemegang saham (Stockholders).
Dewan direktur (Board of directors).
ð Perseroan swasta vs Publik
Dipegang Swasta (Privately Held)
a. Korporasi yang secara pribadi dipegang kepemilikan terbatas ke kelompok kecil
investor.
b. Saham tidaklah diperdagangkan didepan umum.
Dipegang Publik (Publicly Held)
a. Korporasi lebih besar.
b. Saham diperdagangkan didepan umum.
c. Tindakan pada awalnya mengeluarkan bursa/stock: “ menawarkan saham pada Publik
ð Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan K e r u g i a n
Keterbatasan kewajiban. Pajak lebih banyak
Akses dana. Pembiayaan lebih mahal
Transfer kepemilikan Pengungkapan keuangan
- Kompleksitas problem
.
K E B E R A D A A N K E P E M I L I K A N B I S N I S
ð Melanjutkan bisnis keluarga
ð Pembelian suatu bisnis yang ada
ð Waralaba (Franchising)
W A R A L A B A ( F R A N C H I S I N G )
ð Distributorship
➔ Dealer : menjual produk yang dihasilkan oleh Pabrik. Contoh Car dealers.
ð Chain-Style Business : Firma menggunakan nama dagang perusahaan dan mengikuti segala
ketentuan. Example: McDonalds.
ð Manufacturing Arrangement: Perusahaan Pabrik sebuah produk dengan menggunkan
formula dari perusahaan lain. Contoh : Microsoft.
ð Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan K e r u g i a n
Gaya Manajemen yang meyakinkan Pembagian keuntungan
Pengakuan nama Keuntungan dibagi
Dukungan keuangan Berkurangnya kontrol



P E N G U K U R A N K I N E R J A B I S N I S ( M E A S U R I N G B U S I N E S S
P E R F O R M A N C E )
ð Tingkat pengembalian Investasi (Return on Investment - ROI).
Nilai uang sebuah keuntungan setelah pajak sebuah firma.
Metoda yang lebih disukai untuk mengukur profitabilitas
Return on Equity= Earnings after tax
Equity
ð Resiko Investasi (Risk of Investment). Resiko (Risk) : Derajat ketidakpastian tentang
keuntungan masa depan sebuah firma. Resiko dapat meliputi :
Ketidak pastian penghasilan masa depan.
Ketidak pastian biaya masa depan.

MERENCANAKAN BISNIS : M. Iksan AW, SE




SASARAN PEMBELAJARAN :
 Mengidentifikasi pemegang kepentingan utama yang terkait dalam bisnis.
 Menjelaskan fungsi-fungsi utama bisnis
 Menjelaskan bagaimana membuat rencana bisnis
P E N D A H U L U A N
Kegiatan apapun tanpa melalui proses perencanaan akan sulit mendapatkan hasil yang memadai.
Karena pelaksanaan kegiatan berjalan sebagaimana adanya tanpa melihat kejadian masa lalu dan
memperhatikan perubahan masa depan. Begitu pula dalam mengelola sebuah perusahaan manajer harus
merencanakan bisnisnya yang berguna untuk pedoman pelaksanaan dan sebagai evaluasi kinerjanya.
L I M A P E P E G A N G K E P E N T I N G A N U T A M A D A L A M B I S N I S ( F I V E K E Y
S T A K E H O L D E R S I N A B U S I N E S S )
 Pemilik (Owners): Setiap bisnis dimulai dari hasil ide mengenai barang dan jasa oleh orang
yang disebut wirausaha (entrepreneur). Ia mengorganisasikan (Organize) dan mengelola resiko
yang dihadapi mulai dari permulaan bisnis.
 Pemilik Tunggal, Banyak, dan Perseroan (kepemilikan dalam saham)
 Kreditur (Creditors): Perusahaan memerlukan dana lebih daripada yang didapat dari
pemilik. Kreditur dapat memberikan solusi sebagai penyedia pinjaman untuk memulai
bisnis. Contoh : Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BCA, Bank Muamalat dan sebagainya.
 Pekerja (Employees): Hasil ide pemilik untuk membangun bisnisnya, harus didukung
karyawan. Karyawan yang direkrut untuk menyelenggarakan bisnis.
 Pemasok (Suppliers): Menyelenggarakan bisnis membutuhkan bahan (material) yang
dibutuhkan untuk produksi melalui pemasok. Produk yang dijual hendaknya harus
berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi . Produk kualitas harus melalui proses
mengubah bahan berkualitas melalui cara produksi yang efektif, efesien dan produktif .

BAB 1
Kualitas bahan dan kesinambungan bahan perlu dicermati dalam memilih pemasok.
 Pelanggan (Customers): Tujuan akhir dari bisnis adalah sejauhmana produk atau jasa dapat
memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Bagaimanapun perusahaan harus tahu
tentang apa kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dengan demikian apa yang ditawarkan
kepada mereka dapat direspon dengan baik.
Interaksi antara pemegang kepentingan utama, dapat diilustrasikan dibawah ini :



M E N C I P T A K A N I D E B I S N I S
Orang akan tertarik membangun bisnis hanya apabila mereka mengharapkan imbalan untuk usahanya.
Imbalan tersebut diantranya adalah :
 Kesempatan mendapatkan imbalan yang besar.
 Menjadi atasan bagi mereka sendiri daripada bekerja dengan orang lain
 Tertarik dengan tantangan dan prestise
Supaya bisnis berhasi, suatu perusahaan harus mempunyai keungggulan kompetitif atau sifat unik atas
produk/jasanya.



P E N G A R U H T E K N O L O G I D A L A M M E N C I P T A K A N B I S N I S
Peranan Teknologi penting dalam perkembangan perusahaan. Dengan penerapan teknologi terhadap
mesin baru proses produksi atau kegiatan bisnis lainnya dapat berjalan lancar dan mampu
meningkatkan produktivitas kerja serta mampu memenuhi permintaan pasar. Demikian juga Teknologi
Informasi mampu meningkatkan dukungan informasi untuk pengabilan keputusan dan meningkatkan
daya saing perusahaan.
Pemilik Perusahaan
Perusahaan
dijalankan oleh
karyawan Pelanggan
Kreditur Pemasok
Dana Investasi Pembelian



T U J U A N M A N A J E R
Memaksimalkan Nilai Firma.. Nilai sebuah firma diukur dari seberapa besar kemampuan mendapatkan
laba. Manajer selaku pengelola dituntut mampu mengatur sumberdaya perusahaan se-efektif dan seefisien
mungkin. Arah tujuan harus dijadikan pedoman pengelolaan.



L I M A F U N G S I U T A M A B I S N I S ( F I V E K E Y F U N C T I O N S O F B U S I N E S S )

FUNCTIONS
1. Management 2. Marketing
5. Finance 3. Accounting
4. Information
System



T I G A K E P U T U S A N B I A S A D A L A M B I S N I S ( T H R E E C O M M O N
B U S I N E S S D E C I S I O N )
ð Keputusan manajemen (Management decision)
Perlengkapan mesin apa yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk ?
Berapa karyawan yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu produk ?
Bagaimana dapat memotivasi karyawan agar bekerja lebih baik ?
ð Keputusan pemasaran (Marketing decision)
Barapa harga jual atas produk ?
Apakah harus ada inovasi produk lama ?
Apakah promosi iklan harus dibuat ?
ð Keputusan keuangan (Finance decision)
Apakah menjual saham atau meminjam kepada Bank ?
Berapa jangka waktu pengembalian hutang ?
Apakah perusahaan harus investasi ke dalam bisnis baru ?



