Selasa, 18 Mei 2010

DIKTAT SEJARAH ILMU EKONOMI


DIKTAT MATA KULIAH
SEJARAH ILMU EKONOMI
By : M. Iksan AW, SE

BAB I
PENDAHULUAN

Apabila ilmu ekonomi diibaratkan sebagai sebuah gunung, maka setiap orang yang mempelajarinya adalah ibarat orang – orang yang ingin mendaki gunung tersebut. Rumah para pendaki itu sendiri jauh dari gunung tersebut, sehingga mereka masih harus menempuh jarak yang jauh sebelum sampai hanya ke kaki gunung itu saja sekalipun.

APAKAH ILMU EKONOMI ITU ?
A. Masa Silam
Sebagai salah satu cabang dari Pohon Ilmu Pengetahuan yang amat besar dan luas, ilmu ekonomi diberi gelar sebagai The Oldest Art, and The Newest Science, atau kalau diterjemahkan, ekonomi adalah seni yang tertua dan ilmu pengetahuan yang termuda. Hal ini tampak kian jelas jika dilihat dari pendapat George Friedrich List (1789 – 1864), seorang ahli ekonomi bangsa Jerman, yang membagi tahap – tahap kehidupan ekonomi manusia sebagai berikut :
1. Perburuan dan perikanan.
2. Peternakan.
3. Pertanian.
4. Pertanian dan Kerajinan Setempat.
5. Pertanian, Industri, Perniagaan Internasional.
Pembagian List ini memberikan kesan kepada kita, bahwa pemecahan masalah – masalah ekonomi (economic problems) telah dilakukan oleh orang – orang penghuni pertama bumi ini dalam bentuk perburuan dan perikanan.

B. Istilah
Peristiwa pertama yang menandai akan lahirnya ilmu baru yang bernama ilmu ekonomi adalah munculnya istilah ekonomi itu sendiri. Itu terjadi ribuan tahun yang lalu, beratus – ratus tahun sebelum kelahiran Nabi Isa Al – Masih. Entah pada zaman apa, masa pemerintahan raja siapa serta oleh siapakah istilah ekonomi itu untuk pertama kalinya dilontarkan, tidak ada orang yang dengan pasti mengetahuinya. Yang jelas hanyalah, bahwa istilah ekonomi itu lahir di Yunani dan dengan sendirinya istilah ekonomi itu pun berasal dari kata – kata bahasa Yunani pula. Asal katanya adalah Oikos Nomos. Alangkah sulitnya mencari terjemahan untuk kata – kata itu, tetapi orang – orang Barat menerjemahkannya dengan Management of Bousebold or Estate (tata laksana rumah tangga atau pemilikan). Melihat namanya, dapatlah dibayangkan bahwa yang dimaksud dengan Oikos Nomos – yang kemudian berubah menjadi ekonomi – saat itu tentulah tidak mencakup bidang yang luas. Hanya sekedar tata laksana rumah tangga. Mencukupi rumah tangga itulah yang saat itu menjadi masalah ekonomi yang utama.
Hampir di setiap generasi Yunani berhasil mencetak dan memiliki filosof besar, yang kesemuanya menjadi penyumbang bongkahan – bongkahan terbesar bagi terwujudnya bangunan ilmu pengetahuan kita saat ini. Diantaranya nama – nama terdapatlah Aristoteles (384 – 382 sebelum Masehi). Selama hidupnya Aristoteles telah menulis banyak sekali buku tentang segala sesuatu yang dilihat, dirasa dan dipikirkannya. Karena Yunani memiliki Aristoteles inilah maka Oikos Nomos tidak berhenti berkembang. Diantara buku – bukunya yang paling banyak memuat uraian tentang ekonomi adalah yang berjudul Politika dan Etika Nicomachea. Beberapa topik yang paling penting dibahas dalam bukunya adalah masalah dasar – dasar teori dan nilai pertukaran, pembagian kerja serta teori tentang uang, suku bunga dan riba. Para ahli ekonomi zaman sekarang ini memberi gelar Aristoteles sebagai The “First” Economist, Ahli Ekonomi “Pertama”.

C. Batasan
Yang paling terkenal diantara kian banyak definisi atau batasan ilmu ekonomi itu adalah yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berdaya upaya untuk memberikan pengetahuan dan pengertian tentang gejala – gejala masyarakat yang timbul karena perbuatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mencapai kemakmuran.
Dalam hal ini Profesor Paul Anthony Samuelson, seorang ahli ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology, telah mengumpulkan sekurang – kurangnya enam buah definisi dari berbagai ahli lain. Keenam definisi itu masing – masing adalah :
1. Ilmu ekonomi, atau ekomomi politik (political economy) adalah suatu studi tentang kegiatan – kegiatan yang dengan atau tanpa menggunakan uang, mencakup atau melibatkan transaksi – transaksi pertukaran antar manusia ;
2. Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang menjatuhkan pilihan yang tepat untuk memanfaatkan sumber – sumber produktif (tanah, tenaga kerja, barang – barang modal semisal mesin dan pengetahuan teknik) yang langkah dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai – bagai barang (gandum, daging, mantel, jalan raya dsbnya) serta mendistribusikan (membagikan) kepada berbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai/konsumsi;
3. Ilmu ekonomi adalah studi tentang manusia dalam kegiatan hidup mereka sehari – hari untuk mendapat dan menikmati kehidupan;
4. Ilmu ekonomi adalah studi tentang bagaimana manusia bertingkah pekerti untuk mengorganisir kegiatan – kegiatan konsumsi dan produksinya;
5. Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang kekayaan;
6. Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang cara – cara memperbaiki masyarakat;
Sementara itu, masalah perekonomian yang paling pokok meliputi 3 (tiga) masalah fundamental dan saling terkait, yakini what, how dan whom goods should be produced, yang secara lengkap menungjukkan hubungan yang erat antara produksi dengan konsumsi.
Bahkan hal ini disebut sebagai The Three Fundamental and Interdependent Economic Problem seperti dibawah ini dengan jelas mencakup masalah :
1. What commodities shall be produced and in what quantities ? Barang – barang apa yang akan dibuat dan seberapa banyak ? Artinya, berapa banyak serta yang manakah di antara barang – barang dan jasa – jasa yang sekian banyaknya itu yang dipilih untuk dibuat atau dihasilkan ? Makanankah atau pakaian ? Lebih banyak makanan daripada pakaian atau sebaliknya ? Roti dan Mentega hari ini, ataukah roti dan anggur hari ini serta roti, anggur dan gandum atau padi di tahun depan ? Atau bagaimana ?
2. How shall goods be produced ? Dengan cara bagaimanakah barang – barang itu akan dihasilkan ? Artinya, siapa yang akan mengerjakan dan dengan sumber – sumber apa serta dengan sistem teknologi yang bagaimanakah barang – barang itu dihasilkan ? Siapa yang harus berburu dan siapa pulakah yang harus memancing ? Listrik sebaiknya dibangkitkan dengan tenaga uap, air terjun atau atom ?
3. For whom shall goods be produced ? Untuk siapakah barang – barang yang dihasilkan itu nantinya ? Artinya, siapakah yang akan dan harus menikmati serta memperoleh manfaat daripada dihasilkannya barang – barang tersebut ? Atau dengan perkataan lain, bagaimanakah seluruh produk (hasil produksi) nasional dibagikan kepada anggota – anggota masyarakat ? Sebagian kecil dibagikan kepada kelompok masyarakat yang kaya serta sebagian besar sisanya kepada kelompok yang miskin ? Atau sebaliknya ? Atau sama rata ?
Ketiga masalah di atas, yaitu What, How dan For Whom, bersifat fundamental sekali, serta dihadapi oleh setiap perekonomian – perekonomian yang sedang berkembang maupun yang sudah maju; perekonomian komunis ataupun kapitalis; perekonomian kuno maupun perekonomian modern; perekonomian desa maupun perekonomian kota tetapi tidak semua perekonomian itu memecahkan ketiga masalah tersebut dengan cara yang sama.

D. Lahirnya Ilmu Ekonomi
Di atas telah disebutkan, bahwa ilmu ekonomi masih harus melalui jarak dan jangka waktu panjang sejak zaman Aristoteles hingga ia menemukan bentuknya. Juga telah disebutkan bahwa penjelasan untuk hal ini akan lebih banyak didapatkan dari pelajaran Sejarah Perekonomian.
Studi tentang ekonomi sebenarnyalah bermula dari perkembangan bentuk perekonomian yang baru itu, walaupun “ilmu” ekonomi tidak bisa dikatakan lahir pada saat itu. Cara – cara baru dalam menghasilkan serta mendistribusikan barang – barang dalam suatu sistem perekonomian pasar yang bersifat bebas telah menciptakan bentuk – bentuk hubungan yang baru pula antara manusia dengan masyarakat dan antara manusia dengan manusia.
Sebelumnya, para filosof agama selalu menekankan kepada para jemaahnya untuk membina dasar moral yang baik kepada bagi kehidupan ekonomi. Sampai dengan abad XV, kesehatan jiwa serta kebutuhan masyarakat secara komprehensif dipandang sebagai hal yang lebih penting daripada kehidupan ekonomi. Mencari kekayaan duniawi untuk diri sendiri dinilai sebagai dosa, karena hal itu dapat melalaikan orang lain dan kesehatan jiwanya; sedangkan suatu ekonomi pasar menghendaki sebaliknya.
Sejak zaman itu, muncullah pemikir – pemikir baru di lapangan ekonomi, yang kesemuanya berpikir serta mencari jawab atas pertanyaan : Apakah sebenarnya sumber kekayaan Negara itu ? Dari sini terlihat bahwa konsentrasi atau pemusatan perhatian para ahli ekonomi saat itu diletakkan pada perekonomian Negara, yakni perekonomian untuk kesejahteraan Negara. Kaum Merkantilis (mercantilists) adalah merupakan pelopor pembuka pintu zaman itu. Sesuai dengan namanya, maka paham atau mazhab ini disebut sebagai paham atau mazhab merkantilisme. Kata merkantilis atau merkantilisme itu sendiri berasal dari bahasa latin Mercere yang berarti jual beli, atau bahasa inggris Merchant yang artinya adalah saudagar.
Di Prancis, pelaksanaan paham ini dilakukan sedemikian ketatnya, sehingga gejala peraturan dikeluarkan untuk mengatur membatasi, serta mencampuri segala kegiatan produksi, distribusi dan perdagangan luar negeri. Berbagai pajak dikenakan, dan begitu pula segala peraturan untuk melakukan control atas impor dan ekspor, para bangsawan dibebaskan dan salah urus terjadi di istana dengan suburnya. Akibatnya timbullah ketidakpuasan – ketidakpuasan terhadap sistem merkantilisme ini.
Orang – orang Prancis pertama yang menentang paham merkantilisme ini menamakan diri mereka kaum fisiokrat (phisiocrats). Pemukanya adalah Francois Quesney dokter pribadi Lodewijk XV.
Francois Quesney menolak anggapan kaum merkantilis bahwa kekayaan Negara berpusat dari industri dan perdagangan. Dia tekankan bahwa hanya pertanianlah yang dapat menghasilkan kekayaan. Sebab menyebut diri mereka sebagai kaum fisiokrat karna kata fisiokrat itu berakar pada kata – kata Yunani Fisos yang berarti alam dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan, sehingga fisiokratisme berpendirian bahwa alamlah penguasa kekayaan, atau dari alamlah bersumber kekayaan. Quesney meletakkan dasar ajarannya pada 2 (dua) hal pokok :
1. Bahwa control atau pengendalian atas perdagangan luar negeri dan industri (seperti pada zaman merkantilisme), apapun bentuk control itu justru akan menghambat perkembangan ekonomi, sebab hal itu sama artinya dengan menghambat arus pendapatan serta barang – barang yang pada keduanya inilah keadaan perekonomian tergantung. Ajaran pertama inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi bebas (liberalisme), yang kemudian pada XIX menjadi bahan perbincangan utama diantara para ahli ekonomi, serta yang sampai saat ini tetap menjadi ideologi utama kaum kapitalis.
2. Semua pajak harus ditanggung oleh para pemilik tanah (Quesney membedakan antara pemilik tanah dengan petani), sebab kehidupan mereka yang mewah telah menjadi salah satu sebab terhambatnya arus pendapatan di kalangan rakyat.
Pendapat Quesney secara keseluruhan berpangkal atas 2 anggapan pokok. Pertama, dia percaya bahwa semua kekayaan datangnya dari proses yang memberikan kehidupan (live – giving process) yang telah diciptakan oleh Tuhan, dan Kedua, bahwa kebebasan ekonomi, yakni bebas dari segala macam control, hal ini agar terciptanya masyarakat yang makmur dan teratur.
Menyelusuri cerita lahirnya ilmu ekonomi, maka kita bertemu dengan Jean Baptiste Colbert dari Prancis, yang melembagakan paham atau mazhab merkantilisme atau colbertisme. Namun, paham ini akhirnya dirombak oleh Francois Quesney yang bersama – sama dengan Jacques Turgot mengumumkan berlakunya sistem fisiokratisme di Prancis. Mazhab Quesney inilah yang kemudian menarik perhatian Adam Smith, sehingga akhirnya Smith menulis bukunya The Wealth of Nations yang merupakan serta memuat ide pokok mazhab liberal. Mazhab ekonomi liberal yang diumumkan oleh Adam Smith ini menentang segala bentuk campur tangan pemerintah di lapangan ekonomi. Salah satu teori Smith yang terkenal di dalam hal ini adalah Teori Tangan Gaib (The Theory of Invisible Hand). Ekonomi sebagai ilmu dinyatakan lahir bersamaan dengan saat terbitnya buku Smith itu, dan oleh karenanya Smith dinyatakan oleh orang sekarang sebagai Faounder of Modern Economics.
Sesudah revolusi Adam Smith di abad 18, sebagaimana diterangkan di atas, banyak ahli ekonomi yang sepaham dengannya meneruskan buah pikirannya itu. Yang terpenting diantaranya adalah Thomas Robert Malthus dan David Ricardo, kedua – duanya adalah berasal dari Inggris. Mereka berdua tetap berpegang kepada asumsi – asumsi dan tujuan yang telah dibangun oleh Adam Smith; hanya cara memandangnyalah yang berbeda.
Tujuan utama menegakkan ilmu ekonomi Smith adalah pembangunan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Dalam pandangan Ricardo, dalam usaha membangun ekonomi itu, kepentingan rakyat banyak harus dinomor satukan, sebab mereka itulah yang akan menikmati hasil kemajuan pembangunan ekonomi itu. Di lain pihak, Malthus berpandangan bahwa kaum pemilik modal (kaum kapitalis) ini dibebaskan berusaha, maka usahanya itu akan dengan sendirinya memberi manfaat kepada masyarakat di sekitarnya. Jika sebuah pabrik didirikan, misalnya : demikian berpikiran Malthus, maka pabrik itu akan mengambil penduduk sekitarnya sebagai tenaga kerja, akan dibangunnya pula jalan, didirikannya sekolah, mesjid, rumah sakit dan sebagainya. Semakin besar pabrik atau perusahaan itu, semakin makmur pula penduduk sekitarnya.
Buah pikiran dan jalan berpikir Malthus berkembang ke mana – mana, terutama sekali Amerika Serikat yang baru saja merdeka sesudah sekian lamanya menjadi koloni Inggris. Di Amerika Serikat pada saat itu menganut teori ekonomi liberal ciptaan Adam Smith menurut resep Malthus. Pengusaha berlomba – lomba mendirikan perusahaan dan mempekerjakan rakyat. Kemakmuran terjadi di Amerika Serikat, karena pengusaha (pemilik perusahaan/pemilik modal) tidak puas dengan kemakmuran yang telah mereka dapatkan, akhirnya mereka mengambil tenaga kerja wanita dan anak – anak yang menjadi wacana populer pada saat itu. Karena upah keduanya lebih rendah dari tenaga kerja pria, maka banyak pekerja pria diberhentikan, akibatnya terjadinya pengangguran besar – besaran dan merajalelanya kemiskinan. Kekayaan tertumpuk di tangan kapitalis.
Namun akhirnya kapitalis merasa kebingungan, karena barang yang mereka hasilkan tidak terjual karena kondisi rakyat miskin. Satu – satunya cara menjual barang dengan membanting harga. Akhirnya terjadilah deflasi (Penurunan harga secara masal), dengan terjadinya penurunan harga akhirnya habislah keuntungan kaum pengusaha dan mendorong terjadinya kemiskinan masal. Tidak ada lagi orang kaya, dan akhirnya perekonomian Amerika Serikat jatuh di tingkat yang serendah – rendahnya dan inilah yang dikenal dengan zaman Malaise atau depresi besar yang amat terkenal itu.
Sampai di sini, ternyata bahwa ekonomi liberal yang diperkenalkan oleh Adam Smith itu tidak membawa apa – apa selain bencana. Inilah kemudian mendorong John Maynard Keynes (Inggris) merevisi buah pikiran liberalisme Adam Smith. Pada tahun 1936, terbitlah bukunya yang menggoncangkan dunia yang diberinya judul The General Theory of Employment, Interest and Money.
Dalam bukunya itu, Keynes menyebutkan bahwa teori ekonomi yang dibawa oleh Adam Smith dan pengikutnya adalah buah pikiran yang sudah kuno, klasik. Akhirnya sebutan yang diperkenalkan oleh Keynes itu pada waktu – waktu berikutnya menjadi demikian terkenalnya, sehingga aliran yang diperkenalkan oleh Adam Smith dan dilanjutkan oleh pendukungnya itu disebut sebagai aliran atau mazhab klasik (classical economics).
Hal penting yang diperkenalkan oleh Keynes dalam bukunya itu adalah berbeda dengan pendapat mazhab klasik yang “mengharamkan” campur tangan pemerintah dalam perekonomian, diperkenalkannya kebijakan ekonomi pemerintah yang lazim disebut kebijakan fiscal (fiscal policy). Guna menolong perekonomian yang ambruk, mau tidak mau dan suka tidak suka pemerintah harus turun tangan mengatasinya, demikian Keynes.
Perjalanan ilmu ekonomi tidak berhenti dengan revolusi Adam Smith, pemikirannya disusul oleh mereka yang melihat kelemahan teorinya. Para ahli ekonomi Jerman, dimotori Marx, merasa amat kecewa dengan kinerja liberalisme yang meletakkan rakyat kebanyakan sebagai perahan para kapitalis. Merekapun lalu memunculkan aliran ekonomi baru yang disebut Komunisme atau lebih sering disebut sebagai paham Neo Klasik.
Paham Keynesian dan Neo Klasik ini akhirnya diberlakukan bersama – sama oleh semua Negara. Namun kegagalan ekonomi juga masih terjadi dimana – mana. Rupanya mereka menunggu lahirnya aliran ekonomi baru.