L A N G K A H - L A N G K A H U N T U K M E N C I P T A K A N I D E B I S N I S ( S T E P S F O R C R E A T I N G A B U S I N E S S I D E A )



ð Mengidentifikasi kebutuhan pelanggan (Identify Consumer Needs):
Penelitian pasar (Market research).
Penilaian atas lingkungan perusahaan (Assessment of The Business Environment):
Lingkungan Ekonomi (economic environment),
Lingkungan Industri (Industrial environtment)
Lingkungan global (global environments).



M E R E N C A N A K A N B I S N I S ( B U S I N E S S P L A N )
ð Untuk Siapa ?
Untuk Pengusaha (For the Entrepreneur).
Untuk Investor dan Kreditur (For Investors and Creditors).
ð Apa yang disediakan-Nya?
Uraian yang terperinci menyangkut bisnis yang diusulkan, mencakup jenis pelanggan,
kompetisi, dan fasilitas yang perlu untuk produksi.
Pengantar Bisnis “Jeff Madura” -- modified by Iwan 4



B A G I A N R E N C A N A B I S N I S
ð Cover Letter
ð Bagian 1 Ringkasan eksekutif
ð Bagian 2 Latar belakang perusahaan
ð Bagian 3 Tim Manajemen
ð Bagian 4 Rencana Keuangan
ð Bagian 5 Rencana Pemasaran
ð Bagian 7 Analisis Lokasi
ð Bagian 8 Rencana Manufaktur
ð Bagian 9 Appendix



R E N C A N A B I S N I S : B A G I A N M A N A J E M E N
ð Struktur Organisasi :
 Mengindentifikasi aturan dan tanggungjawab masing-masing karyawan firma.
ð Produksi :
 Keputusan tentang proses, lokasi, dan fasilitas produksi.
ð Sumberdaya Manusia : Menghimpun lingkungan kerja yang akan memotivasi karyawan
guna meraih kesuksesan bisnis.



R E N C A N A B I S N I S : B A G I A N P E M A S A R A N
ð Pasar sasaran (Target Market): : Profil pelanggan sasaran.
ð Kekhasan Produk (Product Characteristics): Deskripsi rinci tentang produk.
ð Harga (Pricing): Harga atas produk.
ð Distribusi (Distribution): Bagaimana produk akan didapat pelanggan.
ð Promosi (Promotion): Bagaimana produk akan dikomunikasikan kepada target market.

R E N C A N A B I S N I S : B A G I A N K E U A N G A N
ð Kelayakan (Feasibility):
 Perkiraan biaya-biaya dan benefits bisnis, termasuk perkiraan penjualan dan seluruh
biaya.
ð Keuangan (Financing the Business) :
 Ringkasan pengeluaran yang dibutuhkan untuk memulai bisnis.



P E R T I M B A N G A N D A L A M M E N I L A I S E B U A H R E N C A N A B I S N I S
( C O N S I D E R A T I O N S I N A S S E S S I N G A B U S I N E S S P L A N )
ð Penghasilan potensial (Potential revenue).
ð Permintaan atas produk atau jasa (Demand for product or service).
ð Biaya Produksi (Expense of production).
ð Keuntungan potensial (Overall potential for profitability).

Model - Model Pembelajaran Sosial Oleh M. Iksan AW, SE


MAKALAH ILMU PENDIDIKANTENTANG MODEL – MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari berbagai variabel pokok yang saling berkaitan yaitu kurikulum, guru/pendidik, pembelajaran, peserta. Dimana semua komponen ini bertujuan untuk kepentingan peserta. Berdasarkan hal tersebut pendidik dituntut harus mampu menggunakan berbagai model pembelajaran agar peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar. Hal ini dilatar belakangi bahwa peserta didik bukan hanya sebagai objek tetapi juga merupakan subjek dalam pembelajaran. Peserta didik harus disiapkan sejak awal untuk mampu bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga berbagai jenis model pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik.
Model-model pembelajaran sosial merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan peserta didik secara penuh (student center) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam menuju kedewasaan, peserta dapat melatih kemandirian, peserta didik dapat belajar dari lingkungan kehidupannya.

B. TUJUAN
Makalah ini dirancang untuk mahasiswa Program S1 Pendidikan. Oleh sebab itu dalam penyajiannya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep model pembelajaran dan penerapan model pembelajaran di kelas.

C. TOPIK BAHASAN
Untuk meningkatkan pemahaman berbagai model pembelajaran, dalam makalah ini akan dibahas tentang :
1. Model pembelajaran partisipatif dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.
2. Model pendekatan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.
3. Model pembelajaran mandiri dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. MODEL PEMBELAJARAN PARTISIPATIF
1. Konsep Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.Partisipasi pada tahap perencanaan adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi yang tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran.
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Dimana salah satu iklim yang kondusif untuk kegiatan belajar adalah pembinaan hubungan antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling belajar.
Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil dan dampak pembelajaran.

2. Ciri – Ciri Pembelajaran Partisipatif
Berdasarkan pada pengertian pembelajaran partisipatif yaitu upaya untuk mengikutsertakan peserta didik dalam pembelajaran, maka ciri-ciri dalam kegiatan pembelajaran partisipatif adalah :
a) Pendidik menempatkan diri pada kedudukan tidak serba mengetahui terhadap semua bahan ajar.
b) Pendidik memainkan peran untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
c) Pendidik melakukan motivasi terhadap peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.
d) Pendidik menempatkan dirinya sebagai peserta didik.
e) Pendidik bersama peserta didik saling belajar.
f) Pendidik membantu peserta didik untuk menciptakan situasi belajar yang kondusif.
g) Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran kelompok.
h) Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi.
i) Pendidik mendorong peserta didik untuk berupaya memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.

3. Peran Pendidikan Dalam Pembelajaran
Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranan pendidik dalam pembelajaran.Pada awal pembelajaran intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan pembelajaran, tetapi makin lama makin menurun intensitas perannya digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran :
a) Membantu peserta didik dalam menciptakan iklim belajar.
b) Membantu peserta didik dalam menyusun kelompok belajar.
c) Membantu peserta didik dalam mendiagnosis kebutuhan pelajar.
d) embantu peserta didik dalam menyusun tujuan belajar.
e) Membantu peserta didik dalam merancang pengalaman belajar.
f) Membantu peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
g) Membantu peserta didik dalam penilaian hasil, proses dan pengaruh kegiatan pembelajaran.

B. MODEL PENDEKATAN PEMBELAJARAN
1. Konsep Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar dilihat dari proses transfer belajar, lingkungan belajar.
Dilihat dari proses, belajar tidak hanya sekedar menghapal. Dari transfer belajar, siswa belajar dai mengalami sendiri, bukan pemberian dari orang lain. Dan dilihat dari lingkungan belajar, bahwa belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
Pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan upaya pendidik untuk menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik melakukan hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Dalam penerapan pembelajaran kontekstual tidak lepas dari landasan filosofisnya, yaitu aliran konstruktivisme. Aliran ini melihat pengalaman langsung peserta didik (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran.



2. Perbedaan Pembelajaran Konstekstual dan Pembelajaran Konvensional
Karakteristik model pembelajaran kontekstual dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1) Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
2) Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
3) Pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata atau masalah.
4) Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
5) Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
6) Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan.
7) Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni peserta didik diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.

Karakteristik model pembelajaran konvensional dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1) Siswa adalah penerima informasi.
2) Siswa cenderung belajar secara individual.
3) Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis.
4) Perilaku dibangun atas kebiasaan.
5) Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
6) Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman.
7) Bahasa diajarkan dengan pendekatan strukturalPembelajaran kontekstual memiliki perbedaan dengan pembelajaran konvensional, tekanan perbedaannya yaitu pembelajaran kontekstual lebih bersifat student centered (berpusat kepada peserta didik) dengan proses pembelajarannya berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekajar dan mengalami. Sedangkan pembelajaran konvensional lebih cenderung teacher centered (berpusat kepada pendidik), yang dalam proses pembelajarannya siswa lebih banyak menerima informasi bersifat abstrak dan teoritis.

3. Komponen – Komponen Pembelajaran Konstektual
Peranan pendekatan pembelajaran kontekstual di kelas dapat didasarkan pada tujuh komponen, yaitu :
a) Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia didalam dirinya sedikit demi sedikit, yang hasilnya dapat diperluas melalui konteks yang terbatas.
b) Pencairan (Inquiry)
Menemukan merupakan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa merupakan hasil dari penemuan siswa itu sendiri.
c) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan awal dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiriy, yaitu untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui.
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah atau lebih, yaitu antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan pendidik apabila diperlukan atau komunikasi antara kelompok.


e) Permodelan (Modeling)
Model dapat dirancang dengan melibatkan guru, siswa atau didatangkan dari luar sesuai dengan kebutuhan. Dengan pemodelan, siswa dapat mengamati berbagai tindakan yang dilakukan oleh model tersebut.
f) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang sesuatu yang sudah dipelajari. Realisasi dari refleksi dalam pembelajaran dapat berupa :
Þ Pernyataan langsung tentang sesuatu yang sudah diperoleh siswa.
Þ Kesan dan pesan/saran siswa tentang pembelajaran yang sudah diterimanya.
Þ Hasil karya
g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment merupakan proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Assessment menekankan pada proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan pada saat melakukan proses pembelajaran.Karakteristik authentic assessment, yaitu :
v Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
v Dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif.
v Yang diukur adalah keterampilan dan penampilan bukan mengingat fakta.
v Berkesinambungan.
v Terintegrasi.
v Dapat digunakan sebagai feed back



C. MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI
1. Konsep Pembelajaran Mandiri
Dalam rangka menuju kedewasaan, seorang anak harus dilatih untuk belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan suatu proses, dimana individu mengalami inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain.
a. Dapat mengurangi ketergantungan pada oran lain.
b. Dapat menumbuhkan proses alamiah perkembangan jiwa.
c. Dapat menumbuhkan tanggung jawab pada peserta didikBerdasarkan hal tersebut pendidik bukan sebagai pihak yang menentukan segala-galanya dalam pembelajaran, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau sebagai teman peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapan Belajar Mandiri
Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu :
a. Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh waktu, tempat dan usia.
b. Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik.
c. Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.
d. Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.
e. Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.
f. Memiliki orientasi ke masa depanSeseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.
g. Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.

3. Peran Pendidik Dalam Belajar Mandiri
Dalam pembelajaran mandiri, tutor berperan sebagai fasilitator dan teman bagi peserta didik. Sebagai fasilitator, pendidik dapat membantu peserta didik dalam mengakrabi masalah yang dihadapi peserta didik, dan berupaya agar peserta didik dapat menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya.Peran lain yang harus dilakukan pendidik adalah sebagai teman. Pendidik berusaha menempatkan dirinya sama dengan peserta didik sebagai peserta yang mengharapkan nilai tambah dalam kehidupannya untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi, serta mengaktualisasikan dirinya.




BAB IVKESIMPULAN

Model-model pembelajaran sosial merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan peserta didik secara penuh (student center) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam menuju kedewasaan, peserta dapat melatih kemandirian peserta didik dapat belajar dari lingkungan kehidupannya.
Model-model pembelajaran sosial ini mencakup : model pembelajaran partisipatif, model pendekatan pembelajaran kontekstual, dan model pembelajaran mandiri.
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, yaitu dalam tahap : perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Dalam menyiapkan anak untuk bersosialisasi di masyarakat, sejak dini anak harus sudah mengenal lingkungan kehidupannya. Model pembelajaran kontekstual merupakan upaya pendidik untuk menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik melakukan hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.
Dalam rangka menuju kedewasaan, seorang anak harus dilatih untuk belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan suatu proses, dimana individu mengambil inisiatif denganatau tanpa bantuan orang lain. Dalam pembelajaran mandiri menekankan pada keaktifan peserta didik yang lebih bersifat student centered daripada teacher centered sehingga pendidik lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan teman (partner).
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan Pertama. (2003). Pendekatan Kontekstual (Centered Teaching and Learning). Jakarta.
Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production.
Hatimah, I. (2003). Strategi dan Metode Pembelajaran. Bandung : Andira.
Knowles, M. (1975). Self Directed Learning. Chicago : Follet Publishing Company.

Prospek Kemandirian Koperasi Dalam Menyongsong Era Globalisasi Oleh : M. Iksan AW, SE - FKIP UNSA Sumbawa Besar



Abstrak
Awal perkembangannya sebagai badan usaha Koperasi mengalami pasang surut sesuai dengan situasi politik yang ada. Pada era pemerintahan Orde Baru, Koperasi sering menjadi alat kekuatan politik untuk mencapai tujuan regim pemerintah dengan dalih stabilitas pembangunan. Koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa (KUD), sering sebagai kepanjangan tangan pemerintah melalui penyalurkan dana, atau alat dan bahan pertanian kepada petani. Koperasi sering diberikan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan usaha, sehingga menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang manja, karena hanya bisa berkembang dengan bantuan pemerintah. Atau dengan kata lain koperasi lebih sebagai alat pemerintah, ketimbang sebagai kebijakan pemerintah.
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal, yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena banyak koperasi yang bisa menjalankan usahanya tanpa bantuan pemerintah.
Tantangan koperasi ke depan sebagai badan usaha adalah harus mampu bersaing secara sehat sesuai etika dan norma bisnis yang berlaku. Pertanyaan yang muncul adalah mampukah koperasi yang selama ini dimanjakan pemerintah bersaing dengan badan usaha lain? Antisipasi dan strategi apa yang harus disiapkan oleh koperasi? Tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan konsep kemandirian koperasi sebagai badan usaha dalam menyongsong era globalisasi dan krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Kata kunci : koperasi, badan usaha,kemandirian, pengelolaan, era globalisasi.