BAB II
ILMU EKONOMI & RUANG LINGKUPNYA

A. Pengertian Ilmu Ekonomi dan Ruang Lingkupnya
Istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani asal kata ‘oikosnamos’ atau oikonomia’ yang artinya ‘manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya penyediaan dan administrasi pendapatan. (Sastradipoera, 2001: 4). Namun sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu diadakan efesiensi termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa modern istilah ‘ekonomi’ tersebut menunjuk terhadap prinsip usaha maupun metode untuk mencapai tujuan dengan alat=alat sesedikit mungkin. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi tentang ilmu ekonomi.
Menurut Albert L. Meyers (Abdullah, 1992: 5) ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci dari definisi ini adalah; pertama , tentang “kebutuhan” ⎯ yaitu suatu keperluan manusia terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang sifat dan jenisnya sangat bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Kedua, tentang” pemuas kebutuhan” yang memiliki ciri-ciri “terbatas” adanya. Aspek yang kedua inilah menurut Lipsey (1981: 5) yang menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu karena adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan di lain pihak barang-barang dan jasa-jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas.
Itulah sebabnya maka manusia di dalam hidupnya selalu berhadapan dengan
kekecewaan maupun ketidakpastian. Definisi ini nampaknya begitu luas sehingga kita sulit memahami secara spesifik. Ahli ekonomi lainnya yaitu J.L. Meij (Abdullah, 1992: 6) mengemukakan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha manusia ke arah kemakmuran.

Pendapat tersebut sangat realistis, karena ditinjau dari aspek ekonomi di mana manusia sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) pada hakekatnya mengarah kepada pencapaian kemakmuran. Kemakmuran menjadi tujuan sentral dalam kehidupan manusia secara ekonomi, sesuai yang dituliskan pelopor “liberalisme ekonomi” oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations” tahun 1976. Namun dengan cara bagaimana manusia itu berusaha mencapai kemakmurannya ? Dalam definisi yang dikemukakan Meij memang tidak dijelaskan.

Kemudian Samuelson dan Nordhaus (1990: 5) mengemukakan “Ilmu ekonomi merupakan studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi be rbagai komoditi, untuk kemudian menyalurkannya ⎯ baik saat ini maupun di masa depan ⎯ kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Samuelson bahwa ilmu ekonomi itu merupakan ilmu pilihan. Ilmu yang mempelajari bagaimana orang memilih penggunaan sumber-sumber daya produksi yang langka atau terbatas untuk memproduksi berbagai komoditi, dan menyalurkannya ke berbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsi. Jika disimpulkan dari tiga pendapat di atas walaupun kalimatnya berbeda, namun tersirat bahwa pada hakikatnya ilmu ekonomi itu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu. Dengan kata lain yang sederhana bahwa ilmu ekonomi itu merupakan suatu disiplin tentang aspek-aspek ekonomi dan tingkah laku manusia.
Secara fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi dua, yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan Nordhaus, 1990: 9). Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta, situasi dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif membahas pertimbangan-pertimbangan nilai dan etika, seperti haruskan sistem perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong yang miskin? Lebih jelasnya Sastradipoera, 2001: 4, mengemukakan.
Ilmu ekonomi positif merupakan ilmu yang hanya melibatkan diri
dalam masalah ‘apakah yang terjadi’ Oleh karena itu ilmu
ekonomi positif itu netral terhadap nilai-nilai. Artinya ilmu
ekonomi positif itu ‘bebas nilai’ (value free atau wetfrei)…hanya
menjelaskan ‘apakah harga itu’ dan ‘apakah yang akan terjadi
jika harga itu naik atau turun’ bukan ‘apakah harga itu adil atau
tidak’…Ilmu ekonomi normative, bertentangan dengan ilmu
positif, ilmu ekonomi normatif beranggapan bahwa ilmu
ekonomi harus melibatkan diri dalam mencari jawaban atas
masalah ‘apakah yang seharusnya terjadi’. Esensi dasar ilmu
ekonomi adalah pertimbangan nilai (value judgment). Seorang
ekonom penganut etika puritan egalitarianisme, Gunnar Myrdal
(1898-1987) lebih suka menyebutnya ‘ilmu ekonomi
institusional’.

Ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial, tentu berkaitan dengan bidang-bidang disiplin akademis lainnya, seperti ilmu politik, psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah, geografi, dan sebagainya. Sebagai contoh kegiatan-kegitan politik seringkali dipenuhi dengan masalah-masalah ekonomi, seperti kebijaksanaan proteksi terhadap industri kecil, undang-undang perapajakan, dan sanksi-sanksi ekonomi. Ini artinya bahwa kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kegitan-kegiatan plitik (Abdulah, 1992: 6).
Sebagai disiplin yang mengkaji tentang aspek ekonomi dan tingkah laku manusia, artinya juga mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Dan perlu diketahui, bahwa mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi, tujuannya adalah berusaha untuk mengerti hakikat dari peristiwa- peristiwa tersebut yang selanjutnya untuk dipahaminya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa tujuan ilmu ekonomi itu untuk: (1) mencari pengertian tentang hubungan peristiwa-peristiwa ekonomi, baik yang berupa hubungan kausal maupun fungsional. (2) untuk dapat menguasai masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. (Abdullah, 1992:7).
Ilmu ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Walaupun kita ketahui dalam ilmu ini telah digunakan pendekatan-pendekatan kuantitatif-matematis, tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat menghilangkan keterbatasan-keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi sebagai salah satu cabang ilmu sosial. Menurut Abdullah, (1992: 8), keterbatasan-keterbatasan tersebut mencakup :
(1) Objek penyelidikan ilmu ekonomi tidak dapat dilokalisasikan. Sebagai
akibatnya kesimpulan atau generalisasi yang diambilnya bersifat
kontekstual (akan terikat oleh ruang dan waktu).
(2) Dalam ilmu ekonomi manusia selain berkedudukan sebagai subjek
yang menyelidiki, juga objek yang diselidiki. Oleh karena itu hasil
penyelidikannya yang berupa kesimpulan ataupun generalisasi, tidak
dapat bersifat mutlak, di mana unsure-unsur subjeknya akan mewarnai
kesimpulan tersebut.
(3) Tidak ada laboratorium untuk mengadakan percobaan-percobaan.
Sebagai akibatnya ramalan-ramalan ekonomi sering kurang tepat.
(4) Ekonomi hanya merupakan salah satu bagian saja dari seluruh program
aktivitas di suatu negara. Oleh karena itu apa yang direncanakan (ex-
ante) dan kenyataannya (ex-post) sering tidak sejalan.

Sehubungan dengan keterbatasan-keterbatasannya tersebut, maka sebagai akibatnya sifat keberlakuan generalisasinya yang berupa dalil-dalil atau hukum-hukum dan teori-teorinya akan tergantung kepada konteks ruang dan waktu serta tidak mutlak. Jadi sifat keberlakuan dalil-dalil atau hukum-hukumnya adalah bersyarat. Yaitu bila yang lainnya tidak berubah Syarat ini bisa disebut juga dengan “Cateris Paribus”. Hal ini disebabkan oleh hukum-hukum ekonomi merupakan pernyataan-pernyataan tentang tendensi-tendensi ekonomi. Ia merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana tingkah laku tersebut juga dipengaruhi atau tergantung kepada situasi dan kondisi yang berlaku pada suatu saat. Jadi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial tetap tidak dapat melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh ilmu sosial.
Ditinjau dari ruang-lingkup/cakupannya, ilmu ekonomi juga dapat dibedakan atas makroekonomi dan mikroekonomi (Samuelson dan Nordhaus, 1990: 99). Istilah ”makroekonomi” itu sendiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh Ragnar Frisch pada tahun 1933, untuk diterapkan pada studi mengenai hubungan antar agregat ekonomi yang bersifat luas, seperti; pendapatan nasional, inflasi, pengangguran agregat, neraca pembayaaran (Taylor, 2000: 597). Perlu diketahui bahwa pada masa sebelumnya, sasaran kebijakan kamroekonomi adalah kesempatan kerja full employment (kondisi di mana seluruh sumber daya, khususnya tenaga kerja, bisa terserap sepenuhnya) dan stabilitas harga. Stabilitas ouput dari dari tahun ke tahun ⎯ untuk menghindari ledakan pertumbuhan atau resesi yang sangat parah ⎯ merupakan sasaran tambahan. Tetapi, tingkat pertumbuhan output pada jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada banyak faktor ⎯ seperti teknologi, pelatihan, dan insentif ⎯ yang cenderung termasuk dalam ”sisi penawaran” atau kebijakan mikroekonomi. Dalam perekonomian yang terbuka, baik posisi neraca pembayaran (balance of payment) atau pola tingkat pertukaran di pasar pertukaran valuta asing dapat dipandang sebagai tujuan yang terpisah dari kebijakan makroekonomi atau sebagai suatu halangan terhadap operasional makroekonomi (Britton, 2000: 596).
Dalam hal ini instrumen kebijakan makroekonomi adalah moneter dan fiskal. Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral, sebagai contoh oleh Bank Indonesia. Ketat/tidaknya kebijakan ini dapat diukur dari tingkat suku bunga riil (yaotu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) atau melalui pertunbuhan penawaran uang (yang didefinisikan secara berbeda-beda)> Salah satu keuntungan kebijakan moneter sebagai alat untuk mempengaruhi perekonomian adalah berbeda dari kebijakan fiskal., kebijakan ini bisa dikaji ulang dan diubah secara kontinue berdasarkan informasi baru (Britton, 2000: 596).
Sedangkan kebijakan fiskal adalah perpajakan dan pembelanjaan masyarakat yang dikontrol oleh pemerintah yang tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah mendapat engesahan dari badan legislatif. Pajak dan pembelanjaan mempengaruhi perekonomian melalui cara yang berbeda-beda, tetapi ’kebijakan fiskal’ dalam konteks saat ini adalah efek bujet sebagai suatu keseluruhan terhadap tingkat agregat permintaan dalam perekonomian. Kecuali dalam situasi darurat, kebijakan fiskal biasanya diubah sekali setahun. Kegunaannya dalam mengatur perekonomian juga ditentukan oleh kemampuan dalam menangani anggaran publik itu sendirisecara bijaksana (Britton, 2000: 596).
Penggunaan pinjaman publik dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan perekonomian diterima sebagai suatu prinsip kebijakan pada tahun 1950-an dan 1960-an, seiring dengan gagasan Maynard Keynes yang telah mengubah banyak prinsip ekonomi. Selanjutnya, di tahun 1970-an dan 1980-an muncullah neo klasik atau kontra revolusi monetaris yang berasal dari Chicago dan dipimpin Milton Frriedman. Isu yang mendasar dalam perdebatan ini berkaitan dengan hubungan antara dua tujuan darifull employment dan stabilitas harga. Hal ini dimungkinkan (melalui pemotongan pajak atau pemotongan tingkat suku bunga), untuk meningkatkan ketenagakerjaan dalam jangka pendek tanpa harus membuat inflasi meningkat cepat. Namun, dalam jangka apanjang argumentasi neo klasik menyatakan bahwa situasi ini tidak bisa berbalik (dengan tingkat pengangguran kembali pada level ”alamiah” dan tidak ada yang bisa ditunjukkan untuk kebijakan perluasan kecuali terjadinya inflasi yang lebih tinggi.
Menurut Britton (2000: 597), tidak bisa dipungkiri, dalam praktiknya
catatan kebijakan makroekonmi sejak tahun 1970-an lebih banyak mengalami kegagalan dibandingkan keberhasilan. Inflasi meningkat tajam di sebagian besar negara, terutama pada periode kenaikan harga minyak dunia yang paling dramatis, 1974 dan 1979. Sejak tahun 1980-an inflasi lebih rendah, tetapi pada saat bersamaan pengangguran di banyak negara jauh lebih tinggi. Respons terhadap berbagai kekecewaan ini telah mengarahkan pada tindakan memperkenalkan desain kebijakan baru untuk meningkatkan ”saling tukar” (trade off) antara dua sasaran. Di tahun 1970-an, khususnya di Inggeris, penekanannya yang utama adalah kebijakan harga dan penghasilan. Pendekatan lain, yang berlanjut hingga tahun 1990-an, melibatkan tindakan-tindakan ketenagakerjaan khusus yang dirancang untuk membantu pengaturan secara langsung dengan cara memberikan pelatihan atau mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
Ini sangat berbeda dengan studimengenai unit-unit pengambilan keputusan individual dalam perekonomian seperti rumah tangga, pekerja dan perusahaan, yang secara umum dikenal dengan sebutan mikroekonomi. Sebagai contoh ekonomi mikro meneliti determinasi harga terhadap beras, atau harga relatif beras dan baja atau employment dalam industri baja, sementara ekonomi makro berurusan dengan determinasi tingkat employment dalam suatu perekonomian khusus, atau dengan tingkat harga dari seluruh komoditas. Kendati perbedaan antara dua bidang analisis ekonomi ini berguna untuk berbagai tujuan.