1. Pendahuluan
Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan proses liberalisasi perdagangan dan investasi ekonomi pasar bebas, mengharuskan setiap elemen ekonomi untuk melakukan perubahan. Disadari atau tidak kenyataan akan datangnya era tersebut mengharuskan setiap negara untuk mengubah arah kebijakan ekonominya. Era globalisasi dalam skema perdagangan bebas cepat atau lambat mengakibatkan perubahan ekonomi dunia. Dampak lebih lanjut adalah memaksa perubahan yang dilakukan oleh setiap negara untuk mengarah pada usaha untuk mengurangi distorsi perekonomian dan harus meningkatkan efisiensi usaha. Kenichi Ohmae (1999) dalam bukunya: Bordeless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy, menekankan bahwa dalam era globalisasi akan tercipta suatu dunia yang tanpa batas antar negara (bordeless world), kondisi ini tidak memungkinkan suatu negara „kokoh“ pada nation statenya. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia/global. Hal ini menyebabkan fenomena ketergantungan antar komunitas negara menjadi tidak terelakkan.
Lebih lanjut, era globalisasi sendiri bertumpu pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitas bisnis dan kerja sama dalam bidang tehnik. Kalau ditelusuri lebih dalam, proses globalisasi ekonomi memperoleh dorongan yang kuat dari dua faktor yaitu teknologi (komunikasi, transportasi dan komputer dan sebagainya) dan liberalisasi. Teknologi membuat usaha menjadi lebih efisien dan menekan biaya dalam peredaran barang dan uang, sedangkan liberalisasi melalui negoisasi multilateral (WTO) dan bilateral dapat memaksa rintangan (tarif dan non tarif) menjadi turun bagi perdagangan luar negeri dan investasi (Soejono, 2000).Globaliasi ekonomi mengarah pada semakin mudahnya perusahaan multi nasional untuk keluar masuk suatu negara. Dengan dukungan teknologi dan investasi global, kompetisi di era ini akan semakin tajam. Akibat yang diterima oleh negara sedang berkembang adalah ketidakstabilan ekonomi dalam negeri, karena keharusan melakukan perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dunia tidak dapat terelakkan.
Jelas bahwa fenomena globalisasi dan pasar bebas membawa konsekuensi semakin tinggi persaingan dan rentannya perekonomian atas faktor eksternal. Tentunya kenyataan ini berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi suatu negara. Penguatan daya dukung perekonomian suatu negara terletak pada efektivitas perilaku pelaku ekonomi negara yang bersangkutan. Semakin efisien pelaku ekonomi bekerja, semakin besar daya dukungnya terhadap perekonomian negara yang bersangkutan. Pelaku ekonomi utama yang sering menjadi perdebatan dalam konteks era perdagangan bebas adalah Koperasi.
Sungguhpun koperasi bukan badan usaha asli Indonesia, namun demikian banyak kesamaan dengan badan usaha asli Indonesia minimal dalam unsur-unsur yang dimiliki (lihat Suwandi, 1986). Dilema yang terjadi adalah, bahwa mengingat koperasi selalu diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, peranan pemerintah akan selalu besar dalam pengembangan koperasi. Tetapi mengingat bahwa koperasi merupakan kumpulan orang-orang yang mana prinsip kekuasaan tertinggi berada pada anggota, serta pengelolaan yang demokratis, maka campur tangan dari pihak luar termasuk pemerintah yang terlalu dalam, akan dapat mengurangi kebebasan dan kedaulatan koperasi (Iqbal, M, 1986)
Sementara itu, gerakan koperasi di banyak negara telah mempunyai atau sedang dalam proses restrukturisasi dan menyesuaikan pada kondisi dimana tingkat kompetisi begitu meninggi dipermukaan, pemerintah tidak mempunyai banyak dana untuk mendukung gerakan koperasi (Kandem, E, 2000). Perkembangan gerakan koperasi Indonesia sendiri mengalami pasang surut. Berangkat dari lembaga sosial masyarakat koperasi berinteraksi dengan banyak lembaga yang ada di masyarakat Indonesia. Kondisi ini membawa konsekuensi bahwa beberapa aspek internal dan eksternal saling berkaitan dan saling mempengaruhi, seperti misalnya sistem perekonomian yang dianut, kebijakan pemerintah yang diambil pada periode yang bersangkutan, kondisi sumber daya ekonomi dan sumber daya alam serta sumber daya manusia, budaya dan nilai-nilai sosial setempat.
Berhubunganan dengan konsep pembangunan ekonomi, koperasi masih dipandang sebagai salah satu elemen ekonomi yang penting dan strategis. Namun demikian, keberadaan dan tumbuh kembangnya koperasi sendiri masih menjadi perdebatan yang cukup tajam dalam era globalisasi. Mengacu pada ‘Theory of Dualitic Economy’ dari Boeke yang didasarkan pada kasus Jawa dimasa pemeritahan kolonial Belanda, dihipotesiskan bahwa kesulitan pokok dalam membangun masyarakat dunia ketiga terletak pada fakta bahwa perekonomian wilayah ini bersifat dualistik, yang ditandai oleh adanya dua kutub perekonomian secara bersamaan, yaitu sektor modern dan sektor tradisional, yang masing-masing kekuatan yang sangat berbeda. Sektor modern tunduk pada kekuatan pasar (governed by market forces), sektor tradisional tunduk pada kekuatan nonpasar, yaitu sosial budaya (governed by social-cultural forces) (Hutagaol, 1996). Masih dalam taraf berdebatan yang rumit, koperasi Indonesia diakui atau tidak lebih difokuskan untuk pembangunan pada sektor marginal, seperti sektor pertanian dan sektor informal yang masih bergerak dengan fasilitas yang sangat miskin teknologi dan informasi. Koperasi dianggap alat yang paling tepat untuk memberikan kesempatan kepada sektor tradisional ini untuk berintegrasi dengan masyarakat modern. Karena pada hakekatnya koperasi adalah gerakan masyarakat, maka terdapat anggapan umum bahwa inisiatif tidak akan timbul jika tidak ada program khusus dari pemerintah. Karenanya, dikebanyakan negara sedang berkembang peranan pemerintah tampak menonjol, yang mengakibatkan ketergantungan dan kegagalan koperasi untuk mandiri (Soetrisno, Noer, 1992). Kenyataan ini telah lama tampak jika memperhatikan gerakan koperasi dan pembangunan sendiri merupakan tema klasik di negara dunia ketiga, apalagi dalam dunia koperasi internasional (Develtere, P, 1994).
Sebagai bagian dari sistem ekonomi Koperasi memerlukan kesempatan untuk bekerja sebagai suatu sistem dalam rangka memberikan gerakan untuk mandiri (otonom) (Scholz and Walsh, 1992). Prinsip otonomi sebagai pengejawantahan dari sikap mandiri suatu koperasi, merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk perkembangan koperasi di kemudian hari. Karena secara tidak langsung otonomi merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk menegakkan prinsip-prinsip koperasi, demokrasi dalam koperasi dan kemandirian dalam koperasi berikut implikasinya (Nasution, 1992).
Krisis ekonomi yang berkepanjangan, secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi struktur dan roda perputaran ekonomi nasional. Dapat dipastikan hampir semua sektor yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi terkena dampaknya, sehingga wajar kalau banyak pengusaha yang menutup usahanya. Namun sebaliknya, bagi usaha kecil dan menengah (UKM) dan koperasi terbukti mampu untuk bertahan ditengah krisis ekonomi yang terjadi. Tesis sementara yang mungkin dapat dimunculkan daya tahan badan usaha ini ternyata tidak serentan badan usaha lainnya yang lebih modern dan besar. Namun demikian, tantangan-tantangan bagi koperasi saat ini adalah menjamin untuk menciptakan lingkungan yang memperbolehkan masyarakat dalam menyumbangkan kemampuan dan menciptakan pemecahan-pemecahan yang inovatif terhadap masalah-masalah lokal. Hal ini memerlukan koperasi yang terbuka dan fleksibel untuk membangun model-model baru koperasi (Scholz and Walsh, 1992). Jelas bahwa, lingkungan dunia usaha yang berubah dengan cepat saat ini menuntut untuk selalu fleksibel dan inovativ. Keberlangsungan hidup koperasi mempunyai dimensi ekonomi maupun kelembagaan. Keberlangsungan hidup secara ekonomi tergantung pada apakah organisasi koperasi itu mandiri secara ekonomis dan inovatif. Keberlangsungan hidup kelembagaan tergantung pada apakah koperasi benar-benar menerima asas-asas perkoperasian, khususnya kontrol terhadap demokratis, keanggotaan yang terbuka dan sukarela.(McCarrel, 1992).