Perkembangan ekonomi mikro sebagai suatu bidang tersendiri, merupakan bagian dari pendekatan marjinal atau neo klasik yang mulai mendominasi teori ekonomi setelah tahun 1970-an. Berbeda dengan ekonomo klasik, yang menyoroti pertumbuhan ekonomi negara akibat pertumbuhan sunber daya produktif mereka, serta menjelaskan harga relatif barang berdasarkan kondisi-kondisi obyektif dari biaya-biaya produksinya. Dalam teori neo klasik mengarahkan perhatiannya pada alokasi sumber daya yang tersedia secara efektif (dengan asumsi implisit mengenai fullemployment ) dan pada determinasi ’subyektif’ terhadap harga-harga individual yang berdasarkan pada kegunaan marjinal (Asimakopulos, 2000: 660).
Terdapat enam topik yang sering dipresentasikan dalam ekonomi mikro, yakni; (1) teori perilaku konsumen, (2) teori pertukaran, (3) teori produksi dan biaya, (4) teori perusahaan, (5) teori distribusi, dan (6) teori ekonomi kesejahteraan (Asimakopulos, 2000: 661). Tema umum yang mendasari semua topik tersebut adalah upaya dari para aktor individual untuk meraih suatu posisi yang optimal, dengan nilai-nilai parameter yang membatasi pilihan mereka. Para konsumen berusaha untuk memaksimalkan kepuasan (atau kegunaan), sesuai dengan selera, pendapatan mereka dan harga barang-barang; perusahaan berusaha memaksimalkan laba mereka, dan ini berarti bahwa dengan tingkat output berapa-pun diproduksi dengan biaya terendah. Syarat-syarat maksimalisasi tersirat dalam istilah ekualitas marjinal (marginal revenue) sama dengan biaya mrginal (marginal cost).
Dewasa ini ilmu ekonomi telah berkembang jauh melebihi ilmu-ilmu sosial lainnya yang terbagi-bagi dalam beberapa bidang kajian seperti; Ekonomi Lingkungan. Bidang kajian ’ekonomi lingkungan’ (environmental economics) ini bermula dari tulisan Gray (1900-an), Pigou (1920-an), dan Hotelling (1930-an), akan tetapi baru mncul sebagai studi koheren pada tahun 1970-an, yakni ketika revolusi lingkungan mulai terjadi di berbagai negara (Pearce, 2000: 300). Selanjutnya, jika ditinjau dari substansinya, terdapat tiga unsur pokok dalam ekonomi lingkungan, yakni; Pertama, kesejahteraan manusia sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam.
Dalam hal ini sangat mudah untuk menunjukkan bukti konkret dari timbulnya
bencana banjir yang disebabkan oelh penggundulan hutan, pembukaan lahan
untuk perumahan dan industri, terjadinya erosi, dan sebagainya. Semuanya ini memiliki dampak bukan saja pada kesehatan, tetapi juga secara ekonomis
merugikan kehidupan manusia.
Kedua, kerusakan lingkungan disebabkan oleh penyimpangan/kegagalan ekonomi, terutama yang bersumber dari pasar. Hal ini dapat diambil contoh, bahwa karena orientasi produk dan profit, tidak sedikit beberapa industri yang mengabaikan analisis dampak lingkungan yang merugikan (externality) bagi masyarakat luas. Begitu juga banyak industri-industri global yang menempatkan pabrik-pabrik dari negara maju ke hutanhutan dan persawahan di negara berkembang. Ketiga, solusi kerusakan lingkungan harus mengoreksi unsur-unsur ekonomi sebagai penyebabnya. Seperti halnya dengan kebijakan subsidi, relokasi industri, dan sebagainya, yang kiranya merusak lingkungan, harus segera dihentikan. Selain itu, jika ativitas ’destruktif’ terselubung yang merugikan itu sulit dihentikan, perlu ada penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus demi merendam kegiatan tersebut. Langkah ini pernah dilakukan di Amerika Serikat yang menerbitkan lisensi polusi dan lisensi memancing, yang ternyata cukup efektif mengatasi masalah tersebut (Pearce, 2000:300).
Ekonomi Evolusioner : Merupakan bidang kajian ekonomi yang menjelaskan naik turunnya pertumbuhan ekonomi dan jatuh bangunnya perusahaan-perusahaan, kota-kota, kawasan dan negara, yang mencerminkan bahwa evolusi selalu beroperasi pada tingkat yang berlainan dengan tingkat kecapatan yang berbeda-beda. Dan, hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya bidang-bidang baru kegiatan ekonomi (Metcalfe, 2000: 324). Dengan demikian selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana perekonomian dunia berbah, sehingga tinjauannya bersifat dinamis, untuk menangkap keragaman perilaku yang memperkaya perubahan sejarah. Tema-tema inilah yang sering dibicarakan dalam sejarah (Landes, 1968; Mokyr, 1991), yang semuanya bertolak dari suatu mekanisme yang sama, namun menentukan pula keragaman perilaku ekonomi.
Ekonomi evolusioner, juga merupakan entitas-entitas yang memiliki
berbagai karakteristik atau ciri perilaku, yakni; stabilitas kelangsunan perlaku dari waktu ke waktu, sehingga kita dapat mengaitkan ciri-ciri perilaku di masa mendatang dengan yang ada pada saat ini. Dengan dengan demikian inersia (inertia) merupakan elemen pengikat penting serta tampak jelas bahwa evolusi tidak dapat berlangsung di dunia di mana individu-individu atau organisasinya berperilaku secara acak/random. Begitu juga dalam kajian mengenai sumber keragaman perilaku ekonomi, para ahli lebih menaruh perhtian pada pengaruh teknologi, organisasi, dan manajemen berdasarkan pemahaman bagaimana suatu tindakan dilangsungkan sehingga memunculkan ciri-ciri perilaku yang menguntungkan. Kemudian timbul pertanyaan; apakah evolusi itu mengandung rasinalitas?. Di sini nampaknya tidak. Sebab dalam dunia manapun, di mana pengetahuan dihargai cukup mahal sertakapasitas komputasional senaniasa terbatas, maka kita tidak memiliki ijakan yang layak untukk mengupayakan optimistisasi secara pasti, sebagai pedoman guna menilai perilaku. Walaupun tidak disangkal lagi bahwabahwa ndividu senantiasa mencari hasil yang terbaikdari serangkaian pilihan yang ada, akan tetapi kalkulasi yang dipergunakannya mungkin saja bersifat lokal, dan tidak bersifat global. Hal inilah yang merupakan sumber keragaman perilaku tersebut (Metcalfe, 2000: 324).
Ekonomi Eksperimental : Bidang ekonomi eksperimental pada mulanya merupakan hasil-hasl studi perilaku pilihan individu, terutama ketika para ekonom memusatkan perhatiannya pada teori-tori mikroekonomi. Teori tersebut bertumpu pada preferensi-preferensi individu, di mana mereka menyadari bahwa bidang tersebut sulit dipelajari dalam lingkungan alamiah, sehingga dirasakan perlunya merumuskan sarana laboratorium. Sebagai pengujian awal formal atas teori-teori pilihan individu (individual choice), dapat dtemukan pada tulisan Thurstone dalam The Indifference Function (1931) yang menggunakan teknik-teknik eksperimental. Kemudian didukung pula oleh teori harapan kepuasan (expected utility theory) mengajukan prediksi-prediksi lebih gamblang, maka pada tahun 1950 Melvin Dresher dan Merrill Flood melakukan eksperimen awal secara formal dilaksanakan. Ternyata teori ini memang cocok untuk mempelajari perilaku, kendati masih ada penyimpangan. Selain itu, teori ini juga diterapkan pula pada studi tentang pengadaan barang publik, yang dilakukan secara survey
oleh Ledyard dalam Publik Goods: a survey of experimental research tahun 1995 (Roth, 2000: 332).
Sebagai eksperimen awal tentang hal ini dilaukan oleh Thomas Schelling dalam karyanya The Strategy of Conflict (1960). Eksperimen in sangat berguna untuk mengisolasikan dampak-dampak aturan main tertentu yang harus diorganisir pasar. Tentang kajian umum mengenai ilmu ekonomi eksperimental dan ulasannya tentang sejarah dan perkembangannya, telah dimuat dalam karya Roth ”Introduction to experimental ecomics” (1950). Begitu juga Sunder dalam Experimental asset markets: a survey (1995), yang menyoroti pasar-pasar komoditi, seperti; pasar ang dan asar modal, di mana informasi memegang peranan sedemikan penting. Pendeknya, ’ilmu ekonomi eksperimental’ kini telah menjadi perangkat riset yang mapan bagi perkembangan ekonomi secara umum (Roth, 2000: 334).
Ekonomi Kesehatan: Ilmu ekonomi (health economics) kesehatan berusaha melakukan analisis terhadap input-input perawatan kesehatan, seperti pembelanjaan dan tenaga kerja, memperkerikan dampak-adampaknya pada hasil akhir yang diinginkan, yakni kesehatan masyarakat. Sedangkan tujuannya ilmu ekonomi kesehatan tersebut adalah menggeneralisasikan aneka informasi mengenai biaya dan keuntungan dari cara-cara alternatif mencapai kesehatan dan tujuan-tujuan kesehatan (Maynard, 2000: 427).
Dalam relaitasnya, evaluasi mengenai perawatan kesehatan itu jarang dilakukan baik yang bersifat publik (pemerintah) maupun pribadi (misalnya individu pembuat keputusan dan anggota keluarganya). Bahkan Cochrane dalam tulisannya yang berjudul Effectiveness and Efficiency (1971) mengeluhkan kebiasaan buruk tersebut dengan mengemukakan: ”hampir semua terapi perawatan kesehatan, tidak pernah dievaluasi secara ’ilmiah’. Maksud ’ilmiah’ di sini adalah bahwa aplikasi ujicoba terkontrol yang sifatnya random oleh pelaksana terapi terhadap kelompok eksperimental pasienyang diambil secara acak. Serta sebuah konsep terapi alternatif sebagai pembandingnya. Jika ada perbedaan signifikan antara hasil terapi pada kelompok kontrol, berarti dampak relatif dari terapi tersebut benar-benar berpengaruh maupun bermakna.
Ekonomi Institusional. Ekonomi institusional (institutional economics) merupakan studi tentang sistem-sistem sosial yang membatasi penggunaan dan pertukaran sumber daya langka, serta upaya-upaya untuk menjelaskan munculnya berbagai bentuk pengaturan institusional yang masing-masing mengandung konsekuensi tersendiri terhadap kinerja ekonomi (Eggertsson, 2000: 501).
Lahirnya ilmu ekonomi institusional ini bertolak dari asumsi-asumsi
1. Kontrol yang lemah akan mendorong pemborosan dan
pemanfaatn sumber daya secara semberono.
2. Kontrol yang tertib akan menurunkan niat curang dan
memperkecil biaya transaksi yang selanjutnya memacu
spesialisasi produksi dan investasi jangka panjang.
3. Pemilahan kontrol sosial mempengaruhi distribusi kekayaan.
4. Kontrol organisaional mempengaruhi pilihan organisasi
ekonomi.
5. Kontrol bisa secara langsung mengatur pemakaian sumber
daya ke sektor-sektor yang dianggap paling tepat.
6. Struktur kontrol mempengaruhi pengembangan jangka
panjang sistem ekonomi karena strukturitu mempengaruhi
nilai relatif investasi dan jenis-jenis proyek yang akan
diutamakan (Eggertsson, 2000: 501).

Ditinjau dari usianya, ilmu ekonomi institusional tersebut relatif baru, karena secara formal baru berdiri sejak tahun 1980, kendati perintisannya jauh dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Coase dalam The Nature of the Firm (1937), dan The Problem of Social Cost (1960), tentang biaya transaksi; Alchian dalam Some economics of property (1961) tentang hak cipta. Padatahun 1980-an inilah upaya-upaya pengembangan teori ekonomi umum yang baku tentang institusi memperoleh momentumnya. Penyempurnaan-penyempurnaan pendekatan standar dalam ilmu ekonomi telah berhasil dilakukan, bersamaan dengan munculnya ekonomi neo-institusdional yang mencakup berbagai hal penting yang semula tidak termasuk dalam endekatan konvensioanl. Beberapa modifikasi tersebut telah diterima sebagai bagian dari aliran utama ilmu ekonomi serta cabang-cabangnya seperti; studi organisasi industri seperti yang ditulis Milgram dan Roberts, 1992; dan ekonomi hukum yang ditulis Posner, 1992, (Eggerstsson, 2000: 503).
Ekonomi Matematik. Ilmu ’ekonomi matematik’ (mathematical
economics) mulai berkembang sejak tahun 1950-an. Sebelum terjadi formalisasi ekonomi matematika dan sebelum dikenal teknik-teknik canggih dalam analisis matematika ekonomi tersebut terutama bertumpu pada teknik-teknik analisis grafik dan presentasi. Memang pada tingkat tertentu sangat efektif, tetapi teknik- teknik tersebut juga dibatasi leh karakter dua dimensional dari selembar kertas. Selain itu juga, teknik-teknik grafik dapat mengemukakan asumsi-asumsi implisit yang signifikansinya mungkin tidak kentara atau sangat sulit dimengerti (Hughes, 2000: 630). Tetapi setelah tahun 1950-an, terutama yang ditandai oleh arus perpindahan ahli-ahli matematika menjadi akademisi ekonomi (seperti Kenneth Arrow, Gerard Debreu, Frank Hahn, Werner Hildenbrant), maka ilmu ekonomi matematik-pun menjadi berkembang dengan pesat sebagai suatu disiplin ilmiah.
Ditinjau dari substansinya dalam ekonomi matematik tersebut, mula-mula digunakannya teori ekuasi simultan (simultaneous equations) oleh Leon Walras, untuk membahas problem ekuilibrium dalam beberapa pasar yang saling berhubungan dengan dignakannya kalkulus oleh Edgeworth untuk menganalisis perilaku konsumen. Beberbagai permasalahan ini tetap berada pada inti ekonomi matematika modern, kendati teknik-teknik matematematika yang diterapkan telah berubah seluruhnya. Analisis ekuilibrium umum telah menjadi sangat bergantung pada perkembangan modern dalam tipologi dan analisis fungsional, sehingga pembagian bidang antara tipe ekonomi matematika yang cukup abstrak dengan matematika murni, hampir tidak jelas sama sekali. Kemudian substansi lainnya adalah teori perilaku konsumen atau produsen, individual mendapatkan manfaat dan kemajuan melalui teori program matematika dan teori analisis cembung atau covex analysis (Hughes, 2000: 631). Sebagai implikasinya hasil ari penerapan kalkulus digolongkan pada suatu teori umum yang didasarkan pada konsep fungsi
nilai maksimum/minimum, yaitu suatu fungsi laba maupun biaya untuk produsen.

Hal ini merupakan suatu fungsi kegunaan atau pembelanjaan tidak langsung bagi konsumen. Dengan demikian teori ini menggali hasil dualitas yang menandai berbagai masalah maksimalisasi dan minimalisasi yang saling berhubungan, yang dapat diberi nterpretasi ekonom langsung. Seperti halnya kumpulan ’harga-harga bayangan’ dengan berbagai hambatan yang membatasi berbagai berbagai pilihan yang layak. Pendekatan terhadap teori konsumen dan produsen tersebut mempunyai implikasi–implikasi empiris g penting dan dapat diuji (Hughes, 2000: 631).
Ekonomi Sumber Daya Alam; Ilmu ekonomi sumber daya alam (natural resource economics), merupakan bidang ekonomi yang mencakup kajian deskriptif dan normatif terhadap alokasi berbagai sumber daya alam (yaitu sumber daya yang tidak diciptakan melalui kegiatan manusia, melainkan disediakan oleh alam). Beberapa masalah penting dalam hal ini berkaitan dengan jumlah sumber tertentu yang bisa atau harus ditransformasikan dalam proses-proses ekonomi, dan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya antara generasi sekarang dan yang akan datang (Sweeney, 2000: 697).
Ekonomi Pertahanan. Ekonomi pertahanan (defence economic), merupakan studi tentang biaya-biya pertahanan yang mengkaji masalah pertahanan dan erdamaian dengan menggunakan analisis dan metode ekonomi yang meliputi kajian mikroekonomi dan makroekonomi seperti optimiasi statis dan dinamis, teori-teori pertumbuhan, distribusi, perbandingan data statistik dan ekonometrik (penggnaan statistika model ekonomi). Sedangkan pelaku-pelaku dalam studi ini antara lain, Menteri Pertahanan, birokrat, kontraktor pertahanan, anggota parlemen, bangsa-bangsa yang bersekutu, para gerilyawan, teroris dan pemberontak (Sandler, 2000: 208).
Bidang ini berkembang pesat setelah Perang Dunia II, yang topik-topiknya mencakup; perlombaan senjata, studi aliansi dan pembagian beban, kesejahteraan, penjualan senjata, kebijakan pembelian senjata, pertahanan dan pembangunan, industri senjata, persetujuan embatasan senjata, dampak ekonomis dari suatu erjanjian, evaluasi usulan perlucutan senjata, pengalihan industri pertahanan, dan sebagainya. Ketka terjadi Perang Dingin Blok barat dan Timur, pehatian ekonomi pertahanan umumnya tertuju pada masalah-masalah beban pertahanan dan dampaknya terhadap pertumbhan ekonomi. Sedangkan pada pasca Perang Dingin, para ekonom pertahanan memusatkan perhatian pada konversi perindustrian militer, aspek sumber daya persenjataan, biaya pemeliharaan pasukan penjaga perdamaian, dan pengukuran keuntungan perdamaian (Sandler, 2000: 209).

B. Metode Ilmu Ekonomi
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa ilmu ekonomi secara sedehana merupakan uapaya manusia untuk pemenuhan kebutuhannya yang bersifat tak terbatas dengan alat pemenuhan kebutuhan berupa barang dan jasa yang bersifat langka serta mempunyai kegunaan altrnatif. Untuk dalam cara pemenuhan kebutuhan itulah berkaitan dengan metode-metode dalam ilmu ekonomi tersebut.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam ilmu ekonmi, menurut
Chaurmain dan Prihatin (1994: 14-16) meliputi:
1. Metode Induktif; yaitu metode di mana suatu keputusan dilakukan dengan
mengumpulkan semua data iformasi yang ada di dalam realitas kehidupan.
Realita tersebut dalam setiap unsur kehidupan yang dialami individu,
keluarga, masyarakat local dan sebagainya mencoba dicari jalan pemecahan
sehingga upaya pemenuhan kebutuhannya tersebut dapat dikaji secara
secermat mungkin. Sebagai contoh upaya menghasilkan dan menyalurkan
sumber daya ekonomi. Upaya tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga
sampai diperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang dapat tersedia pada
jumlah, harga, dan waktu yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan yang dalam
ilmu ekonomi berfungsi sebagai cara ataupun metode untuk menyusun daftar
kebutuhan terhadap sejumlah barang dan jasa yang diperlukan masyarakat.
2. Metode Deduktif; adalah suatu metode ilmu ekonomi yang bekerja atas dasar
hukum, ketentuan atau prinsip umum yang sudah diuji kebenarannya. Dengan
metode ini ilmu ekonomi mencoba menetapkan cara pemecahan masalah,
sesuai dengan acuan, prinsip, hukum dan ketentuan yang ada dalam ilmu
ekonomi. Misalnya, dalam ilmu ekonomi terdapat hukum yang
mengemukakan bahwa “jika persediaan barang-barang dan jasa berkurang
dalam masyarakat, sementara permintaannya tetap, maka maka barang-barang
dan jasa-jasa akan naik harganya”. Bertolak dari hukum ekonomi tersebut,
para ahli ekonomi secara deduktif sudah dapat menentukan bahwa harus
dijaga agar pesrsediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tersebut
selalu dapat mencukupi dalam kuantitas dan kualitasnya. Boulding (1955: 12)
menyebutnya sebagai metode eksperimen intelektual (the method of
intellectual experiment).
3. Metode Matematika; adalah metode yang digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah ekonomi dengan cara pemecahan soal-soal secara
matematis. Hal ini maksudnya bahwa dalam matematika terdapat kebiasaan-
kebiasaan yang dimulai dengan pembahasan dalil-dalil. Melaui pembahasan
dalil-dalil tersebut dapat dipastikan bahwa kajiannya itu dapat diterima
secara umum.
4. Metode Statistika; adalah suatu metode pemecahan masalah ekonomi dengan
cara-cara pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, penafsiran data,
dan penyajian data dalam bentuk angka-angka secara statistik. Dari angka-
angka yang yang disajikan, kemudian dapat diketahui permasalahan yang
sesungguhnya untuk kemudian dicarikan cara pemecahannya. Sebagai contoh,
pembahasan mengenai masalah pengangguran. Dalam hal ini bisa terlebih
dahulu diidentifikasi unsur-unsur yang berkaitan dengan pengangguran,
misalnya; data-data perusahaan, data-data tenaga kerja yang yang
terdidik/kurang terdidik, jenis dan jumlah lapangan kerja yang trsedia,
jumlah dan tingkat upah yang ditawarkan perusahaan, temapat perusahaan
beroperasi, maupun rata-ratempat tinggal para calon pekerja. Dari data yag
tekumpul tersebut, seorang ahli ekonomi akan dapat menyusun
pengolahan/analisis dan penafsiran data secara statistik yang berhubungan
dengan pemecahan masalah pengangguran tersebut. Dari angka-angka statistik
tersebut kemudian ia dapat menentukan cara-cara yang tepat untuk membantu
mengatasi masalahmasalah pengangguran secara akurat berdasarkan tafsiran
peneliti terhadap angka-angka yang disajian secara statistik.

C. Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Ekonomi
Menurut Irving Kristol, ilmu ekonomi sebagai sebuah disiplin akademis, dalam perjalanan sejarah, muncul pada abad ke-17 dan 18 sebagai suatu aspek “revolusi” filosofis yang menciptakan dunia “modern” (Kristol, 1981: 203).
Dalam hal ini “manusia ekonomi” yang diciptakan ilmu ekonomi tampil sebagai manusia yang ingin mencapai kepuasan yang tertinggi. Jika ditelusuri lebih jauh kisah, konsep “manusia ekonomi” itu dapat ditelusuri dalam falsafah Psikologi Asosiatif khususnya “hedonisme” serta falsafah “utilitarianisme” yang banyak merambah pengikutnya sejak abad 18 dan 19. Dan kalau ingin ditelusuri lebih jauh lagi “hedonisme” sudah ada sejak zaman Yunani kuno, salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Epikurus (341-271 s.M.) Paham ini berpendapat bahwa kepuasan merupakan satu-satunya alasan dalam tindak susila. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph Schumpeter (1954) menulis sebagai berikut:
Buku ini akan memaparkan perkembangan dan nasib baik
analisis ilmiah di bidang ilmu ekonomi, mulai dari zaman
Greaco-Roman hingga sekarang, dalam suatu kerangka sosial
dan politik yang memadai dengan tetap memberi perhatian pada
perkembangan-perkembangan di berbagai bidang ilmu sosial
lainnya dan juga filsafat.

Sedikit sekali para ekonom kontemporer yang mau melacak ilmunya dari peradaban Greaco-Roman (Yunani-Romawi) dan tidak banyak pula yang menonjolkan keeratan hubungan antara ilmu ekonomi dengan ilmu-ilmu lainnya seperti dengan sejarah maupun filsafat (Bills, 2002: 273). Namun dengan menyediakan tulisan 200 halaman, Schumpeter sengaja melacak hal itu sebelum Adam Smith tahun 1776 menulis The Wealth of Nations, yang menandai munculnya ilmu ekonomi yang sepenuhnya berdiri sendiri (Bill, 2002: 273).
Pertama, ide-de yang berkembang pada jaman Renaissance yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam yang berdaulat. Gagasan ini membebaskan para analis ekonomi untuk menerapkan metode-metode rasional dan reduksionis guna mengikis anggapan-anggapan ekonomi yang tidak didasarkan pada fakta atau kajian ilmiah (misalnya, anggapan orang hanya bisa disebut kaya jika ia punya anyak emas).
Kedua, ilmu ekonomi terbebaskan dari ikatan moral, namun tidak lantas menjadi sosok negara yang penuh kekuasaan yang politik ekonominya amoral seperti yang diperkirakan para merkantilis dan teoretisi lainnya, yang di mata Adam Smith dan kawan-kawan tidak realistis. Ilmu ekonomi sekedar lebih “dingin” dalam menanggapi soal-soal moral, dan membuka diri terhadap kajian kritis.
Ketiga, tujuan analisis ekonomi meluas, bukan sekedar pada pemilihan kebijakan dagang demi memperbesar kekuatan negara, melainkan juga menyangkut kehidupan dan kesejahteraan sehari-hari. Perkembangan individualisme libelar di abad 17 dan 18 menggarisbawahi pergeseran itu. Mulai banyak analisis yang dicurahkan pada pengerjaan kesejahteraan individu yang telah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, dan tidak lagi dianggap sebagai wujud keserakahan (Bliss, 2000: 273).
Pernyataan yang terakhir inilah nampak adanya titik temu dua aliran besar, yakni aliran yang menghendaki kiprah aktif negara, dan aliran laissez faire. Kedua-duanya sama-sama menganggap penting peran negara/pemerintah dalam perekonomian. Hanya saja mereka masih berbeda pendapat secara mendasar tentang sejauh mana peran itu dilakukan? Kebijakan menjadi topik kajian yang sangat diminati, dan sampai sekarang aneka model dan rumusannya terus dikembangkan demi memudahkan berlangsungnya perumusan kebijakan ekonomi yang sebaik-baiknya.
Ilmu ekonomi sendiri terus bergulat dengan persoalan-persoalan epistemologi dan aksiologinya. Ilmu ekonomi memang bukan ilmu pasti seperti fisika, biologi, maupun kimia yang serba eksak. Ilmu ekonomi memiliki model- model data dan asumsi-asumsinya sendiri yang bersifat menyederhanakan atau simplistik. Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai, tentang apa yang dianggap baik atau buruk. Padahal ilmu pada umumnya bebas nilai (bukan dalam penegrtian acak, namun bebas dari penilaian si ilmuwan).
Secara umum, asumsi kedaulatan selera individu tidak dipersoalkan oleh para ekonom. Sejak Vilfredo Pareto sampai sekarang, dukungan bagi pengajaran kepentingan individu merupakan inti ekonomi kesejahteraan. Namun Hicks (1969) menentang pandangan itu dengan mengungkapkan adanya tiga kelemahan dalam evaluasinya. Hal ini didukung oleh Arrow (1973) yang secara meyakinkan dapat menunjukkan melui sebuah fungsi kesejahteraan yang diderivasikan dari preferensi individu bahwa prinsip kedaulatan konsumen akan memunculkan pemaksaan atau kediktatoran satu individu kepada individu lainnya. Meskipun rumusan Arrow itu controversial (lihat misalnya Sen, 1979), namun pendapatnya telah mengubah keyakinan mutlak tentang kedaulatan konsumen yang semula diagungkan.
Memang sejumlah ekonom lebih suka menanggalkan sikap netral dan melacak implikasi dari suatu kebijakan berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri, meskipun ekonom lain mempertahankannya. Hal ini antara lain terwujud berupa teori kebijakan keuangan publik yang mementingkan kepentingan umum; misalnya mereka menegaskan bahwa pajak rata-rata (lump taxation) adalah yang paling baik karena tagihan yang dibebankannya terhadap setiap wajib pajak relatif paling kecil, meskipun distribusinya tidak merata (pajak yang dibayarkan oleh orang kaya dan miskin tidak banyak berbeda (Atkinson dan Stiglitz, 1980).
Perdebatan ini tidaklah berarti bahwa ilmu ekonomi sejak awal sudah demikian sarat dengan nilai. Usulan pajak rata-rata itu lebih bertolak dari sikap yang tidak terlalu mementingkan kaitan antara efisiensi dan distribusi pungutan pajak, serta sikap itu sendiri diwarnai oleh angan-angan akan adanya lembaga- lembaga ekonomi yang sempurna dan mampu menjangkau batas kemungkinan kepuasan (utility possibility frontier) melui kebijakan tertentu. Ilmu ekonomi modern berusaha mencapai “kompatibilitas intensif” atau pengutamaan disain dan fungsi lembaga-lembaga ekonomi, termasuk perpajakan, di mana setiap individu dimudahkan oleh negara dalam mengejar kepentingannya (Fudenberg dan Tirole, 1991).
Dalam ekonomi modern, disain kebijakannya jauh lebih rumit dan
canggih, dan begitu juga asumsi pembatasannya lebih banyak daripada perekonomian pada abad sebelumnya khususnya aabad ke-18. Bentuk dan sejauh mana peran negara dalam ekonomi dimodelkan dalam konteks disain sistem perpajakan dan regulasi. Harus diakui bahwa kajian tentang desain kebijakan ini kian lama kian lengkap.
Lalu seberapa jauh keberhasilan ilmu ekonomi di akhir abad 20 atau awal 21? Ditinjau sekilas secara ekologis, ilmu ekonomi memang cukup berhasil. Ia mampu mereproduksi diri secara efisien. Namun kemampuannya dalam memecahkan masalah masih perlu dipertanyakan. Bahkan sejak pertengahan tahun 1970-an, para ekonom sering mempertanyakan relevansi ilmu mereka dengan kebijakan, khususnya dalam ekonomi makro yang teori-teorinya masih jauf dari efektif, meskipun mereka sendiri ⎯ termasuk Adam Smith dahulu ⎯ menyadari bahwa teori tidak akan dapat memperbaiki kondisi pasar. Betapa-pun, ilmu ekonomi akan tetap mmenarik karena dapat menawarkan perspektif guna memahami apa yang terjadi di pasar.
Hampir setiap kekeliruan kebijakan selalu ditimpakan pada pemikiran intelektual yang melandasinya. Hal ini tidak selalu benar, karena ada kalanya kegagaln kebijakan disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi ataupun yang lain. Sebaliknya kegagalan ekonomi bisa ikut menyebabkan hancurnya suatu sistem negara seperti yang dialami sistem komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur lainnya. Namun tentu saja pasar atau ekonomi dan langkah-langkah pembinaannya (misalnya liberalisasi) bukan satu-satunya solusi. Hal ini terbukti dengan gagalnya serangkaian reformasi ekonomi di bekas negara-negara komunis Eropa Timur itu. Kondisi ekonomi di setiap masyarakat terbukti tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan presumsi sejarahnya (Bliss, 2000: 277).


D. Mazhab-mazhab dalam Ekonomi
Ilmu ekonomi mengenal berbagai mazhab, menurut Sastradipoera (2001: 12-82) terdapat delapan mazhab ilmu ekonomi, yaitu mazhab:(1) merkantilis; (2) fisiokrat; (3) klasik; (4) sosialis; (5) hitoris; (6) marjinalis; (7) institusionalis; (8) kesejahteraan.
Mazhab merkantilisme muncul antara Abad Pertengahan dengan kejayaan Laissez-Faire (1500-1776 atau 1800). Menurut Eatwell (1987: 445), merkantilisme merupakan babak panjang pertalian sederhana dalam sejarah pemikiran ekonomi Eropa da kebijaksanaan ekonomi nasional, yang membentang sekitar tahun 1500 sampai tahun 1800. Adanya ‘penemuan-penemuan’ daerah baru yang luas memiliki implikasi bahwa institusi ‘gilda’ tidak memadai lagi, bahkan dianggap sebagai penghambat berkembangnya perdagangan antar negara waktu iru. Akibatnya, mereka melakukan perdagangan dengan berbagai negara hasil temuan mereka, dan semua ini menimbulkan persaingan dagang yang makin menajam antar bangsa penjelajah. Para ‘kapitalis pedagang’ (marchant capitalists) memegang peranan penting dalam dunia bisnis. Emas, rempah- rempah, perak yang memberikan kemudahan bagi pesatnya perdagangan dan mendorong tumbuhnya teori menenai logam mulia (Sastradipoera, 2001: 14).
Pada masa tersebut peran tokoh Thomas Mun (1571-1641) saudagar kaya raya dari Inggris dan Jean Baptist Colbert (1619-1683) adalah seorang menteri utama ekonomi dan keuangan dari Prancis pada zaman raja Louis XIV, meupakan dua tokoh penting yang mewakili kaum ‘skolar’ dan saudagar pada waktu itu, sehingga ekonomi merkalitisme ini sering disebut ‘Colbertisme’.
Inti ajaran/mazhab ini bahwa; Pertama, emas dan perak khususnya merupakan bentuk kekayaan yang paling banyak disukai, oleh karena itu merka melarang ekspor logam mulia. Kedua, negara harus mendorong ekspor dan memupuk kekayaan dengan merugikan negara lainnya (tetangga). Ketiga, dalam kebijaksanaan ekspor-impor, berkeyakinan bahwa perkembangan harus dapat diraih dan dikelola dengan jalan meraih surplus sebesar-besarnya dari penerimaan ekspor barang yang melebihi belanja untuk impor barang. Keempat, kolonisasi dan monopolisasi perdagangan harus benar-benar dapat dilaksanakan secara ketat untuk memelihara keabadian kaum koloni tunduk dan tergantung kepada negara induk. Kelima, penentangan atas bea, pajak, dan restriksi intern terhadap mobilitas barang, Keenam, harus dibangun pemerintah pusat yang kuat, guna menjamin kebijaksanaan merkantilisme tersebut, dan. Ketujuh, pentingnya pertumbuhan penduduk yang tinggi namun disertai dengan sumberdaya manusia yang tinggi pula untuk memenuhi kepentingan pemasokan kepentingan militer serta pengelolaan merkentilisme yang kuat pula (Sastradipoera, 2001: 12-18).
Mazhab Fisiokrat, muncul pertama kali di Prancis menjelang berakhirnya zaman merkantilis yang diawali tahun 1756. Isitah ”fisiokrat” berasal dari bahasa Yunani, dari kata ”physia” berarti alam, dan ”kratos” berarti kekuasaan. Secara harfiah beararti ”supremasi alam”. Tokohnya adalah Frncois Quesnay (1654- 1774), seorang dokter ilmu bedah Prancis yang pernah menjadi dokter pribadi Raja Louis XV, juga dokter kepercayaan selir raja, Madame de Pompadour. Di samping profesinya sebagai dokter, ia seorang ahli ekonomi yang menulis artikelnya ”ilmu ekonomi” dalam Grande Encyclopedie. Quesnay mengecam kebijaksanaan ekonomi Colbert, dengan mengatakan bawa seorang menteri tidaklah pantas mengeluarkan kebijaksanaan hanya didorong oleh kecemburuan terhadap keberhasilan perdagangan Belanda dan keindahan industri barang-barang mewah. Hal ini hanya akan menjebloskan negara Prancis dalam kebodohan yang amat dalam, di mana rakyat hanya bisa bicara mengenai ”dagang” dan ”uang”. Semuanya ini tidak lain hanya karena ulah Colbert yang telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat Prancis.
Inti ajaran fisiokrat ini pada hakikatnya berlandaskan hukum alam. Sebagaimana Isaac Newton (1643-1727) yang telah menemukan hukum dunia fisik, maka Quesnay percaya bahwa seluruh kegiatan manusia harus dibawa ke ke dalam harmoni dengan hukum alam. Intinya, pertama , Semboyan laissez-faire, laissez-passer yang berasal dari Vincent de Gournay (1712-1759) yang arti konotatifnya ”biarkan orang berbuat seperti yang mereka sukai tanpa campur- tangan pemerintah” mengisaratkan betapa pemerintah harus membatasi diri dalam intervensinya dalam perekonomian jelas bertentangan dengan kaum merkantilis, maupun feodalis. Kedua, tekanan pada sektor pertanian yang produktif yang memungkinkan terjadinya surplus atau produk neto di atas nilai sumber daya yang digunakan. Ketiga, pemilik tanah harus dibebani pajak yaitu dalam bentuk satu macam pajak Sekalipun perekonomian Prancis tidak menjadi lebih baik, namun fisiokrat telah memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan ilmu ekonomi, terutama dalam semboyan laissez-faire, fisiokrat mengubah perhatian para ekonom kepada masalah peranan pemerintah dalam perekonomian yang didasarkan pada persaingan bebas dan kebebasan memilih serta membuat
keputusan (Sastradipoera, 2001: 21-27)..
Mazhab Klasik; mazhab ini secara umum mengacu kepada sekumpulan gagasan ekonomi yang bersumber dari formulasi David Hume, yang karya terpentingnya diterbitkan pada tahun 1752 dan munculnya seorang ekonom besar yang pernah menjadi Guru Besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow, Adam Smith dengan karyanya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of Nations tahun 1776 sampai Ricardo, McCulloch John.Stuart. Mill, dan Lord Overstone (1837). Gagasan-gagasan kedua tokoh tersebut mendominasi ilmu ekonomi, khususnya yang mekar di Inggeris, selama seperempat terakhir abad 18 dan tigaperempat pertama abad 19 (O’Brien, 2000: 120).
Inti mazhab klasik tersebut pada hakikatnya terletak pada gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi berlangsung melalui interaksi antara akumulasi modal dan pembagian kerja. Akumulasi modal dapat dilakukan dengan menunda atau mengurangi penjualan out-put dan hal ini baru akan bermanfaat jika dibarengi pengembangan spesialisasi dan pembagian kerja. Pembagian kerja iu sendiri nantinya akan dapat meningkatkan total out-put sehingga memudahkan dilakukannya akumulasi modal lebih lanjut. Jadi jelaslah bahwa antara kedua hal tersebut terdapat hubungan timbal-balik yang sangat penting. Pertumbuhan ekonomi hanya dapat ditingkatkan jika modal bisa ditambah, dan atau jika alokasi sumber daya (pembagian kerja) dapat disempurnakan. Namun pembagian kerja itu sendiri dibatasi oleh ukuran atau skala pasar, yang pada gilirannya ditentukan oleh jumlah penduduk dan pendapatan perkapita yang ada. Tatkala modal terakumulasi, tenaga kerja akan kian dibutuhkan sehingga tingkat upah-pun meningkat untuk memenuhi kebutuhan ”subsisten” baik secara psikologis maupun fisiologis (O’Brien, 2000: 121). Ilmu ekonomi klasik tersebut merupakan prestasi intelektual yang mengesankan. Landasan-landasan teoretis yang dikembangkannya menjadi pijakan bagi teori-teori perdagangan dan moneter sampai sekarang ini.
Mazhab Sosialisme. Dalam mazhab sosialisme ini sistem pemilikan dan pelaksanaan kolektif atas faktor-faktor produksi (khususnya barang-barang modal), biasanya oleh pemerintah. Ide-ide sosialis dan gerakan politik mulai berkembang pada awal abad ke-19 di Inggeris dan Prancis. Periode antara tahun 1820-an sampai 1850-an ditandai dengan pletoria beragam sistem sosialis yang diusulkan oleh Saint-Simon, Fourier, Owen, Blanc, Proudhon, Marx dan Engels, serta banyak lagi pemikir sosialis lainnya. Kebanyakan sistem/mazhab ini bersifat utopia dan sebagian besar pendukungnya adalah para ’filantropis’ (cinta kasih sesama umat manusia) kelas menengah yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kehidupan para pekerja/burh serta kaum miskin lainnya. Selain itu kebanyakan penganut sosialis mendambakan masyarakat yang lebih terorganisir yang akan menggantikan anarki akibat dari pasar dan kemiskinan masal masyarakat perkotaan (Hirst, 2000: 1012).
Inti ajaran atau mazhab sosialis sebenarnya sulit dijelaskan karena luasnya cakupan sosialisme (sosialisme utopis, sosialisme ilmiah, sosialisme negara, sosialisme anarkis, sosialisme revisionis, sosialisme serikat sekerja, dan sebagainya).
Mereka yang membela sosialisme acapkali berbeda mengenai
jenis sosialisme yang mereka cari. Hanya dalam beberapa hal
mereka mempunyai kesamaan, selebihnya berbeda bahkan
bertentangan. Ada yang menghendaki hapusnya pemerintah,
sementara yang lainnya ingin mempertahankan agar dapat
melindungi kepentingan bruh; ada pula yang menganggap semua
lambang kapitalisme harus dilenyapkan, termasuk mekanisme
pasar, harga, dan invisible hand, sedangkan yang lainnya
menganggap mekanisme pasar dan harga masih diperlukan dalam
saat-saat awal soialisme disebabkan sulitnya mengukur efisiensi
ketika dewan perencanaan pusat menyusun prioritas
(Sastradipoera, 2001: 40).
.
Sedangkan mazhab historis, yang lahir di Jerman tahun 1840-an melalui karya ilmiah yang ditulis oleh Friederich List (1789-1846) dalam Nationales System der politischen Oekonomie (1840), dan Wilhelm Roscher (1817-1894) dalam Grundriss zu Vorlesungen ueber die Staatswissenchaft nach geschichtilicher Methode (1843), menyerang mazhab klasik Inggeris. Mereka beranggapan bahwa konsep-konsep ekonomi sesungguhnya merupakan produk perkembangan menurut sejarah kehidupan ekonomi yang khusus tumbuh di sautu negara. Oleh karena itu hukum-hukum ekonomi tidaklah mutlak, tetapi bersifat relatif atau nisbi berhubungan dengan perkembangan sosial menurut dimensi waktu dan tempat.
Kemudia mazhab marjinalis. Mazhab ini pelopornya adalah Karl Menger (1840-1921) dari Jerman dalam karyanaya Grundsaetze der Volkswirtschaftlehre (1871). Selanjutnya seorang ekonom Inggeris William Staley Jevons (1835-1882) dalam karyanya Theory of Political Economy (1871), dan seorang Prancis Leon Walras (1834-1910) dalam karyanya Elements d’economie politique pure (1874).
Mereka memberikan analisis yang telak mengenai hubungan antara kebutuhan dan harga dengan mengacu kepada konsep ”guna marjinal”. Mereka menegaskan bahwa dalam hal seseorang individu, setiap tambahan suatu barang yang dilakukan secara berturut-turut akan memperkecil nilai obyektif setiap tambahan yang dimiliki oleh individu itu. Oleh karena itu gagasan yang tidak sistematik mengenai nilai pakai dan permintaan serta penawaran sebagai penentu nilai tukar barang (yang dikembangkan bersamaan dan bertentangan dengan teori Klasik), menemukan penanganansistematik pada awal tahun 1970-an oleh ketiga penulis di atas (Sastradipoera, 2001: 62).
Mazhab institusionalis, datang dari Amerika Serikat tahun 1900-an yang pengaruhnya masih kuat sampai sekarang ini, contohnya adanya undang-undang anti-trust yang masih dipertahankan. Tokohnya adalah Thorstein Veblen (1857- 1929) dalam karyanya The Theory of the Leisure Class pada tahun 1899. Veblen dikenal sebagai seorang kritikus sosial yang bersemangat serta menyerang organisasi masyarakat industri kontemporer yang dianggapnya boros, dan mengalahkan sikap konsumtif yang menyolok mata. Selanjutnya ia mengamati sudut-sudut yang merugikan yang berasal dari gejala yang dihadapinya; ”milik guntay” (abstentee ownertship) yang merupakan ciri utama kapitalisme finansial.
Berasal dari ”milik guntay” maka muncullah suatu lapisan masyarakat yang dianggap oleh Veblen sebagai ”kelas santai” (lesure class), adalah suatu kelas pada masyarakat lapisan atas yang berasal dari dunia industri dan keuangan yang perilkunya menampakkan fenomena kaum ”feodal tanggung” dengan mempertontonkan pola konsumsi yang berlebihan serta mencolok mata (Sastradipoera, 2001: 72).
Mazhab neo kalsik; merujuk pada versi terbaru dari ekonomi klasik yang dimunculkan pada abad 19 terutama oleh Alfred Marshal dan Leon Walras. Versi- versi yang terkenal itu dikembangkan pada abad ke-20 oleh John Hicks (1946[1939]) dan Paul samuelson (1965[1947]). Lepas dari pengertian neo klasik umumnya, perbedaan ekonomi ne klasik dan klasik hanya terletak pada penekanan dan pusat perhatiannya. Jika ekonomi klasik menjelaskan segala kondisi ekonomi dalam kerangka kekuatan-kekuatan misterius ”invisiblehand” (tangan-tangan tak terlihat), maka dalam mazhab ekonomi neo klasik mencoba memberi penjelasan lengkap dengan memfokuskan pada mekanisme-mekanisme aktual yang menyebabkan terjadinya kondisi ekonomi tersebut (Boland, 2000: 700).
Selanjutnya adalah mazhab Keynesian; Mazhab ini sesuai dengan
namanya dipimpin oleh John Maynard Keynes, yang merupakan ekonomi agregat (makro) yang dituangkan dalam bukunya General Theory of Employment, Interest and Money (1936), dan dari karya-karya pengikut Keyneu yang lebih kontemporer seperti Sir Roy Harrold, Lord Kaldor, Lord Kahn, Joan Robinson dan Michael Kalecki, yang meluaskan analisis Keynes terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertanyaan mengenai distribusi fungsional pendapatan (functional distribution of income) antara upah dan laba yang oleh Keynes sendiri dibaikan (Thirwall, 2000: 531). Dua pilar utama dari teori employment klasik adalah bahwa tabungan dan investasi menghasilkan ekuilibrium pada tingkat full employment melalui tingkat suku bunga, dan bahwa penawaran serta permintaan tenaga kerja menghasilkan ekuilibrium melalui berbagai variasi upah riil. General Theory Keynes ditulis sebagai reaksi terhadap paham klasik tersebut. Perdebatan mengenai masalah ini sampai sekarang masih berlangsung.
Mazhab Chicago, merupakan aliran kontrarevolusi neoklasik yang menentang institusionalisme dalam metodologi ilmu ekonomi, makroekonomi ala Keyney maupun terhadap liberalisme abad 20 yang menonjolkan intervensionisme dan penonjolan kebijakan ekonomi oleh pemerintah (Bronfendbrenner, 2000: 103). Sesuai dengan namanya, aliran ini berkembang di Universitas Chicago sejak dekade 1930-an. Tokoh utamanya tahun 1950-an adalah Frank H. Knight untuk soal teori dan metodologinya, serta Henry C.Simons dalam rumusan kebijakan ekonomi.Kemudian pada generasi berikutnya tokoh yang menonjol adalah Milton Friedman, George Stigler dan Gary Becker.
Jika dilihat dari sudut sejarahnya pemikiran ekonomi mazhab Chicago ini
sebenarnya adalah suatu varian Neoklasisme dan mengacu kepada ”Klasisisme
Baru (New Classicism), di mana;
Pertama, pasar dianggap sebagai mekanisme utama dalam
menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, asalkan didukung
kebebasan politik intelektual; para ekonom aliran Chicago
melihat perekonomian sebagai suatu kondisi perlu, namun bukan
kondisi cukup untuk menciptakan masyarakat bebas; Kedua;
pengelolaan administratif dan intervensi kebijakan ekonomi yang
bersifat ad hoc, hanya akan merusak situasi ekonomi; dalam soal
kebijakan moneter dan fiskal, aliran ini menekankan pentingnya
kesinambungan. Ketiga; monetarisme dianggap lebih baik
ketimbang fiskalisme dalam regulasi makroekonomi. Keempat;
kebijakan fiskal diyakini sebagai wahana yang tepat untuk
mengentaskan kemiskinan, namun redistribusi pendapatan bagi
kalangan di atas garis kemiskinan justru akan lebih banyak
meninmbulkan kerugian.