2 Masalah dan Tujuan Penulisan
Menghadapi persaingan bebas di era globalisasi ekonomi dinilai sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk mempertanyakan kembali keberadaan koperasi ditengah dua situasi ekonomi ektrem yang terjadi, yaitu era perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi dan krisis ekonomi Indonesia yang berkepanjangan. Koperasi dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut mau tidak mau dihadapkan pada permasalah ini. Hal ini telah menjadi perdebatan klasik pakar koperasi (lihat: Jeon, J, 2000). Prospek masa depan koperasi sebagai badan usaha yang diharapkan menjadi soko guru perekonomian seperti amanat konstitusi negara (UUD 45) sangat ditentukan oleh mampu tidaknya kemandirian (otonomi) dilaksanakan untuk menjawab tantangan dan ancaman.
Secara spesifik tulisan ini menelaah masalah sejauh mana kesiapan koperasi dalam menghadapi tuntutan yang berkembang di era globalisasi ekonomi tersebut? Bagaimana antisipasi dan strategi yang tepat untuk badan usaha Koperasi dalam menjawab tantangan era globalisasi ini?
Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan diatas terbatas hanya merupakan pemikirankonsepsional. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan koperasi, berupa tingkat kemandirian koperasi menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan menjelang era perdagangan bebas tersebut. Disamping itu juga bertujuan untuk mengetahui antisipasi dan strategi yang juga akan dirumuskan secara konseptual untuk mengembangkan kemandirian koperasi.
3. Kemandirian Koperasi menyongsong Era Perdangan Bebas
Secara historis, gerakan koperasi telah merupakan satu strategi pembangunan yang penting dari pemerintah negara-negara yang sedang berkembang, setelah negara-negara itu memperoleh kemerdekaan politik mereka masing-masing. Bagi para pengelola pembangunan dari negara-negara itu, koperasi merupakan salah satu sarana ekonomi untuk yang diharapkan dapat memecahkan program sosial ekonomi yang diwariskan oleh kolonialisme kepada pemerintah negara-negara tersebut (Sutrisno, Lukman, 1984). Namun demikian disadari, koperasi sebagai organisasi mengalami beberapa fase perkembangan. Koperasi mempunyai sejarah yang begitu lama untuk berkembang, tidak saja di Eropa tetapi juga pada beberapa negara sedang berkembang, meskipun imigran, misionaris dan perorangan atau organisasi privat telah bekerja sebagai inisiator, pekerja pemerintah maupun lembaga parastatal telah mempunyai peranan penting dalam mensponsori berkembangnya koperasi modern di banyak negara sedang berkembang (Hanel, A, 1992).
Sementara itu, L Valko, mengemukakan tingkat-tingkat perkembangan koperasi dalam 3 tingkatan, yaitu tingkat yang masih dalam pertumbuhan, tingkat dalam tarafpembangunan dan dalam tingkatan yang telah matang.Untuk itu, ditandai dengan keikutsertaan pemerintah dalam pembangunan koperasi.Pada tingkatan yang telah matang pemerintah sudah tidak terlalu ikut lagi. Tetapi pada tahap pembangunan pemerintah masih layak ikut serta. (Suwandi, Ima, 1984). Dalam pandangan Thornley (1981) bahwa koperasi hendaknya mampu untuk bertahan hidup dengan keharusan untuk tidak saja dapat bertahan dalam kendala pasar, tetapi koperasi harus dapat merepresentasi tantangan akan kekurangan modal. Khususnya dalam koperasi pekerja, hal ini merupakan perdebabat yang sangat unik. Disamping itu penekanan pada analisis pentingnya koperasi membangun kekuatan aliasi politik dan dapat menjadi organisasi yang dapat menjembati luasnya kekuatan pasar (Conforth, et. al, 1988).
Tantangan koperasi dimasa depan adalah mampu bertahan di era globalisasi. Untuk mampu bertahan tentunya koperasi harus instropeksi atas kondisi yang ada pada dirinya. Tidak saja melihat situasi yang berkembang diluar, namun yang lebih penting adalah mampu untuk melihat kenyataan yang ada pada dirinya. Jati dirikoperasi menjadi tantangan besar dalam era globalisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya dengan mengenal jati diri koperasi secara benar maka kemungkinan bersaing dengan badan usaha lain akan terbuka. Jelas bahwa ditinjau dari sudut bentuk organisasinya, maka organisasi koperasi adalahSHO (self-help organisasi).Intinya koperasi adalah badan usaha yang otonom. Problemnya adalah otonomi koperasi sejauh ini menjadi tanda tanya besar. Karena bantuan pemerintah yang begitu besar menjadikan otonomi koperasi sulit terwujud. Dalam dataran konsepsional otonomi Koperasijuga mengandung implikasi bahwa badan usaha koperasi seharusnya lepas dari lembaga pemerintah, artinya organisasi koperasi bukan merupakan lembaga yang dilihat dari fungsinyaadalah alat administrasi langsung dari pemerintah, yang mewujudkan tujuan-tujuan yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh pemerintah (Rozi dan Hendri, 1997).
Dinegara berkembang termasuk Indonesia otonomi ini merupakan masalah konroversial, karenaterjebak dalam isu tentang hak pemerintah dan hak masyarakat dalam menentukan batas yang seimbang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Masalahnya berkisarpada demokrasi dan hak asasi manusia (Soejono, 1992). Lebih lanjut, Soejono menyimpulakan bahwa ketidakpastian batas-batas otonomi tercermin pula dalam kehidupan perkoperasian di Indonesia. Otonomi sebagai kemandirian, kemerdekaan dan kebebaskan tidak pernah mempunyai arti mutlak karena dalam pelaksanaanya selalu dibatasi oleh interaksi lingkungan dengan lingkungannya sendiri terutama sikap pemerintah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan koperasi. Contoh ikut sertanya pemerintah yang begitu besar dalam gerakan koperasi Indonesia dapat dilihat dari gerakan Koperasi Unit Desa selama ini.
Permasalahan penting dalam otonomi adalahmenjamin bahwa otonomi tersebut melibatkan seluruh aspek gerakan, tidak hanya pada koperasi primer. Dan juga harus diperhatikan dalam proses menuju kemandirian (otonomi) memerlukan waktu. Namun demikian haruslah direncanakan secara matang dan strategis. Untuk itu dukungan elemen masyarakat juga sangat dibutuhkan, misalnya peran LSM. Contoh sukses LSM dalam membina koperasi dapat diwakili oleh The Sadguru and Developing Foundation di Gujarat (India), dimana telah membina lebih 200 koperasi primer dan mampu mengenerate pekerjaan dan pendapatan. Begitu pula halnya dengan SEWA (juga satu LSM di India), juga telah mampu untuk membantu kelompok perempuan miskin untuk mampu mengorganisasi sebuah koperasi dalam memberi pinjaman mikro untuk modal usaha (ILO, 2000).Berkaca pada kenyataan diatas, maka sedikit jelas bahwa koperasi Indonesia masih menyimpan pekerjaan rumah yang sangat berat, jika dikaitkan sebagai badan usaha otonom untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat konstitusi.
4. Badan Usaha Koperasi: Strategi dan Pengembangannya
Persaingan yang semakin tajam dalam dunia usaha membuat koperasi yang tidak mandiri dihadapkan padasituasi sulit untuk berkembang. Kecenderungan dunia usaha saat ini mengarah pada kecenderungan untuk saling berkerja sama satu sama lain. Merujuk pada rekomendasi dari Engels ( 2001), kerjasama tersebut belum tentu berbentuk badan usaha Koperasi. Karena dalam manejemen organisasi kita mengenal berbagai bentuk kerjasama misalnya: franchising, netzwerk, joint venture dan lain-lain. Namun demikian koperasi memiliki peluang untuk berkembangnya lebih baik daripada bentuk organisasi kerjasama lain. Disamping itu juga timbul tantangan, bahkan ancaman karena dengan beraagamnya bentuk organisasi kerjasama usaha ini maka koperasi harus mampu membuktikan dirinya sebagai badan usah yang tetap dapat di andalkan.
Jika melihat perkembangan yang ada, koperasi tidak akan dapat bertahan jika bentuk pengelolaannya masih tradisional dan terkesan apa adanya. Karena apa pun bentuk perusahaan jika dikelola dengan baik sesuai dengan etika bisnis yang ada maka prospek kesuksesan itu akan terbuka lebar. Kesuksesan dan kegagalan suatu usaha memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebagai suatu badan usaha atau sebagai soko guru pembangunan suatu bangsa, koperasi mempunyai peranan yang cukup besar jika di kelola dengan sungguh-sungguh. Sejenak melihat statistik perkoperasian dunia, menurut ILO dalam Report V(1): Promotion of Cooperatives (2001) dewasa ini koperasi diyakini memberikan sumbangan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) mengestimasian bahwa 3 milyar orang bermata pencaharian atau separuh populasi dunia dari bangun usaha Koperasi. Paling tidak 800 juta individu menjadi anggota koperasi saat ini, jika dibandingkan dengan tahun 1960 yang hanya 184 juta. Dalam tataran makro ekonomi, koperasi secara signifikanmemberikan market share yang memadai. Misalnya di Burkina Faso, Koperasi Produk Pertanian merupakan penghasil terbanyak untuk pasok buah-buahan dan sayuran dipasaran nasional dan di Cote d’Ivory, koperasi bertanggung jawab terhadap 77 persen produksi Cotton. Di Uruguay koperasi memproduksi 90 persen produk national susu dan mengekspor 70 persen surplus produksi terigunya. Bahkan di Amerika Serikat pada tahun 1998, Koperasi Listrik Pedesaan memberikan kontribusi lebih dari setenggah pasok aliran listrik dan menyediakan kekuatan listrik untuk 25 juta orang di 46 negara bagian. Di Denmark, koperasi memberikan kontribusi 94 persen produk susu untuk pasaran nasional. Folksam, sebuah koperasi asuransi di Swedia telah menggelola 48,9 persen pasar asuransi perumahan dan 50 persen untuk asuransi jiwa dan kecelakaan. Suatu angka yang tidak bisa dibilang remeh untuk ukuran Koperasi yang kelihatan sepele. Negara tetangga kita, Philipina bahkan mengakui 16 persen dari GDP –nya merupakan sumbangan koperasi.
Manajemen adalah seni bagaimana sebuah organisasi dapat mencapai tujuan. Jika tujuan suatu oraganisasi itu sederhana dan organisasinya kecil maka pengelolaanya akan lebih mudah dibanding dengan organisasi yang lebih besar.Banyak perusahaan kecil, perusahaan perorangan maupun koperasi dapat secara cepat berkembang. Namun setelah perusahaan itu membesar seiring dengan perubahan waktu, dan tujuan yang ingin dicapai lebih banyak maka diperlukan pengelolaan yang lebih cermat. Disinilah letak pentingnya diterapkannya ilmu manajemen,karena dengan manajemen yang baik sebuah organisasi akan mampu bertahan. (Maurice, 1988).
Sampai saat ini memang belum ada bentuk baku manajemen koperasi, walaupun badan usaha koperasi sudah sangat lama diperkenalkan oleh pendiri koperasi dunia, misalnya Robert Owen, Wilhelm Raiffeisen, Hermann Schulze Delitzs dan lain-lain. Namun demikian kecendrungan yang terjadi adalah bentuk usaha koperasi terpinggirkan dalam persaingan usaha. Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi (inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh. Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju dalam memberi manfaat dibanding pesaing karena hanyadengan itu anggota atau calon anggota tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan transaksi ekonominya (Rully; Dasar-dasar koperasi: Implementasi Dalam Manajemen).
Lebih lanjut dikatakan bahwa, untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi, pada umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar koperasi tetap menjadi alternatif yang menguntungkan, dalam arti lain manajemen koperasi harus mampu mempertahankan manfaatkoperasi lebih besar dari manfaat yang disediakan oleh non-koperasi. Atau koperasi harus selalu mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam sistem manajemen yang dikembangkannya.
Pengelola perlu memiliki berbagai kompetensi dan sikap tertentu untuk menjalankan fungsinya. Diantaranya adalah sikap terbuka terhadap hal-hal atau penemuan-penemuan baru (inovasi) yang mendukung jalannya tugas keorganisasian dan usaha. Malahan lebih dari pada itu harus terangsang untuk mencari terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan oleh pesaing. Sikap yang terlalu toleran terhadap cara-cara lama sampai batas tertentu akan sangat membahayakan terhadap eksistensi dan daya hidup koperasi. Hal yang harus disadari oleh pengelola hasrat anggota maupun konsumen bukan anggota selalu dalam keadaan dinamis, walau arah dinamika itu tidak selalu berjalan ke muka, tetapi mungkin akan kembali ke semula. Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari teknologi lama. Sikap lain yang harus dimiliki pengelola hubungannya dengan usaha adalah kemampuan dalam menghimpun modal. Menarik modal, baik dari dalam maupun luar, bukanlah pekerjaan ringan mengingat hal itu sangat berhubungan dengan kepercayaan pihak anggota maupun pihak non-anggota terhadap koperasi. Memposisikan usaha yang dijalankan sebagai sarana investasi rasional merupakan tanggungjawab pengelola.
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengelola. Data empiris menyatakan sikap ini masih tergolong rendah di kalangan pengelola terutama KUD. Tanpa sikap ini, pengelola tidak lebih dari karyawan biasa yang menggantungkan hidup dari koperasi. Terakhir adalah kemampuan manajerial yang berhubungan dengan kebersediaan dan ketersedian pengelola untuk melaksanakan fungsi manajemen secara proporsional dan profesional sehingga apa yang dikerjakan merupakan hasil kerja yang terurut dan terukur.
Efektivitas koperasi masih menjadi perbebatan yang hingga kini belum meneukan tik temu antara para pakar ilmu koperasi.. Blümle dalam Dulfer dan Hamm (1985) yakni:
“Finally let us see what co-operative science has to say, for it has been widely debating the problem of success. In current discussion about the promotional task this problem is linked up with the co-operative system of objectives and member participation. But there will be disappointment in the results of this research for anybody who approaches with hopes and analysis of the diverse attempts to make the promotional maxims operational, and to measurement co-operative success.”
Sehingga dapat dipahami bahwa proses pengukuran efektivitas tidaklah sesederhana mengukur efektivitas organisasi atau badan usaha lain, melihat prinsip koperasi yang tidak saja bersifat badan usaha ekonomis, yang melainkan juga sebagai badan usaha sosial.. Bagaimanapun juga sebagai abadan usaha, koperasi tetap memelukan ukuran kinerja keberhasilan.
Keunggulan merupakan syarat utama untuk terlibat dalam persaingan itu. Keunggulan yang harus dimiliki senantiasa memuat dimensi koperasi sebagai unit usaha maupun gerakan swadaya. Ketangguhan dalam dimensi gerakan swadaya sangat ditentukan oleh tingkat keperdu-liaan anggota dalam fungsinya sebagai pemilik untuk turut dalam proses pengembangan Koperasi. Partisipasi anggota merupakan indikator dalam konteks. Sementara dilihat dari fungsi “badan usaha” ketangguhan koperasi diukur oleh kemampuannya dalam mengembangkan dan menguasai pasar. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan koperasi dalam meraih lebih besar potensi yang dimiliki pasar ketimbang para pesaing. Koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Rumusan sederhana mengenai penjelasan di atas adalah, “Koperasi berhasil bila mampu mengembangkan usaha yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, dengan mengoptimalkan keterlibatan potensi anggota di dalam proses dan hasil usaha”.(Rully: Dasar-dasar Koperasi: Implementasi dalam Manajemen ). Berangkat dari urgenitas tersebut Ropke (1992) bahkan merekomendasikan adanya pengujian yang meliputi uji partisipasi (Participation-test) dan uji pasar (Market-test) untuk mengukur keberhasilan koperasi.
Sementara itu untuk menyiapkan koperasi menjadi mandiri, tidak saja diperlukan aspek ekonomi-sosial, namun lebih jauh dan dalam harus mengarah pada sisi operasional koperasi itu sendiri. Dengan begitu jelas bahwa perubahan mendasar dari sisi manejemen, khususnya antisipasi terhadap perubahan ekonomi global menuntut juga perubahan pada manajemen koperasi. Perlu diingat bahwa sebenarnya prinsip manajemen umum dapat diterapkan pada koperasi dengan memperhatikan prinsip yang dianut oleh koperasi. Karena bagaimanapun koperasi sedikit memiliki perbedaan mendasar dengan badan usaha lain. TesisDavis (1999) mengembangkan tujuh prinsip manajemen yang selaras dengan prinsip manejeman koperasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tujuh Prinsip Manajemen Koperasi