E. Konsep-konsep Ilmu Ekonomi
Beberapa konsep dalam ilmu ekonomi, seperti; (1) skarsitas, (2) produksi, (3) konsumsi, (4) investasi, (5) pasar, (6) uang, (7) letter of credit (LC), (8) neraca pembayaran, (9) bank atau perbankan, (10) koperasi, (11) kebutuhan dasar, (12) kewiusahaan, (13) perpajakan (14) periklanan (15) perseroan terbatas, (16) laba (17) Kurs atau nilai tukar.

1. Skarsitas
“Skarsitas” atau “kelangkaan” adalah sebuah prinsip bahwa sebagian besar barang yang diinginkan orang hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas (kecuali seperti barang bebas seperti udara). Dengan demikian barang umumnya dalam keadaan langka dan harus dijatah, baik melaui mekanisme harga maupun cara lainnya (Samuelson dan Nordhaus, 1990: 535).
Dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial lainnya, kelangkaan juga melahirkan teori stratifikasi sosial dalam sejarah perkembangan manusia. Teori skarsitas (kelangkaan) merupakan devisi pemikiran Michael Harner (1970), Morton Fried (1967) dan Rae Lesser Blumberg (1978). Teori ini beranggapan bahwa penyebab utama timbul dan semakin intens-nya stratifikasi sosial disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk. Tekanan jumlah penduduk tersebut sangat berpengaruh terhadap sumber daya yang menyebabkan masyarakat baik pemburu dan peramu pola subsistensi pertanian. Pertanian akhirnya menggantikan pola subsistensi pemburu dan peramu. Sebut saja “komunisme primitif” dalam masyarakat pemburu dan peramu merupakan cikal bakal pemilikan tanah oleh keluarga besa, namun pemilikan masih bersifat komunal daripada pribadi.
Makin meningkatnya tekanan jumlah penduduk, mengakibatkan masyarakat holtikultura makin memperhatikan pemilikan tanah serta makin kokohnya jiwa “egoisme” pribadi sehingga menghilangkan apa yang disebut sebagai “pemilikan bersama”.Di samping itu perbedaan akses terhadap sumber daya muncul, dari suatu individu maupun kelompok muncul memaksa individu maupun kelompok lainnya yang memaksa bekerja lebih keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan sampai terbentuknya kelompok yang bersenang-senang atau leisure class (Sanderson, 1995: 161). Dengan demikian dalam teori kelangkaan tersebut tertanam kebiasaan persaingan maupun konflik materialistic.



2. Produksi
“Produksi” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas “produksi” dalah segala usaha untuk menambah atau mempertinggi nilai atau faedah dari sesuatu barang. Sedangkan dalam arti sempit “produksi” adalah segala usaha dan aktivitas untuk menciptakan suatu barang atau mengubah bentuk suatu barang menjadi barang lain (Abdullah, 1992: 4; 38).
Misalkan seorang petani berusaha untuk menghasilkan padi atau beras melalui usaha bertani, hal ini dapat diklasifikasikan “produksi” dalam pengertian sempit. Jika jumlah padi atau beras yang dihasilkan di tempat petani tersebut berlimpah bila disbandingkan dengan keperluan konsumsinya, maka beras atau padi tersebut nilai atau faedahnya akan rendah. Dalam hal ini kemudian para pedagang berusaha membawa limpahan beras tersebut ke tempat baru yang memiliki nilai faedah yang lebih tinggi. Untuk aktivitas yang terakhir ini dapat digolongkan “produksi” dalam arti luas.
Suatu aktivitas “produksi” tidak akan berjalan tanpa melalui “proses produksi”. Sebab sesuatu produksi tidaklah terjadi dengan tibab-tiba, melainkan melalui tahapan suatu proses yang cukup panjang. Proses produksi adalah suatu proses atau kegiatan untuk memperoleh alat-alat pemuas kebutuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi tujuan pokok dari produksi adalah untuk konsumsi. Bila jarak produsn dengan konsumen berjauhan maka diperlukan adanya usaha-usaha untuk meyampaikannya kepada konsumen. Usaha-usaha untuk nenyampaikan barang-barang dari produsen ke konsumen tersebut dinamakan proses “distribusi” (Abdullah, 1992: 4; 38).
Terdapat empat macam faktor produksi, yakni (1) alam; (2) tenaga kerja; (3) modal; (4) skill atau keterampilan. Faktor alam, mencakup; tanah dan keadaan ilklim, kekayaan hutan, kekayaan kandungan tanah (mineral), kekayaan air sebagai sumber penggerak trannsportasi maupun sumber pengairan dalam pertanian. Faktor produksi tenaga kerja adalah peranan manusia dalam proses produksi. Faktor produksi modal, adalah adalah semua barang yang dihasilkan dan dipergunakan dalam produksi untuk masa depan. Barang-barang tersebut kadang-kadang disebut sebagai barang-barang produksi dan kadang-kadang disebut investasi maupun barang modal, sepert mesin-mesin, gedung-gedung, dan instalasi pabrik. Sedangkan faktor produksi skill atau keterampilan merupakan beberapa jenis kecakapan atau keterampilan khusus yang diperlukan dalam proses produksi ekonomi. Adapun cakupan skills yang dimaaksud meliputi managerial skills, technological skills, dan organizational skills (Abdullah, 1992: 41).
3. Konsumsi
Secara sederhana pengertian “konsumsi’ adalah segala tindakan manusia yang dapat menimbulkan turunnya atau hilangnya “faedah atau guna” sesuatu barang. Pengertian tersebut dapat dibandingkan dengan Samuelson dan Nordhaus (1990: 161) bahwa “konsumsi” adalah sebagai pengeluaran untuk barang dan jasa seperti makanan, pakaian, mobil, pengobatan, dan perumahan Jadi pengertian tersebut jelas berbeda dengan pemahaman yang hidup di masyarakat bahwa pemahaman ‘konsumsi’ selalu inherent dengan ‘makanan’.
Seseorang konsumen akan bersedia membeli sesuatu barang, karena barang itu sangat berguna baginya. Begitu juga terhadap jasa, seseorang akan membayar suatu jasa karena jasa tersebut sangat berfaat baginya. Dari pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa seseorang akan bersikap berbeda-beda melihat penting tidaknya sesuatu barang ataupun jasa sesuai dengan keperluannya yang berbeda-beda pula. Menurut para ahli ekonomi yang mengembangkan pendekatan dengan fungsi kegunaan dalam permintaan konsumen ini berpendapat bahwa kegunaan sesuatu barang dapat diukur secara kardinal ⎯ yaitu dngan cara membandingkannya dengan tingkat kegunaan dari barang-barang yang lainnya (Abdullah, 1992: 35)
Dengan demikian pada umumnya setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap bermacam-macam barang adalah secara seimbang. Di sinilah sebagai manusia dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya orang dengan sadar atau tidak akan menggunakan prinsip ekonomi. Artinya ia akan berusaha untuk mencapai tingkat konsumsi yng paling menguntungkan baginya. Dengan demikian pula konsumen dalam melakukan konsumsinya bertujuan untuk mencapai kepuasan dan kegunaan setinggi-tingginya melalui pemikiran yang se rasional mungkin. Idealnya seorang konsumen akan mempertimbangkan; (1) jumlah pendapatannya, (2) daftar preferensi dari jenis barang yang akan dikonsumsi; (3) harga persatuan tipa jenis barang yang akan dikonsumsi; (4) jumlah tiap jenis barang yang akan dikonsumsi (Abdullah, 1992: 37).

4. Investasi
“Investasi” dapat diartikan sebagai perubahan stok modal dalam kurun waktu tertentu, bisanya satu tahun buku (Mullineux, 2000: 522). Makna “investasi” tersebut sering dikacaukan dengan investasi keuangan (financial investment) yang definisinya adalah pembelian aset-aset keuangan seperti saham dan obligasi yang nantinya akan akan dijual kembali begitu harganya meningkat, dan hal itu lebih terkait dengan analisis jasa. “Investasi” juga berbeda dari “investasi inventori”, yakni penyimpanan atau perubahan stok produk final, produk setengah jadi, atau bahan-bahan mentah.Begitu-pun barang-barang investasi modal (capital investment goods) berbeda dari barang konsumsi, karena hal itu dapat menghasilkan arus jasa selama periode tertentu, dan jasa itu tidak langsung memenuhi kebutuhan konsumen. Namun demikian sangat diperlukan untuk produksi barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
Kedua-duanya agak mirip, karena sebagian barang konsumen (yakni durable goods atau berbagai barang yang bisa dipakai berkali-kali / bisa dimanfaatkan dalam waktu lama) dapat juga dikategorikan sebagai barang investasi. Pembedaan investasi juga dapat juga dibedakan atas dasar lembaganya, ada dua yaitu yang dilakukan atas dasar investasi publik (dilakukan pemerintah), dan investasi yang dilakukan oleh badan-badan swasta. Selain itu investasi juga dapat dibedakan berdasarkan tempatnya yang terbagi atas dua macam, yaitu; ada investasi domestik dan ada pula investasi asing. Sedangkan pembedaan yang berdasarkan jenis barangnya, investasi dapat digolongkan menjadi dua pula yaitu investasi langsung (seperti pengadaan pabrik, peralatan, dan berbagai sarana produksi), dan investasi keuangan atau portofolio seperti; obligasi dan saham (Mullineux, 2000: 522)

5. Pasar
“Pasar” adalah sebuah mekanisme yang melaluinya para pembeli dan para penjual berinteraksi untuk menentukan harga dan melakukan pertukaran barang dan jasa (Samuelson dan Nordhaus: 2003; 29). Dengan demikian pasar pada hakikatnya juga merupakan keseluruhan permintaan dan penawaran barang serta jasa. Walaupun sepintas kelihatannya seperti sebuah kumpulan campur-baurnya penjual dan pembeli yang membingungkan dan merupakan mekanisme yang rumit, namun sistem ini merupakan suatu alat komunikasi untuk menyatukan pengetahuan dan tindakan-tindakan dari jutaan individu yang berbeda untuk proses pemenuhan kebutuhan.
Jika ditinjau dari macam atau jenisnya, pasar dapat dibedakan berdasarkan; Pertama; jika dilihat dari barang-barang yang diperjual-belikannya, dapat dibedakan antara pasar barang konsumsi dan pasar faktor produksi. Kedua, jika dilihat dari waktu terjadinya, dapat dibedakan antara pasar harian, pasar mingguan, dan bulanan. Sementara itu untuk pasar tahunan biasanya dikalsanakan dalam bentuk pekan raya. Ketiga, jika dilihat dari lingkup aktivitasnya; dapat dibedakan ada pasar local, nasional, maupun internasional. Keempat, jika dilihat dari strukturnya; dapat dibedakan antara pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, dan pasar persaingan monopolistik.

6. Uang
John Maynard Keynes (1883-1946) seorang ekonom neo-klasik dalam bukunya Treaties on Money (1930) mendefinisikan “money [is] that by delivery of which debt-contract and price-contracts are dis charged, and in the shape of which a store of General Purchasing Power is held”, yaitu uang adalah alat penyelesaian kontraktual, dan sebuah store of value, sebuah wahana purchasing power yang bergerak dalam lintasan waktu. Dengan demikian uang secara umum dilihat dari fungsinya dapat didefinisikan sebagai alat tukar (Komaruddin, 1991: 397-398). Uang juga berfungsi sebagai sebagai satuan ukuran (standard for valuing things) maupun memiliki fungsi turunan (seperti sebagai standard perincian utang atau standard deferred payments, dan sebagai alat penyimpan kekayaan).
Namun jdalam perkembangannya, uang juga merupakan alat untuk menjalankan kekuasaan ekonomi. Justru oleh karena uang memberikan hak kekuasaan abstrak atas dasar-dasar dan jasa-jasa, maka pada umumnya manusia ingin memiliki uang. Uang berarti kekuasaan; pada sebuah masyarakat yang erlandasakan dasar individualistic, uang menjadi alat kekuasaan dalam tangan emiliknya (Winardi, 1987: 35). Bahkan jauh sebelumnya seorang begawan
sosiolog yang dipengaruhi filsafat historisme Wilhelm Dilthey yakni Max Weber (1864-1920) dalam karyanya General Economic History (Knight. 1961), pernah mengemukakan bahwa “uang adalah ayahnya partikelir”. Uang akan menjadi cikal-bakal milik swasta, tentu saja setelah melewati proses pembentukan harga dan pembentukan kekuasaan.
Dalam keadaan ekstrim, terlihat suasana yang memprihatinkan “Uang yang semula hanya merupakan alat, berubah menjadi tujuan, dari benda yang harus mengabdi ia dapat berubah menjadi penguasa” (Winardi, 1987: 42). Ini adalah suatu gambaran yang menakutkan akan fenomena “pemujaan uang”. Apakah pasti semuanya berdampak negatif tentang uang? Ternyata tidak selalu begitu, sebab uang juga memiliki “sifat sosial ⎯ ekonomi”. Karena melalui uang yang merupakan bagian pokok dari sesuatu masyarakat, juga telah berperan atas lalu-lintas pertukaran dan perdagangan, serta perindustrian. Ia dapat diberikan cuma-cuma maupun dipinjamkan ke orang lain yang membutuhkan melalui peminjaman kredit, ia dapat memungkinkan adanya pembentukan modal yang setiap saat dapat dialihkan bentuknya berupa barang-barang.
7. Letter of Credit
“Letter of Credit” (L/C) adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut (Amir, 1996: 1). Isi surat itu menyatakan bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) aatas Bank Pembuka untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menhonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu.
Adapun peranannya L/C tersebut dalam perdagangan internasional untuk : (1) untuk memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor; (2) untuk mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor; (3) untuk menjamin kelengkapan dokumen pengapalan. Perlu diketahui bahwa dalam praktiknya antara eksportir dan importir itu terpisah baik secara geografis maupun geo-politik. Bahkan tidak mustahil antara eksportir dan importir secara pribadi saling tidak mengenalnya. Sebab bagi eksportir merupakan risiko besar jika mengirimkan barang bila tidak ada jaminan pembayaran. Oleh karena untuk mendapatkan jaminan tersebut, eksportir meminta kepada importir agar membuka Letter of Credit untuknya. Dan L/C inilah yang merupakan jaminan atas pelunasan barang yang akan dikirimkan oleh eksportir.
Dengan demikian untuk kepentingan eksportir L/C harus dibuka terlebih dahulu sebelum barang dikirim. Begitu juga sebaliknya, pembukaan L/C merupakan jaminan pula untuk importir bersangkutan untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh sesuai dengan yang diinginkannya. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Letter of Credit merupakan suatu instrumen yang ditawarkan bank devisa untuk memudahkan lalu-lintas pembiayaan dalam transaksi perdagangan internasional (Amir, 1996: 2).

8. Neraca Pembayaran
“Neraca pembayaran” (balance of payments) adalah keseluruhan catatan akuntansi dari transaksi-transasksi internasional suatu negara dengan negara lainnya (Thirlwall, 2000: 58). Penerimaan valuta asing dari penjualan barang dan jasa disebut ekspor dan sebagai item kredit dalam apa yang disebut neraca transaksi berjalan (current account) yang merupakan salah satu bagian dari neraca pembayaran. Sedangkan pembayaran valuta asing untuk pembelian barang-barang dan jasa disebut impor dan muncul sebagai item debet dalam neraca berjalan.
Selain itu juga perlu diketahui bahwa ada transaksi-transaksi dalam modal yang muncul sebagai neraca modal terpisah. Arus keluar modal (capital outflows) adalah transaksi untuk membiayai aktivitas permodalan internasional seperti penanaman modal di luar negeri, misalnya, dan diperlukan sebagai debet, sedangkan arus masuk modal (capital inflows) adalah sebaliknya dan diperlukan sebagai kredit.
Namun dalam hal ini defisit pada negara berjalan bisa diseimbangkan atau ditutupi engan surplus pada neraca modal dan demikian juga sebaliknya. Mengingat nilai tukar valuta asing adalah harga dari uatu mata uang terhadap mata uang lain, total kredit (suplai valuta asing) dan debet (permintaan valuta asing) harus sama jika nilai tukar dibiarkan berfluktuasi bebas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan valuta asing. Namun demikian, jika nilai tukar tidak bebas bergerak, maka defisit atau surplus akan meningkat. Defisit bisa dibiayai dengan pinjaman pemerintah dari bank-bank dan lembaga keuangan Internasional Monetary Fund, atau dengan menarik sebagin cadangan emas devisnya. Surplus bisa dimanfaatkan dengan memperbesar cadangan atau dipinjamkan ke luar negeri (Tirlwall, 2000: 57.
Terdapat tiga pendekatan utama dalam penyesuaian neraca pembayaran yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi, khususnya berkenaan dengan bagaimana cara memandang defisit. Pertama, pendekatan elastisitas; yang melihat defisit sebagai hasil distorsi harga relatif dalam hal ini disebabkan kurangnya kompetisi pasar. Di sini penyesuaian seyogyanya dilakukan melalui depresiasi nilai tukar sesuai dengan nilai elastisitas harga permintaan untuk kelebihan unit impor dan ekspor. Kedua, pendekatan absorsi, yang melihat defisit sebagai akibat dari kelebihan pembelanjaan atas output domestik, sehingga penyesuaian yang baik adalah menurunkan pembelanjaan secara relatif terhadap output. Ketiga, pendekatan moneter, yang memandang defisit sebagai suatu kelebihan suplai uang relatif terhadap permintaan, sehingga penyesuaian hanya bisa berhasil jika permintaan uang bisa dinaikan secara relatif terhadap suplainya. (Tirlwall, 2000: 57).

9. Bank (Perbankan)
Istilah “bank” mempunyai arti yang sebenarnya dan sudah berakar khususnya pada masyarakat Eropa bermakna “meja” atau “kounter”. Pengertian “meja” yang dimaksud adalah “meja” yang sering dipakai tempat penukaran uang di pasar pada Abad Pertengahan dan bukan “meja” yang dipakai oleh para “lintah darat” (Revel, 2000: 60). Pada mulanya bank-bank yang ada pada masa lalu itu acapkali bermula sebagai usaha yang disubsidi oleh para pedagang, awak kapal, pedagang ternak, dan belakangan ini para agen perjalanan. Ada pula bank-bank yang muncul dari bisnis perhiasan emas yang beberapa di antaranya disubsidi oleh para dermawan. Namun setelah dua abad lebih, perbankan berkembang menjadi sector perdagangan mandiri, dan muncul berbagai perusahaan dan rekanan yang menjalankannya sebagai bisnis yang tersendiri (Revel, 2000: 58).
Salah satu hukum yang berlaku dalam bank adalah menerima tabungan uang dan memberikan pinjaman dengan mengambil keuntungan, kendati dalam hal-hal tertentu tabungan dan pinjaman dibatasi dalam waktu relatif pendek maupun menengah. Secara keseluruhan fungsi bank utama dapat dirinci sebagai berikut:
1. Menghimpun dana-dana yang dimiliki masyarakat.
2. Menyalurkan dana yang telah berhasil duhimpun tersebut
dalam bentuk kredit.
3. Memperlancar kegiatan perdagangan dan arus lalu-lintas
uang antara para pedagang (Abdullah, 1992: 216).

Di balik fungsi itu juga bank melakukan tugas-tugas lainnya seperti (1) menciptakan uang; (2) melakukan inkaso .Untuk tugas menciptakan uang tersebut, sebetulnya terdapat variasi. Bank sentral dapat menciptakan uang, baik uang kartal dan uang giral. Sedangkan di luar bank sentral (bank sekunder) hanya boleh menciptakan uang giral.. Sedangkan untuk tugas-tugas melakukan inkaso, hal ini dilakukan mengingat perdagangan dewasa ini semakin kompleks dan melampui batas-batas suatu negara. Di sinilah para pedagang besar umumnya memilih menggunakan jasa bank dalam membayar atau menagih hasil transaksi dagangnya. Umumnya pedagang yang demikian menggunakan alat pembayaran berupa cek atau giro yang ditagih dari bank atau dipindahbukukan pada rekening nasabah yang bersangkutan. Pekerjaan bank yang berkaitan dengan membayar dan menagih untuk atau atas nama pihak lain seperti dijelaskan di atas, dinamakan sebagai fungsi bank selaku inkaso.

10. Koperasi
“Koperasi” adalah sebuah gerakan ekonomi maupun sebagai badan usaha (Chaurmain dan Prihatin, 1994: 364). Sebagai gerakan ekonomi, koperasi mempersatukan sejumlah orang-orang yang mempunyi kebutuhan yang sama dan sepakat bahwa kebutuhan bersama itu akan direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan dan diawasi, serta dipertanggungjawabkan secara bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan sebagai badan usaha milik bersama, koperasi merupakan sebuah badan yang bertujuan melakukan usaha pemenuhan kebutuhan bersama seluruh anggota Jika ditilik sejarah perkembangannya, koperasi pertama dibentuk pada tahun 1844 di Toad Lane, Rochdale oleh 28 pekerja Lancashire yang selanjutnya mengembangkan tujuh prinsip koperasi yang samapai sekarang masih menjadi landasan gerakan koperasi di seluruh dunia, walaupun tidak sepenuhnya mendapat penekanan yang sama. Ketujuh prinsip tersebut adalah; (1) keanggotaannya bersifat terbuka; (2) satu anggota satu suara; (3) perputaran modal terbatas; (4) alokasi surplus produksi disesuaikan atau kontribusi dari masing-masing anggota; (5) jasa penyediaan uang tunai; (6) penekanan pada aspek pendidikan; (7) bersifat netral dalam soal agama dan politik Estrin, 2000: 176).
Di Indonesia azas koperasi diataur dalam undang-undang perkoperasian di mana azasnya selalu kekeluargaan dan gotong-royong. Ini tidak berarti bahwa koperasi meninggalkan ifat dan syarat-syrat ekonominya yang menghilangkan proefisiensinya. Sedangkan jika ditilik jenis-jenis koperasi dapar dibedakan berdasarkan;: Pertama; lapangan usaha, eliputi koperasi konsumsi (koperasi pemenuhan kebutuhan barang-barang untuk anggota) dan operasi produksi yang memproduksi untuk disalurkan ke para anggotanya (seperti; operasi kerajinan tangan, pertanian, perindustrian dan simpan-pinjam; Kedua; koperasi menurut lingkungannya, dapat dibedakan menjadi koperasi fungsional yang sering ibentuk di kantor tempat para anggotanya bekerja, kemudian koperasi unit desa yang tersebar di desa-desa, serta koperasi sekolah yang tersebar di bebarapa sekolah.

11. Kebutuhan Dasar
Konsep “kebutuhan dasar” telah memainkan peran penting dalam analisis kondisi-kondisi khususnya di negara miskin dan berkembang. Drenowski dan Scott (1966) mengemukakan bahwa istilah “kebutuhan dasar” memiliki riwayat yang panjang. Dan, menurut Townsend (2000: 61) mulai dipakai secara luas sejak Konperensi Tenaga Kerja Dunia (ILO) yang berlangsung di Jenewa tahun 1976, yang mengemukakan bahwa bahwa kebutuhan dasaritu memiliki dua unsur:
Pertama, meliputi jumlah minimum tertentu yang dibutuhkan oleh suatu keluarga untuk konsumsi pribadi, meliputi; makanan, perumahan, sandang, serta perabot dan peralatan rumah tangga. Kedua; kebutuhan dasar juga meliputi layanan- layanan pokok yang disediakan oleh dan untuk komuniatas secara keseluruhan, seperti; kesehatan, pendidikan, air minum yang aman, sanitasi, angkutan umum, dan fasilitas-fasilitas budaya. Konsep “kebutuhan dasar” tersebut diakui memang mendapat tempat yang penting dalam perdebatan yang berlangsung terutama dalam hubungannya antara Dunia Pertama dengan Dunia Ketiga. Menurut Townsend (2000: 62).
Semakin diakui aspek-aspek sosial dari konsep itu, semakin perlu pula
diakui relativitas kebutuhan atas sumber-sumber daya dunia dan nasional.
Semakin konsep itu dibatasi kepada barang-barang dan fasilitas-fasilitas
fisik, semakin gampang orang berpendapat bahwa yang diperlukan adalah
pertumbuhan ekonomi saja, bukannya kombinasi yang kompleks dari
pertumbuhan, pemerataan dan penataan perdagangan dan hubungan-
hubungan institusional lainnya.

12. Kewirausahaan
Konsep ”kewirausahaan” atau ”entrepreneurship” merujuk kepada suatu sifat keberanian, keutamaan dan dalam mengambil risiko dalam kegiatan inovasi (Samuelson dan nordhaus, (1990: 518; Cason, 2000: 297; Abdullah, 1992: 128). Dari kata entrepreneur tersebut maka muncullah tafsiran yang beragam, seperti; merchant (pedagang), ”pemilik usaha”, sampai ”petualang”. Dan, orang yang mempopulerkan istilah/konsep tersebut adalah John Stuart Mill (1948) di Inggreis. Menurut Schumpeter, para wira usaha adalah penggerak atau motor ekonomi, karena fungsi inovasi yang mereka jalankan menduduki tempat sentral. Terdapat lima tipe inovasi yang menonjol; (1) pengenalan barang baru atau barang lama dengan mutu lebih baik; (2) penemuan metode produksi yang baru; (3) pembukaan pasar yang baru, khususnya untuk ekspor; (4) perolehan sumber
pasokan bahan baku yang baru; (5) penciptaan organisasi industri yang baru, misalya pembentukan jaringan usaha terpadu yang bisa beroperasi monopoli (Casson, 2000: 297). Namun demikian wirausahaawan bukan ”penemu” murni, dia hanya yang pertama kali memanfaatkan penemuan tersebut, dan mempertaruhkan sumberdayanya sendiri untuk mencapai suatu usaha yang tak terbayangkan oleh orang lain. Tetapi bukan pula seorang wirausahawan menjadi ”penjudi risiko minimal”. Karena keputusan-keputusan yang diambilnya juga penuh perhitungan melalui proses-proses manajerial yang teruji . Oleh karena itu seorang wirausaha menurut Casson adalah sebagai yang berspesialisasi dalam mebuat keputusan, karena dia memiliki akses khusus dalam memperoleh informasi (1982).




1. Perpajakan
Konsep ”perpajakan” mengacu kepada suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggarakan jasa-jasa, untuk kepentingan umum, yang sekaligus sebagai sumber pendapatan negara (Brown, 2000: 1082).
Di kalangan negara-negara maju, rata-rata pajak menduduki seperlima
sampai setengahnya dari GDP. Contohnya di Swedia sampai setengah dari GDP. Selandia Baru mengalami peningkatan 61%. Di sini diasumsikan bahwa besarnya pendapatan pajak bagi negara telah ditentukan sebelumnya. Hal ini memungkinkan pemerintah menentukan sendiri bagaimana mencapainya. Menurut Brown (2000: 1082-1083) terdapat tiga peranan pajak dalam masyarakat; (1) efek alokatif, (2) efek distributif, (3) efek adminis tratif.
Pertama, efek alokatif; bahwa pajak mempengaruhi perilaku warga. Artinya bahwa dengan adanya pentuan besar/kecilnya sesorang sebagai obyek pajak, akan memiliki pengaruh terhadap perilaku warga masyarakatnya. Sebagai contoh karena dia tahu bahwa dalam setiap pembelian barang pasti dikenakan pajak pembelian barang, maka dia akan hati-hati dalam membeli barang, atau tidak dengan serta merta ia akan membeli barang. Kedua, efek distribusional.
Artinya bahwa pajak memiliki pengaruh terhadap distribusi pendapatan. Sebagai contoh buat apa ”kerja lembur” banyak-banyak jika PPh-nya cukup tinggi? Ketiga, efek administratif. Di sini diartikan bahwa memungut pajak mengakibatkan munculnya biaya-biaya baik pada sektor publik maupun swasta yang bervariasi. Contohnya di Indonesia ketika kita akan membayar pajak kendaraan ironisnya justru orang-orang yang ”bijak” sering menjadi korban pemerasan. Salah stu penentu utama biaya administratif adalah kompleksitas hukum, yang ironisnya jika hal ini dibiarkan dapat mengurangi kesadaran hukum bagi warga untuk bayar pajak kendaraan tepat waktu.

2. Periklanan
Istilah ”perikalanan” menngacu pada suatu komunikasi pasar yang dilakukan para penjuan barang dan jasa. Pada mulanya yang paling banyak memperhatikan bidang ini ini adalah para ekonom, dan pembahasannya didasrkan pada konsep kunci informasi dalam konteks struktur pasar di tingkat lokal maupun nasional (Jhally, 2000: 7).. Walaupun sudah banyak penelitian empiris dilakukan untuk melihat efektivitas periklanan dalam meningkatkan permintaan produk (baik iklan yang ifatnya individual maupun untuk pasar secara keseluruhan). Namun keseluruhan penelitian itu tidak bisa menyimpulkan secara tegas seberapa efektif periklanan itu dari segi ekonomi (Albion dan Faris, 1981).
Terdapat beberapa peneliti tentang peranan iklan dalam perekonomian. Struart Owen dalam karyanya Captains of Consciousness (1979) periklanan memiliki fungsi kembar terhadap kapitalisme, (1) menciptakan permintaan untuk menampung kapasitas barang-barang industri, (2) mengalihkan perhatian dari konflik kelas di tempat kerja dengan mendefinisikan identitas menurut konsumsi, bukan produksi. Kemudian teoretisi budaya Raymond Williams (1980) menambahkan bahwa periklanan merupakan sebuah ”sistem sihir” yang menjauhkan perhatian orang dari sifat kelas dalam masyarakat dengan menekankan konsumsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ”periklanan” dilihat sebagai suatu lokomotif utma dalam penciptaan kebutuhan semu.
Bahkan sekarang ini telah terjadi pergeseran di mana periklanan tidaklah semata-mata bernuansa ekonomi tetapi merambah ki bidang-bidang lainnya. Leiss et al dalam Social Communivcation (1990) berusaha menempatkan iklan dalam suatu perspektif kelembagaan (menjembatani hubungan antara bisnis dan media) di mana persoalan peran iklan dalam penjualan tidak begitu penting dan menarik lagi, dibanding perannya sebagai lokomotif komunikasi sosial. Di sini bagaimana iklan mencoba menarik para konsumen dengan dimensi-dimensi yang tidak berhubungan langsung dengan barang-barang tersebut, baik dimensi identitas individual, kelompok atau keluarga, kebahagian dan kepuasan, gender seksual dan sebagainya. Bahkan Kline dalam karyanya Out of the Garden (1994) lebih pesimis dan negatif lagi, bahwa iklan pemasaran produk mainan anak-anak telah menimbulkan sekian dampak jelek terhadap jenis permainan yang dimainkan anak-anak (membatasi imajinasi dan kreativitas anak) serta terhadap interaksi antar gender dan interaksi orang tua-anak.

3. Perseroan Terbatas
Konsep ”perseroan terbatas” merupakan konsep yang paling populer dalam ekonomi, yang mendasarkan kepemilikan dan tanggung jawab pada sejumlah saham, dan sepenuhnya diakui sebagai badan hukum. Terdapat tiga karakteristik dalam perseroan terbatas; (1) setiap utang perusahaan, menjadi tanggung jawab perusahaan, dan tidak bisa dikaitkan dengan kekayaan pribadi pemegang sahamnya; (2) identitas perusahaan tidak akan berubah sekalipun saham dialihkan ke pihak lain; (3) hubungan kontraktual dilakukan dan menjadi tanggung jawab dewan direksi (Reekie, 2000: 176).
Oleh karena tiga karakteristik yang dimiliki badan usaha ’perseroan terbatas’ tersebut maka jenis badan usaha itu merupakan suatu lembaga yang paling mudah berkembang. Hal ini dapat dipahami karena risiko utang bagi pemilik saham bisa diabaikan sehingga perseroan bisa berani berekspansi secara maksimal, selama masih ada pihak yang memberikan pinjaman usaha. Kemudahan jual-beli saham juga membuat badan usaha ini tidak terpengaruh oleh preferensi individual pemilinya. Status persona perusahaan ini memungkinkan dilakukannya pembagian tugas, risiko dan tanggung jawab antara pemilik dan pengelola perusahaan.
Beberapa ekonom ternama memberikan komentar yang beragam terhadap perseroan terbatas tersebut. Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1950) mengkritik hal itu sebagai suatu hal yang akan menyulitkan pengelolaannya. Namun Hessen dalam In Defense of Corporation (1979) berpendapat justru dengan terbatasnya tanggung jawab pemilik perusahaan sebatas saham yang dimilikinya dan prinsip kepemilikan bersama adalah suatu kontrak khas swasta, bukan negara/pemerintah. Penyusunan kontrak secara bebas adalah wahana peningkatan efisiensi yang sangat diperlukan kalangan swasta, bukan untuk mengelakkan tanggung jawab.
Perlu diketahui bahwa secara historis, terbatasnya tanggung jawab pemilik perusahaan merupakan keistimewaan yang diberikan pemerintah Inggeris pada abad ke-15 guna merangsang minat usaha swasta. Kemudian pada abad ke-17 prinsip tersebut disebar-luaskan ke berbagai wilayah jajahan Inggeris melalui East India Company dan Hudson Bay Company yang kemudian dibakukan menjadi undang-undang parlemen pada tahun 1662 (Clapham, 1957). Sejak saat itu badan usaha ini makin populer karena merangsang kreativitas dan keberanian para pengusaha dalam menekuni bisnis. Bahkan jenis badan usaha ini pula yang kemudian mengembangkan beberapa jalan raya dan kereta api ternama di Inggeris pada tahun 1780-1790-an dan 1830-1840-an (Reekie, 2000; 176).