Manajemen Umum
Manajemen Koperasi
Pluralism,
Manajemen bertumpu semata-mata pada kepentingan stakeholder.
Anggota akan menemukan keinginannya untuk mengenali stakeholder yang lain.
Mutuality,
Membutuhan keuntungan dari saham.
Karena pengembalian modal bukan tujuan utama dalam keanggotaan koperasi, kerjasama mutual antara pihak yang berkepentingan lebih ditonjolkan.
Individual autonomy,
Mengakui kebebasan individu dan tanggung jawab.
Sama dengan organisasi lain tetapi koperasi tergantung pada kekuatan dari luar dan hak anggota.
Distributive justice,
Pembagian sumberdaya yang tidak berlebihan.
Sama dengan organisasi lain,tetapi dalam koperasi akan lebih mudah pengelolaannya karenaanggota langsung sebagaipemilik dalam struktur badan usaha.
Natural justice,
Mengarah pendekatan secara prosedur dan mengaplikasikan prinsip kejujuran dan berkelanjutan
Struktur kepemilikan koperasi dan kultur pertanggungjawaban dalam koperasi lebih mudah untuk dicapai.
People – centeredness
Kosumen adalah subjek bukan sebagai objek
Prinsip ini diterapkan dengan basis keanggotaan
Mutiple role of work and labour
Pekerjaan mempengaruhi status sosial, pola konsumsi dan hubungan struktural secara keseluruhan. Dalam jangka panjangkekuatan individu bertumpu pada tanggung jawab sosial perusahaan.
Koperasi mengadopsi prinsip ini dengan mengkombinasikan antara kebutuhan sosial dan bisnis.




Satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah efisiensi dalam pengelolaan Koperasi. Hal ini mengingat koperasi berperan tidak saja sebagai badan usaha dan untuk kepentingan anggotanya. Namun lebih jauh koperasi harus diarahkan kepada sinkoronisasi atas efisiensi pembangunan nasional. Berkenaan dengan masalah tersebut. Hanel (1988) membedakan tiga jenis efisiensi dalam koperasi yang meliputi: Efisiensi Pengelolaan Usaha. Hal ini lebih pada efisiensi operasional pengelolaan usaha Koperasi. Variabel yang diperhatikan adalah pada sejauh mana tujuan-tujuan koperasi dapat tercapai sebagai badan usaha. Efisiensi yang berorientasi Pada Kepentingan Anggota, yaitusuatu tingkat dimana melalui berbagai kegiatan pelayanan yang bersifat menunjang dari perusahaan koperasi itu, kepentingan dan tujuan para anggota tercapai dan Efisiensi Yang Berkaitan Dengan Pembangunan, yaitu berkaitan dengan penilaian atas dampak-dampak yang secara langsung atau tidak langsung yang ditimbulkan oleh koperasi sebagai kontribusi koperasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan pembangunan pemerintah.
Lebih lanjut perlu dikemukakan mengenai urgensi konsep persaingan untuk memberikan juga diterapkan pada Koperasi sebagai badan usaha yang bersaing dengan badan usaha non koperasi. Dalamkonsep persaingan mempunyai tiga elemen pokok, yaitu badan usaha itu sendiri, pelanggan (dalam koperasi termasuk juga anggota koperasi) dan pesaing. Kesuksesan sebuah badan usaha harus dapat menselaraskan elemen pokok tersebut. Dalam pemasaran tradisional bertumpu hanya pada kepuasan pelanggan, namun sekarang pelanggan menuntut pelayan dan kualitas yang lebih. Kesuksesan juga tergantung pada pesaing, karena itu badan usaha koperasi memerlukan keunggulan tersendiri dibanding pesaing. Strategi keunggulan bersaing (Competitive Advantage), dapat dikembangakan dengan memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1. mengkonsentrasikan ukuran kinerja atas pelanggan. 2. keuntungan harus dapat dipersepsikan oleh pelanggan, 3. strategi dikembangkan secara berkelanjutan. Dengan menggunakan strategi ini maka badan usaha koperasi akan dengan sendirinya mampu bersaing dengan badan usaha non koperasi dan koperasi lainnya (Simon, Herman, 2001).
5. Rekomendasi Menuju Kemandirian Koperasi dalam Era Globalisasi
Suatu badan usaha mempunyai peluang untuk berkembang atau mengalami kegagalan. Hal ini hanya tergantung pada kondisi dan sistem pengelolaan badan usaha tersebut. Berangkat dari pernyataan-peryataan diatas, dalam hal ini koperasi memerlukan perhatian yang serius dalam menyongsong era globalisasi. Untuk dapat bertahan dalam persaingan usaha dengan memperhatikan beberapa rekomendasi yang sifatnya dari dalam maupun dari luar, sebagaimana berikut:
1.Pemerintah turut bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi usaha yang kondusif melalui instrumen yang diberlakukan, misalnya undang-undang persaingan dan etika usaha yang dimasyarakatkan secara intensif dan berkesinambungan. Harapan lebih lanjut adalah bagaimana instrumen tersebut mampu ditaati oleh semua pelaku usaha Tentunya hal ini secara tidak langsung juga perlu mengubah pendekatan yang selama ini terkesan dari atas ke bawah (top down) menjadi pendekatan yang lebih bersifat interaktif, dialogis dan hadap masalah. Dengan begitu apa yang diharapkan dari koperasi sebagai badan usaha yang memiliki kontribusi dalam pembangunan ekonomi dapat tercipta.
2.Kemandirian Koperasi menjadi tantangan terbesar menyonsong era globalisasi. Untuk itu perlu dipertegas lagi peranan pemerintah dan jajarannya. Pemerintah haruslah hanya menjadi fasilitator dalam tumbuh kembangnya koperasi Indonesia. Konsekuensi lain adalah koperasi harus mampu untukmandiri yang responsif pada perubahan yang terjadi. Tentunya untuk mempercepat menuju kemandirian koperasi ini, kemitraan dengan organisasi lain semisal LSM dan organisasi internasional lain perlu juga diperhatikan dengan serius.
3.Pengelolaan yang lebih efisien dan efektif akan membuat koperasi sebagai badan usaha mampu bersaing dengan badan usaha lainnya. Sehingga anggapan koperasi sebagai usaha milik rakyat marginal akan sedikit demi sedikit hilang. Tentunya hal ini dapat dipercepat dengan jalan secara radikal menyegarkan kembali kepada para koperasiawan dan masyarakat koperasi tentang hakekat koperasi dan perubahan yang terjadi di era globalisasi. Tanpa gerakan radikal yang bersifat massal dan berkelanjutan, mustahil koperasi mampu untuk menjadi penopang ekonomi anggotanya, yang secara tidak langsung juga jauh dari harapan sebagai soko guru perekonomian nasional.
4.Untuk memperbaiki citra, koperasi harus kembali pada jati dirinya dan membangun organisasi profesional. Citra yang baik sebenarnya sudah tersirat pada nilai-nilai yang dianut pada koperasi, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab sosial dan menolong diri sendiri. Seiring dengan perubahan waktu, nilai-nilai yang berada dimasyarakat juga mengalami perubahan. Kondisi ini langsung atau tidak langsung mempengaruhi persepsi anggota koperasi dan juga masyarakat koperasi mengenai perlu tidaknya koperasi dipertahankan, apalagi citra koperasi yang jauh dari yang diharapkan. Konsumerisme merupakan tantangan terbesar bagi robohnya prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dikandung dalam koperasi itu sendiri.
5.Koperasi sebagai badan usaha mempunyai peluang yang sama untuk berkembang, jika diberikan peluang dan kesempatan. Lepas dari konsep ekonomis sosial yang ada, koperasi dihadapkan pada persoalan nyata sebagai badan usaha yang harus berkompetisi dengan badan usaha lain. Tentunya dengan mencermati paradigma yang ada denga menerapakan Strategi Keunggulan Bersaing diharapkan koperasi mampu menjadi lebih prospektiv menghadapi era globalisasi.
6. Penutup
Era globalisasi menjadikan setiap elemen mengalami perubahan mendasar. Koperasi sebagai badan usaha tidak dapat menghindari perubahan lingkungan yang terjadi. Hal ini memerlukan perubahan pemikiran dengan mengadopsi konsep ekonomi dan manajemen, dabi dari sisi praktis maupun teoritis yang ada, supaya dapat bersaing dengan badan usaha lain secara wajar. Tentunya diperlukan juga penyegaran kembali konsep Koperasi dan meluruskan salah pendapat yang selama ini berkembang mengenai koperasi, supaya dapat diterima oleh masyarakat sebagai salah satu alternativ badan usaha.
Pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan ekonomi, secara konsisten harus mengembangkan iklim kondusif bagi pertumbuhan koperasi. Keberpihakan pemerintah pada kekuatan ekonomi rakyat melalui gerakan koperasi, akan berkembang dan menjadi kenyataan jika didukung oleh konsistensi dan sistem yang berlaku.
Daftar Pustaka
Blümle, 1985, Methods of Measuring Succsess and Effect in A Co-operative, in Co-oparative in The Clach Between Member Participation, Organisational Development and Bureaucratic Tendencies by Dülfer, E and Walter, H, Quiller Press Ltd., London.
Chukwu.S.C,1992, Ekonomi Perusahaan Perniagaan Koperasi, edisi Bahasa Melayu, Marburg Consult.
Cornforth, Chris, Alan Thomas, Jenny Lewis and Roger Spear, 1988, Developing Successful Worker Co-operatives, Sage Publication, London.
Davis, Peter, 1999, Managing the Cooperative Difference: A Survey of the application of modern management practices in the cooperative context, Cooperative Branch, International Labour Office, Geneva, Swiss.
Develtere, Patrick, 1994, Co-operative and Development, Acco, Leuven, Belgium.
Engel, A, 2001, Kooperationeffekte, Efizientvorteile und Erfolgspotentiale von Kooperationen und Kollektivem strategischem Handeln aus unternehmenstheoritischer und genossenscahftswissenschaftlicher Sicht, inNutzer-orientierte versus investor-orientierte Unternehmen, Marburger Fachgespräch am 22-23 Juni 2001, Marburg Germany.
Hanel, Alfred, 1992, Basic Aspects of Cooperative Organizations and Cooperative Self-Help Promotion in Developing Countries, Marburg Consult, Marburg, Germany.
Hanel, Alfred, 1989, Organisasi Koperasi: Pokok-pokok Pikiran Mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangannya di Negara-negara Berkembang, Universias Padjajaran, Bandung, Indonesia.
Hutagaol, M.P, 1996, Suatu Refleksi Krisis Mengenai Kesenjangan Ekonomi Nasional, Mimbar Sosek, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, Indonesia.
Indrawan, Rully , Dasar-dasarKoperasi: Implementasi Dalam Manajemen. http://rully-indrawan.tripod.com/
Iqbal, Mochmammad, 1984, Tantangan-tantangan Baru Dalam Perkembangan Koperasi di Indonesia, dalam dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengemabgan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.
International Labour Organisation, 2001, Report V (1): Promotion of Cooperative, Geneva, Swiss
Kandem, E, 2000,Cooperative Toward he 21st Century The Changing Enviroment of Cooperative in Developing Countries, in New Changes for Cooperativ Self-help in the Contexr of Liberalization and Globalization Practical Experiences and The Theoritical Reorientation, Seminar for Graduates of Co-operative Economics from 24th to 29th January 2000, ICDC, Philipps University of Marburg, Germany.
Jeon, J, 2000, Die Zukunft des Genossenschaftlichen Prinzips Ansatzpunkte zu Seiner Innovatorischen Fortentwicklung, in in New Changes for Cooperativ Self-help in the Contexr of Liberalization and Globalization practical experiences and the theoritical reorientation, Seminar for graduates of Co-operative Economics from 24th to 29th January 2000, ICDC, Philipps University of Marburg, Germany.
McCarrell, 1992, Tantangan dan Perubahan: Penyiapan Perdangangan Bagi Koperasi, Seri Forum Kuliah Dan Monografi Tentang Manajemen Koperasi dan Pengembangannya, Southeast Asia Forum for Development Anternatives.
Maurice-Adoum, 1988, Co-operative Management and Administration, International Labour Office, Geneva, Swiss
Nasution, Muslimin, 1992, Experience of TheCooperative Autonomy: Observation and Recommendation, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Roepke, Jochen, 1992, Genossenschaften und Wirschaftssytem, in Genossenschaftliche Selbhilfe und Struktureller Wandel, Marburg Consult, Marburg, Germany.
Rozi dan Hendri, 1997, Kapan dan Bilamana Berkoperasi, Unri Press, Riau, Indonesia.
Scholz A.N and Walsh. T.A, 1992, Relevance of Micro and Macro Levelsin The Autonomy of The Cooperative Movement, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Simon, Herman, 2001,Strategische Wettbewerbsvorteile, Frankfurter Allgemeine Zeitung, Samstag, 23 Juni, 2001, Nr. 143. Seite 68, Frankfurt, Germany.
Soejono, Ibnoe, 2000, Jatidiri Koperasi dalam Era Globalisasi, Makalah Ceramah di Universitas Jember, 27 Januari 2000, Jember, Indonesia.
Soejono, Ibnoe, 1992, Experiences of The Co-operative Autonomy: Review and Recomendation,, The Lecture Forum and Monograph Series on Cooperative Management and Development,The Southeast Asia Forum For Development Antenatives, Jakarta, Indonesia.
Sutrisno, Lukman, 1984, Perspektif Perkembangan Koperasi dalam Struktur Masyarakat Indonesia Dewasa Ini, dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengemabgan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.

Suwandi, Ima, 1984, Memasyarakatkan Koperasi Melalui Pendidikan, dalam Memperkokoh Pilar-pilar Kemandirian Koperasi, Antologi Esei, Badan Penelitian dan Pengembagan Koperasi Departemen Koperasi, Jakarta, Indonesia.

Suwandi, Ima, 1986, Koperasi: organisasi ekonomi yang berwatak sosial, Bhratara Karya Aksara, Indonesia