F. Teori-teori Ilmu Ekonomi
Teori ekonomi makro adalah teori ekonomi yang membahas masalah- masalah ekonomi secara keseluruhan, secara besar-besaran, menyangkut keseluruhan sistem dan organisasi ekonomi. Dalam ekonomi makro dibhas teori- teori yang bersifat umum dari gejala-gejala ekonomi keseluruhan. Hal ini terutama menyangkut peristiwa-peristiwa ekonomi yang berhubungan dengan tingkat harga umum; keseluruhan permintaan dan penawaran yang berkaitan dengan jumlah penduduk dan jumlah produksi masyarakat keseluruhan. Jumlah kesempatan kerja dan lapangan kerja serta penempatan kerja dari seluruh tenaga kerja yang ada dalam masyarakat. Jadi teori ekonomi makro membahas keseluruhan gejala dan peristiwa dalam kehidupan ekonomi, hubungannya satu sama lain baik yang bersifat hubungan kausal maupun hubungan fungsional.
Berbeda dengan teori mikro, yang merupakan suatu teori yang membahas peristiwa atau hubungan-hubungan kausal dan fungsional antara beberapa peristiwa ekonomi yang bersifat khusus. Pengertian khusus di sini adalah pada kajian-kajian yang lebih terbatas (spesifik) seperti pada; orang tertentu, keluarga tertentu, perusahaan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian pokok kajian utama pada teori mikro tersebut terbatas pada kebutuhan, barang dan jasa, harga, upah, pendapatan, dari suatu organisme ekonomi dalam lingkup rumah-tangga, keluarga ataua perusahaan (Chourmain dan Prihatin, 1994: 19).

1. Teori Ekonomi Klasik Adam Smith
Teori ini merupakan karya Adam Smith yang dituangkan dalam buku An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Smith adalah seorang Guru besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow yang memusatkan perhatiannya kepada persoaan-persoalan umum, yaitu bagaimana menciptakan kerangka politik dan sosial yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara swasembada (Jhingan, 1994: 138; Sastradipoera, 2001). Adapun pokok-pokok pikiran dari teori sebagai berikut:
a. Kebijaksanaan Pasar Bebas: dalam arti tercapainya suatu keterlibatan
pemerintah yang minimum untuk mencapai suatu bentuk ‘persaingan yang
sempurna’, maka secar otomatis harus bebas atau seminimal mungkin campur
tangan pemerintah. Karena itu semboyannya the best government governs the
least. Sebab teori berasumsi bahwa yang akan memaksimumkan pendapatan
nasional adalah “tangan-tangan yang tak kelihatan”.
b. Keuntungan, Merangang bagi Investasi; Menurut pandangan teori ini bahwa
keuntungan itu merangsang investasi. Artinya semakin besar keuntungan,
akan semakin besra pula akumulasi modal dan investasi.
c. Keuntungan Cenderung Menurun: Artinyakeuntungan tidak akan naik secara
terus –menerus, namun cendrung menurun apabila persaingan untuk
menghimpun modal antarkapitalis meningkat. Alasannya adalah, dengan
menaiknya upah sebagai akibat persaingan antar kapitalis. Sementara upah
dan sewa naik karena naiknya harga-harga pangan. Hal ini mendapat
pembenaran juga dari Ricardo.
d. Keadaan Stationer; Para ahli ekonomi klasik meramalkan akan timbulnya
keadaan stationer pada akhir proses pemupukan modal. Sekali keuntungan
mulai menurun, proses ini akan berlangsung terus sampai keuntungan
menjadi nol, pertumbuhan enduduk dan pemupukan modal terhenti, dan
tingkat upah mencapai tingkat kebutuhan hidup minimal.

2 Teori Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi Modernisasi Menurut Rostow
Mungkin teori pertumbuhan Ekonomi Modernisasi yang paling terkenal adalah teori dari ekonom W.W. Rostow yang ditulis dalam bukunya The Stage of Economic Growth : A Non-Communist Manifesto (1960) dan juga dalam The Process of Economic Growth (1953), yang kajiannya secara memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses perkembangan ekonomi. Menurut Rostow, perkembangan ekonomi suatu masyarakat meliputi lima tahap perkembangan; (1) tahap masyarakat tradisional; (2) tahap prakondisi tinggal landas; (3) tahap tinggal landas; (4) tahap maturity (kematangan):; (5) ahap konsumsi massa tinggi atau besar-besaran.
a. Tahap Teadisional; Masyarakat tradisional diartikan sebagai ‘suatu masyarakat
yang strukturnya berkembang disepanjang fungsi produksi berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi pra-Newtonian: zaman dinasti-dinasti Cina,
Peradaban Timur Tengah dan daerah Mediterania, dunia Eropa pada abad
pertengahan (Rostow, 1960: 5). Dalam masyarakat ini pertanian masih
mendominasi aktivitas ekonomi, dan kekuatan politik umumnya masih pada
penguasa tanah. Ini tidak berarti pada masyarakat ini tidak ada perubahan
ekonomi. Sebenarnya banyak tanah dapat digarap, skala dan pola perdagangan
dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas pertanian dapat
ditingkatkan sejalan denan pertambahan pendudukk yangnyata. Namun fakta
menunjukkan bahwa keinginan untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern secara teratur dan sistematis basih bertumbuk dengan suatu
batas (pagu) yaitu “tingkat output” perkapita yang dapat dicapai. Selain itu
struktur sosial masyarakat seperti itu berjenjang; hubunganb dan keluarga
memainkan peranan yang menentukan (Jhingan, 1994: 180).
b. Tahap pra-kondisi tinggal landas: Pada tahap ini merupakan masa transisi di
mana persyarat-prasyarat pertumbuhan swadaya dibangaun atau diciptakan. Di
Eropa Barat sejak akhir abad ke 15 dan awal abad ke-16 menempatkan
kekuatan “penalaran” (reasoning) dan “ketidakpercayaan” (skepticism) yang
merupakan pengaruh empat kekuatan (Renaissance, Kerajaan Baru, Dunia
Baru dan Agama Baru atau Protestan), sebagai pengganti “kepercayaan”
(faith) dan “kewenangan” (authority) mengakhiri feodalisme dan membawa
ke kebangkitan negara kebvangsaan, menanamkan semangat pengembaraan
yang yang menghasilkan berbagai penemuan dan dominannya kaum borjuasi
dalam dunia usaha. Manusia-manusia baru yang mau bekerja keras muncul
memasuki sector ekonomi swasta, pemerintah atau dua-duanya, manusia baru
yang bersemangat menggalakkan tabunbungan dan berani mengambil risiko
dalam mngejar keuntungan. Bank dan lembagai lain bermunculan untuk
mengerahkan modal, sehingga investasi meningkat di berbagai dibidang;
pengangkutan, perhubungan dan bahan mentah yang memiliki daya tarik
ekonomis bagi bangsa lain. Jangkauan perdagangan dari dalam dan luar negeri
menjadi makin luas. Di mana-mana muncul perusahaan manufacturing yang
menggunakan metode baru (Rostow, 1960: 6-7).
c. Tahap Tinggal Landas: Merupakan masa awal yang menentukan di dalam
suatu kehidupan masyarakat
“ketika pertumbuhan mencapai kondisi normalnya… kekuatan
modernisasi berhadapan dengan adat istiadat dan lembaga-
lembaga. Nilai-nilai dan kepentingan masyarakat tradisional
membuat terobosan yang menentukan ; dan kepentingan
bersama membentuk struktur masyarakat tersebut. … bahwa
pertumbuhan biasanya berjalan menurut deret ukur, seperti
rekening tabungan yang bunganya dibiarkan bergabung dengan
simapanan pokok,… revulusi industri yang bertalian secara
langsung dengan perubahan radikal di dalam metode produksi
yang dalam jangka waktu relatif singkat menimbulkan
konsekuensi yang menentukan (Rostow, 1960: 9-11).

c. Tahap Kematangan (Maturity): Rostow mendefinisikan merupakan tahapan
ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan serentetan teknologi
modern terhadap keseluruhan sumberdaya mereka. Masa ini juga merupakan
suatu tahap pertumbuhan swadaya jangka panjang yang merentang melebihi
masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan teknik yang lama.
Berbagai sektoir penting baru tercipta. Tingkat investasi neto lebih dari 10 %
dari pendapatan nasional. Dan, perekonomian mampu menahan segala
goncangan yang tak terduga. Dalam hal ini Rostow memberikan bukti-bukti
simbolik kematangan teknologi pada negara-negara industri seperti; Inggeris
(1850), Amerika Serikat (1900), Jerman (1910), dan Prancis (1910), Swedia
(1930), Jepang (1940), Rusia (1950); Kanada (1950) (Jhingan, 1994: 187).
f. Tahap Konsumsi Masa Tinggi atau Besar-besaran : Merupakan suatu masa yang
ditandau dengann pencapaian banayk sektoir penting (leading sector) dalam
perekonomian berubah menuju produksi barang dan jasa konsumsi. Abad
konsumsi besar-besaran juga ditandai dengan migrasi ke pinggiran kota,
pemakaian mobil secara luas, barang-barang konsumen dan peralatan rumah
tangga yang tahan lama, Pada tahap ini “keseimbangan perhatian masyarakat
beralih dari penawaran ke permintaan, dari persoalan produksi ke persoalan
konsumsi dan kesejahteraan dalam arti luas”. Tetapi ada tiga kekuatan yang
nampak dalam tahap purna dewasa ini, yaitu: Pertama, penerapan
kebijaksanaan guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui
batas-batas nasional; Kedua, ingin memiliki suatu negara kesejahteraan
dengan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak
progresif, peningkatan jaminan sosial, dan fasilitas hiburan bagi para pekerja;
Ketga, keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sector penting
seperti mobil, rumah murah, berbagai peralatan rumah tangga yang
menggunakan listrik, dan sebagainya (Jhingan, 1960: 114).

3. Teori Dampak Balik dan Dampak Sebar Menurut Myrdal
Gunnard Myrdal seorang ahli ekonomi Swedia dan pejabat pada
Perserikatan Bangsa-bangsa, terkenal dengan tulisannya Economic Theory and
Underdeveloped Regions (1957), dan Asian Drama: An Inquiry into the Poverty
of Nations (1968), berpendapat bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan
suatu proses sebab-menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat
keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi
semakin terhambat. Dampak balik (Blackwash effects) cenderung mengecil.
Secara kumulatif kecenderungan ini semakin memperburuk ketimpangan
internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di antara negara-negara
terbelakang. Sebaliknya di negara terbelakang proses kumulatif dan dsirkuler juga
dikenal istilah “lingkaran setan kemiskinan”., berjalan menurun, dan karena tidak
teratur menyebabkan meningkatnya ketimpangan Myrdal yakin bahwa bahwa
“pendekatan teretis yang kita warisi” tidak cukup menyelesaikan problem
ketimpangan ekonomi tersebut. Teori perdagangan internasional dan tentu saja
teori teori ekonomi secara umum, tidak pernah disusun untuk menjelaskan
realitas keterbelakngan dan pembngunan ekonomi (Myrdal; 1957).
Tesis Myrdal, ia membangun dari suatu keterbelakngan dan pembangunan
ekonominya di sekitar ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional.
Untuk itu ia menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
a. ‘Dampak Balik’, adalah semua perubahan yang bersifat merugikan dari
ekspansi ekonomi suatu tempat, karena sebaba-sebab di luar tempat itu, atau
juga bisa disebut dampak migrasi. Yang merupakan perpindahan modal dan
perdagangan serta keseluruhan dampak yang timbul dari proses-proses
sebab=musebab sirkuler antara faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi.
b. Sedangkan ‘Dampak Sebar’ menunjuk pada dampak momentum
pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pengembangan
ekonomi ke wilyah-wilayah lainnya. “Sebab utama ketimpangan regional
adalah kuatnya dampak balik dan lemahnya dampak sebar di negara-negara
terbelakang.
c. Ketimpangan Regional; terjadi lebih banyak berakar pada dasar non-ekonomi
yang berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba,
di mana terpusat di wilayah-wilayah (negara-negara) yang memiliki harapan-
laba tinggi. Penyebab gejala ini oleh peranan bebas kekuatan pasaryang
cenderung memperlebar ketimpangan regional. Karena produksi, industry,
perdagangan, perbankan, asuransi, perkapalan cenderung mendatangkan
keuntungan bagi wilayah maju (Myrdal, 1957: 26).
d. Dampak balik dan dampak sebar ini dalam laju perkembangannya tidak
mungkin berjalan seimbang. Karena pertama, ketimpangan regional jauh lebih
besar di negara-negara miskin daripada di negara-negara kaya. Kedua, di
negara-negara miskin ketmpangan regional semakin mlebar sedangkan di
negara maju menyempit. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi tingkat
pembangunanekonomi yang sudah dicapai suatu negara, biasanya semakin
kuat pula dampak sebar yang akan terjadi. Mengingat pembangunan tersebut
disertai oleh transportasi dan komunikasi yang makin baik, tingkat pendidikan
makin tinggi dan semakin dinamis antara ide dan nilai yang kesemuanya
cenderung memperkuat daya-sebar sentrifugal tesebut dan cenderung melunak
hambatan-hambatannya. Dengan demikian sekali suatu negara berhasil
mencapai tingkat pembangunan yang tinggi, pembangunan ekonomi akan
menjadi suatu proses yang berjalan otomatis. Sebaliknya, sebabutama
keterbelakangan terletak pada lemahnya dampak sebar, kuatnya dampak balik,
sehingga dalam proses yang semakin menggumpal kemiskinan itu adalah
penyebab yang berasal dari dirinya sendiri.
e. Peranan pemerintah; Kebijaksanaan nasional sering memperburuk
ketimpangan regional, terutama oleh peranan kekuatan pasar bebas dan
kebijaksanaan liberalsebagai akibat lemahnya dampak sebar. Faktor lain yang
merupakan penyebab ketimpangan regional di negara miskin adalah “lembaga
feudal yang kokoh dan lembaga lainnya yang tidak egaliterserta struktur
kekuasaan yang membantu si kaya menghisap si miskan (Myrdal, 1957: 28).
Oleh karena itu pemerintah negra terbelakang, harus menerapkan
kebijaksanaan yang adil dan egaliter.
f. Ketimpangan Internasional; Pada umumnya perdagangan internasional
menguntungkan negara kaya dan memperlemah negara terbelakang.Sebab
negara maju/kaya memiliki basis industri manufaktur yang kuat dengan
dampak sebar yang kuat pula. Denngan mengekspor produk industri mereka
yang merah ke negara terbelakang, mereka akan mematikan industri slkala
kecil. Ini cenderung mengubah negara terbelakang menjadi produsen
barang0barang primer untuk ekspor. Mengingat permintaan akan barang-
barang ekspor inelastic (di pasar ekspor), maka mereka menderita akibat
fluktuasi harga menggila. Sebagai konsekuensinya mereka tidak dapat
mengambil untung dari naik turunnya harga barang di dunia ekspor.
g. Perpindahan modal; juga gagal menghapuskan ketimpangan internasional.
Karena negara maju lebih menjanjikan keuntungan dan jamninan bagi para
investor, maka modal akan semakin menjauhkan diri dari negara terbelakang.
Modal yang mengalir ke negara terbelakang diarahkan sebagian besar kepada
produksi barang primer untuk ekspor, dan ini akan merugukan mereka karena
dampak balik yang kuat. Apapun yang diinvestasikan pihak asing, akan
meningkatkan dampak balik yang domain serta tidak menjadi pemecah
masalah dalam ketimpangan internasional (Jhingan, 1994: 274).

4. Teori Nilai Surplus Karl Marx
Karl Marx adalah seorang filosof Jerman (1818-1883) yang di mata para
ekonom Barat adalah seorang agitator yang telah membangkitkan persatuan
kalangan kaum buruh dan intelektual selama lebih dari seabad yang telah merasa
dirugikan oleh kapitalisme pasar dan sekaligus sebagai penjerumus ekonomi ke
abad kegelapan baru Kemudian ia menghancurkan ikatan kapitalisme dan
mengoyak-oyak dasar-dasar sistem kebebasan natural Adam Smith (Skousen,
2005: 163-164).
Sesuai dengan sub-judul di atas, pada kajian teori ”Nilai surplus” di sini
tidak akan dibahas tentang peranan Karl Marx di bidang filsafat sejarah, politik,
maupun komunisme, serta alienasi. Adapun pokok pikiran yang dituangkan Marx
dalam teori nilai surplus tersebut, dapat dikemukakn sebagai berikut:
1. Jika tenaga kerja adalah satu-satunya penentu nilai, lalu ke mana profit dan
bunganya? Marx menyebut profit profit dan bungany itu sebagai “nilai
surplus”.
2. Oleh karena itu ia berkesimpulan bahwa kapitalis dan pemilik tanah adalh
pihak yang mengeksploitasi para pekerja.
3. Jika semua nilai adalah produk dan tenaga kerja, maka semua profit yang
diterima adalah oleh kapitalis dan pemilik tanah pastilah merupakan “nilai
surplus” yang diambil secara tidak adildari pendapatan kelas pekerja.
4. Adapun rumus matematisnya untuk teori nilai surplus tersebut, dapat
dikemukakan sebagai berikut: “Bahwa tingkat prpit (p) atau eksploitasi adalah
sama dengan nilai surplus (s) dibagi dengan nilai produktif akhir (r). Dengan
demikian:
p = s/r
Misalkan; andaikata pabrik pakaian memperkerjakan buruh ntuk
membuat baju. Sedangkan kapitalis menjual bajunya serga $ 100 per/buah,
tetapi ongkos tenaga kerja adalah $ 70 per / baju. Karena itu tingkat profit atau
eksploitasinya adalah:
p = $ 30 / $ 100 = 0,3, atau 30 persen
5. Marxmembagi nilai produk akhir menjadi dua bentuk kapital (modal) yakni
kapital konstan (C) dan kapital varibel (V). Kapital konstan
merepresentasikan pabrik dan peralatan. Kapital adalah biaya tenaga kerja.

Jadi, persamaan untuk tingkat profit menjadi:
p = s (v c)

5. Teori Monetarisme Pasar Bebas Friedman
Milton Friedman lahir pada 1912 di Brooklyn, satu-satunya anak lelaki dari empat bersaudara imigran Yahudi Eropa Timur bekerja serabutan di New York. Pada tahun 1932 saat depresi Friedman dapat beasiswa untuk belajar ekonomi di University of Chicago.. Di samping ia betemu dengan rekannya George Stigler seumur hidupnya, dia juga di Chicago bertemu Rose Director, yang kelak menjadi istrinya. Dan, tahun 1938 Friedman menikah dengan Rose, mereka menjadi rekan dan bersama-sama menulis beberapa buku, serta dikaruniai dua anak. Friedman mendapat gelar master tahun 1933. Kemudian tahun 1946 Friedman memperoleh gelkar Ph.D. dari Columbia, dan ia kembali mengajar di University of Chicago, bahkan melanjutkan tradisinya memperkuat versi terbaru dari teori kuantitas uang Irving Fisher, yang diterapkannya pada kebijakan moneter. Dia menulis banyak topik yang berkaitan dengan ekonomi moneter, dan berpuncak pada riset dan tulisan empirisnya yang palin terkenal, ”A Monetary History of the United States 1867-1960” yang dipublikasikan oleh National Bureau of Economic Research dan ditulis bersama Anna J.Schwartz (1963). Pada
intinya studi monumental ini menunjukkan kekuatan uang dan kebijakan moneter dalam gejolak perekonomian Amerika Serikat, termasuk Depresi Besar dan era pascaperang, ketika para ekonom arus utama percaya bahwa ”uang tidak penting”.
Kemudian ia juga menulis buku Capitalism and Freedom yang diluncurkan pada ulang tahun perkawinan Friedman dan Rose ke-25.
Inti teorinya sebagai berikut:
a. Metodologi Positivisme; menurut Friedman validitas suatu teori tidak
tergantung pada unsur generalisasinya maupun kekokohan asumsi-asumsi
dasarnya, melainkan semata-mata pada kesesuaian implikasi-implikasinya
secara relatif terhadap implikasi teori-teori lain, yang diukur berdasarkan
statistik primer.
b. Pasar dianggap sebagai mekanisme utama dalam menyelesaikan berbagai
masalah ekonomi, asalkan didukung kebebasan politik intelktual ; para
ekonom aliran Chicago melihat perekonomian sebagai suatu kondisi perlu ,
namun bukan ondisi cukup untuk menciptakan masyarakat bebas;
c. Aturan moneter yang ketat lebih disukai untuk pengambilan keputusan yang
diskret oleh otoritas pemerintah. ”Setiap sistem yang memberi banyak
kekuasaan dan banyak keleluasaan bagi segelintir orang di mana kekeliruan
mereka entah itu disengaja atau tidak ⎯ bisa menimbulkan efek yang luas
adalah sistem yang buruk” (Friedman, 1982: 50).
d. Ia lebih menekankan pada kebijakan moneter. Q, kuantitas uang jauh lebih
penting daripada P. ”Opininya yang segar dan sangat berbeda” dengan opini
Fisher dan Simons datang seperti ”kilatan tiba-tiba”, baginya ”aturan dari
sudut pandang kuantitas uang jauh lebih unggul, baik itu untuk jangka pendek
maupun jangka panjang, ketimbang aturan dari sudut pandangstabilisasi
harga” (Friedman, 1969: 84).
e. Pengelolaan administratif dan intervensi kebijakan ekonomi yang bersifat ad
hoc hanya akan merusak situasi ekonomi; dalam soal kebijakan moneter dan
fiskal, ia menekankan pentingnya kesinambungan;
f. Ia menolak standar emas sebagai numeraire moneter dengan dua alasan.
Pertama, biaya resources-nya yang tinggi, dan kedua implementasinya yang
tidak praktis. Selain itu produksi emas jarang dapat mengimbangi
pertumbuhan ekonomi dan karena itu bersifat deflasioner. ”Betapa absurdnya
menyia-nyiakan sumber daya untuk menggali tanah mencari emas, hanya
untuk menguburkannya lagi di kolong Fort Knox, Kentuky”.
g. Monetarisme jauh lebih baik daripada fiskalisme dalam regulasi
makroekonomi.
h. Kebijakan fiskal baginya diyakini sebagai wahana yang tepat untuk
mengentaskan kemiskinan, namun redistribusi pendapatan bagi kalangan di
atas garis kemiskinan justru akan lebih banyak menimbulkan kerugian, serta;
i. Imperialisme disipliner yang menonjolkan penerapan analisis ekonomi oleh
para ekonom terhadap semua bidang yang biasanya dianggap sebagai disiplin
lain/luar seperti sejarah, politik, hukum, dan sosiologi.


BAB III
Pengertian & Ruang Lingkup

1.1. Masalah Kelangkaan

Pada jaman dahulu sewaktu jumlah manusia masih sangat terbatas, tidak ada persaingan ataupun peperangan untuk memperoleh makanan dan sumberdaya lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sumberdaya alam yang tersedia masih sangat berlimpah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia maka terjadi perebutan dan persaingan bahkan peperangan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan sumberdaya.
Adapun sumberdaya atau faktor-faktor produksi merupakan benda/peralatan yang tersedia yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah :
1. Sumber-sumber alam (pemberian alam)
Merupakan karunia alam yang meliputi kekayaan alam baik yang berada di darat, laut
maupun udara. Contohnya: tanah, minyak bumi, hasil tambang dan lain-lain.
2. Sumber ekonomi yang berupa manusia dan tenaga manusia
Tenaga manusia merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam
setiap proses produksi. Terdiri dari:
a. Tenaga kerja terdidik
Kemampuan atau keahliannya diperoleh melalui pendidikan formal.
Misalnya dokter, insinyur, pengacara dan lain-lain.
b. Tenaga kerja terampil
Kemampuan atau keahliannya diperoleh melalui pendidikan formal,
non formal maupun pengalaman kerja. Misalnya: tukang kayu, montir,
tukang servis barang elektronik, baby sitter dan lain-lain.
c. Tenaga kerja kasar atau tidak terdidik dan tidak terampil
Tidak memiliki keahlian ataupun keterampilan khusus tapi hanya
mengandalkan kemampuan fisik semata dalam melaksanakan
pekerjaan.
3. Sumber-sumber ekonomi buatan manusia seperti: mesin-mesin, gedung-
gedung, atau biasa disebut dengan barang-barang kapital/modal
Kontradiksi antara sumber daya yang terbatas dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas ini menciptakan masalah persaingan, perebutan sumber daya yang semakin lama berkembang menjadi peperangan. Maka, sejak abad ke XVII muncullah ilmu ekonomi yang terasa semakin dibutuhkan oleh manusia.

1.2. Definisi Ilmu Ekonomi
Pada tahun 1776 sebuah buku berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” ditulis oleh Adam Smith menjadi awal berkembangnya ilmu ekonomi. Adam Smith sendiri mendapat gelar Bapak Ekonomi oleh para ahli ekonomi. Inti dari ajaran Adam Smith adalah bagaimana masyarakat dapat mengalokasikan sumber-sumber daya yang langka sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas.
Ada banyak definisi ilmu ekonomi menurut para ahli namun secara
umum ilmu ekonomi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Suatu studi tentang perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya
yang langka/terbatas dalam rangka memproduksi berbagai komoditi untuk
kemudian menyalurkannya kepada berbagai individu dan kelompok yang ada
dalam suatu masyarakat.

1.3. Pembagian Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi terbagi dalam 2 cabang utama, yaitu mikroekonomi dan makroekonomi. Istilah mikro dan makro dalam bahasa Yunani berarti kecil dan besar. Sesuai dengan namanya, maka mikro ekonomi mencakup lingkup ekonomi yang kecil. Mikroekonomi mempelajari perilaku berkaitan dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh satuan-satuan ekonomi individual. Satuan-satuan ekonomi individual tersebut meliputi konsumen (rumah tangga), tenaga kerja, pemilik modal, pemilik tanah dan perusahaan rumah tangga produksi.
Sedangkan makroekonomi mempelajari perilaku ekonomi secara keseluruhan (agregat) seperti permintaan dan penawaran agregat, produksi atau total output secara keseluruhan dan tingkat harga umum, tingkat dan laju pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi, pengangguran, angka kemiskinan dan lain-lain.

1.4. Biaya Peluang
Masalah kelangkaan sumber daya mendorong manusia untuk mengambil keputusan agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kelangkaan/keterbatasan memberikan konsekuensi bahwa masyarakat harus melakukan suatu pilihan. Sehingga seringkali dikatakan bahwa masalah ekonomi adalah “the art of choice” atau seni memilih.
Setiap kali masyarakat/individu melakukan suatu pilihan maka akan menciptakan biaya peluang (opportunity cost). Yang dimaksud dengan biaya peluang adalah biaya yang dikorbankan untuk menggunakan sumber daya bagi tujuan tertentu, yang diukur dengan manfaat yang dilepasnya karena tidak menggunakan untuk tujuan lain atau diukur dengan satuan komoditi yang seharusnya dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, (1992) Materi Pokok Pendidikan IPS-2: Buku 1, Modul 1, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , PPPG Tertulis.
Albion, P. dan Farris, M. (1981) The Advertising Controversy, Boston, MA.
Alchian, A.A. (1961) ”Some economics of property rights” dalam A.A. Alchian,
Economics Forces at Work, Indianapolis, I.N:.
Amir, M.S. (1996) Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: Lembaga
Manajemen PPM dan Penerbit PPM.
Arrow.K.J. (1963) Social Choice and Individual Value, Edisi Kedua, Cambridge:
United Kingdom..
Asimakopulos, A. (2000) Ekonomi Mikro” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica,
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 660-661.
Atkinson, A.B. dan Stiglitz, J.E.(1980) Lectures on Public Economic,
Maidenhead.
Bliss. Christopher (2000) “Ilmu Ekonomi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica,
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 272-277..
Blumberg, Rae Leeser (1978) Stratification: Sicioeconomic and Sexual Inequality,
Dubuque, Iowa: Brown.
Boland, Lawrence, A. (2000) “Ekonomi Neo-Klasik” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.700-701.
Britton, Andrew (2000) “Kebijakan Makroekonomi” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.595-597.
Bronffenbrenner, Martin, (2000) “Aliran Chicago” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 103-104.
Brown, C.V. (2000) “Perpajakan” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed)
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 1082-1083.
Casson, Mark, (2000) “Entrepreneurship (Kewirausahaan)” dalam Kuper, Adam
& Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 297-298.
Casson, Mark (1982) The Entrepreneur: An Economic Theory, London: Allen dan
Unwin.
Choumain, Imam dan Prihatin (1994) Pengantar Ilmu Ekonomi, Proyek
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta: Depdikbud
Clapham, J. (1957) A Concise Economic History of Britain from the Earliest
Times to 1750. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Coase, R.H. (1937) “The Nature of the Firm”, dalam Economica, 4.
Cochrane, A.L. (1971) Effectiveness and Efficiency, London: Allen dan Unwin.
Coleman, J.S. (1990) Foundations of Social Theory, Cambridge, MA: Cambrige
university Press.
Eatwell, John , et.al (1987) The Palgrave: A Dictionary of Economics, London:
McMillan Press Limited.
Eggerstson, Thrainn, (2000) “Ekonomi Institusional” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 501-503.
Estrin, Saul (2000) “Koperasi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000)
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 174-176.
Fletcher, G.A (1989) The Keynesian Revolution and its Critics, London:
Macmillan.
Fried, Morton,H. (1967) The Evolution of Political Society, New York: Random
House.
Friedman, Milton (1982) Capitalism and Freedom, Chicago: University of
Chicago Press.
Friedman, Milton (1969) The Optimum Quantity of Money and Other Essay,
London: Macmillan.
Fudenburg, D. dan Tirole, J. (1991) Game Theory, Cambridge: Cambridge
University Press.
Hessen, R. (1979) In Defense of The Corporation, Stanford, CA.
Hicks, J.R. (1969) “Preface and Manifesto” dalam K.J. Arrow dan T. Scitovsky
(eds) Reading in Welfare Economic, London.
Hirst, Paul (2000) “Sosialisme” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000)
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 1012-1014.
Hughes, Gordon, (2000) “Ekonomi Matematematik” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada,hlmn.630-631.
Jhally, Sut (2000) “Periklanan” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000)
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 7-9.
Jhingan, M.L. (1994) Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Diterjemahkan
Oleh D. Guritno, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Keynes, John Maynard (1973[1936] The General Theory of Employment, Interest,
and Money, London: Macmillan.
Kline, S, (1994) Out of the Garden, London: Harper & Row, Publisher.
Landes, D. (1968) The Unbound Prometheus, Cambridge, UK. Cambridge
University Press.
Ledyard, J. (1995) “Public Goods: a survey of experimental research, dalam J.
Kagel dan A.E. Roth (eds) Handbook of Experimental Economics,
Pricenton, N.J.
Leijonhufvud, Axel (1968) On Keynesian Economics and the Economics of
Keynes, Oxford: Oxford University Press.
Leiss, W., Kline, S., dan Jhally, S. (1990) Social Communication in Advertising,
New York.
Lipsey, Richard G. dan Steiner, Peter,O. (1981) Economics, New York: Harper &
Row, Publisher.
Maynard, Alan, (2000) “Ekonomi Kesehatan” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 427.
Metcalfe, J.S. (2000) “Ilmu Ekonomi Evolusioner” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 324-326.
Milgrom, P.. dan Roberts, J. (1992) Economics, Organization and Management,
Englewood, Cliffs, N.J.
Mokyr, J. (1991) The Lever of Riches, Oxford: Oxord University Press.
Mullineux, Andy (2000) “Investasi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed)
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 522-524

Myrdal, Gunnar (1968) Asian Drama: An Inquiry into the Poverly of Nations,
Harmondsworth: Penguin Books.
Myrdal, Gunnar (1957) Economic Theory and Underdeveloped Regions, London:
Duck Worth.
Nopirin (2000) Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro, Edisi Pertama,
Yogyakarta: BPFE.
O’Brien, D.P. (2000) ”Ilmu Ekonomi Klasik” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 120-122
Owen, Stuart (1979) Captains of Consciosness, New York: Harper & Row,
Publisher.
Pearce, David, W. (2000) “Ekonomi Lingkungan” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.300-301.
Posner, R.A. (1994) Economic Analysis of Law Edisi Keempat, Boston, MA.:
Boston University Press.
Reekie, W. Duncan (2000) “Perseroan Terbatas” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.176-178.
Revell, Jack (2000) “Perbankan” dalam Kuper, Adam, & Kuper, Jesica, (ed)
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris Munandar
dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persaa, hlmn.58-60.
Rostow,W.W. (1960) The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto, New York: Cambridge University Press.
Rostow, W.W. (1953) The Process of Economic Growth, New York: Cambridge
University Press.
Roth, Alvin, A. “(2000a) “Ilmu Ekonomi Eksperimental” dalam Kuper, Adam, &
Kuper, Jesica, (ed) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.333-334.
Rooth, Alvin, A. (1995) “Introduction to experimental economics, dalam J.Kagel
dan A.E. Roth (eds) Hanbbok of Experimental Economics, Pricenton, UK.
Samuelson, Paul,A. dan Nordhaus, William,D. (2003) Ilmu Mikroekonomi, Alih
Bahasa: Nur Rosyidah, Annal Elly, dan Bosco Carvallo, Jakarta: Media
Global Edukasi.
Samuelson, Paul,A. dan Nordhaus, William,D. (1990) Ekonomi, Jilid 1,
Diterjemahkan Oleh Jaka Wasana, Jakarta: Erlangga.
Satradipoera, Komaruddin (2001) Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatu Pengantar
Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi, Bandung: Kappa-Sigma.
Sastradipoera, Komaruddin (1991) Uang: Di Negara Berkembang, Jakarta:
Penerbit Bumi Asara.
Schelling, T.C. (1960) The Strategy Conflict, Cambridge, MA. Cambridge of
Universty Press.
Shadily, Hasan (ed) (1980) Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: balai Pustaka.
Schumpeter, J.A. (1954) History of Economic Analysis, New York : Oxford
University Press.
Schumpeter, J.A. (1950) Capitalism, Socialism, and Democracy, New York:
Oxford University Press.
Sen, A.K. (1979) Collective Choice and Social Welfare, Amsterdam.
Skousen Mark, (2005) Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro Teori-tori
Ekonomi Modern: Sebuah Narasi Kritis Pergumulan Intelektual dan
Kepedihan Sosial di dalam Menyelesaikan Masalah-masalh Ekonomi,
Alih Bahasa Tri Wibowo Budi santoso, Jakarta: Prenada.
Sunder, S. (1995) “Experimental asset markets: a survey “ dalam J.Kagel dan A.E.
Roth, (eds) Hanbook of Experimental Economics, Pricenton, N.J.
Sweeney, James, L. (2000) ‘Ekonomi Sumber Daya Alam” dalam Kuper, Adam
& Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 697-
698.
Taylor, Mark (2000) ”Teori Makroekonomi” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 597-599.
Thirlwall, A.P. (2000a) “Neraca Pembayaran” dalam Kuper, Adam & Kuper,
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 57-58..
Thirwall, A.P. (2000b) “Ilmu Ekonomi Aliran Keynes” dalam Kuper, Adam &
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan
Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 531-532.
Thurstone, L.L. (1931) “Thedifference function”, Journal of Social Psychology, 2.

Townsend, Peter (2000) “Kebutuhan Dasar” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica,
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial , Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 61-62.
Williams, R. (180) “Advertising: the magic system: dalam R. Williams (ed)
Problems in Materialism and Culture, London.
Winardi, (1987) Pengantar Ekonomi Moneter, Buku-1, Bandung: Tarsito.

Non Scholae Sed Vitae Decimus
Kita Belajar Bukan Untuk Sekolah, Tapi … Untuk HIDUP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar